Sebagian masyarakat memahami bahwa putusnya ikatan pernikahan melalui cerai gugat (cerai yang berasal dari kehendak istri) tidak mewajibkan mantan suami untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah.
Sehingga dalam beberapa keadaan, beberapa kali ketika pihak istri menjadi korban, atau lebih tepatnya terpojokkan, terpaksa untuk mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama lebih dulu agar suami terhindar dari kewajiban nafkah iddah dan mut’ah.
Sebab dari keadaan di atas bisa bermacam-macam, mulai dari tidak adanya tanggung jawab suami untuk memberikan nafkah kepada istri dengan sengaja, hingga yang lebih parah adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Lantas bagaimana sebenarnya ketentuan tersebut? khusunya dalam regulasi peraturan perundang-undangan di Indonesia dan hukum islam (fikih).
Nafkah Iddah Pasca Cerai Gugat Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Cerai gugat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 132 ayat 1 dimaknai sebagai sebuah gugatan perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama. Adapun talak menurut KHI pasal 117 adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Lebih singkatnya, talak adalah perceraian yang didasari oleh keinginan dan ikrar suami, sementara cerai gugat adalah perceraian yang didasari oleh kehendak sang istri.
Selanjutnya dengan melihat peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya KHI, pemberian nafkah iddah dan mut’ah terhadap bekas istri yang cerai melalui mekanisme cerai gugat memanglah tidak diatur. Hingga, tidak jarang hakim yang melayangkan putusannya atas hal itu tidak ikut mengaturnya. Akan tetapi kemudian terbitlah beberapa regulasi.
Di antara regulasi yang dimaksudkan adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 tahun 2017 yang kemudian dipertegas lagi dengan SEMA Nomor 3 Tahun 2018. Kandungan ketentuan ini secara jelas menyebutkan bahwa bekas suami tetaplah dibebani sebuah kewajiban berupa pemberian nafkah iddah dan mut’ah ketika istri tidak terbukti nusyuz, meskipun melalui mekanisme cerai gugat.
Nafkah Iddah Pasca Cerai Gugat Dalam Diskursus Fikih
Cerai gugat cenderung disamakan dengan terminologi khulu’ dalam fikih. Karena memang keduanya dimaknai sebagai perceraian atas kehendak istri. Dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i Juz 4, halaman 127 dikatakan:
الخلع هو الطلاق الذي يقع برغبة من الزوجة وإصرار منها على ذلك.
Artinya: “Khulu’ adalah perceraian yang didasari oleh keinginan dan desakan dari pihak istri.”
Akibat khulu’ ini ialah tidak diwajibkannya pihak suami untuk memberikan nafkah iddah, lantaran istri yang mengajukan khulu’ dianggap sebagai istri yang nusyuz. Bahkan dalam beberapa keadaan juga pihak istri harus memberikan denda berupa pengembalian mahar yang telah diberikan suami.
Hal ini sebagaimana hadis nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban tentang Ummu Habibah binti Sahl al-Anshariyyah yang merupakan istri Tsabit bin Qais, yang mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah SAW dengan berkata:
فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ فِي خُلْقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ أَيْ: كُفْرَانَ النِّعْمَةِ فَقَالَ: أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ: اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً.
Artinya: “Istri Qais mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak bermaksud mencela perangai maupun agama Tsabit bin Qais, namun aku tidak mau kufur dalam Islam.’ (Maksudnya, kufur nikmat). Rasulullah SAW menjawab, ‘Apakah engkau mau mengembalikan kebun dari Tsabit?’ Istri Qais menjawab, ‘Mau.’ Kemudian, beliau berkata kepada Tsabit, ‘Terimalah kebun itu lalu talaklah dia dengan talak tebusan.’”
Namun jika ditelisik lebih jauh lagi, apakah cerai gugat memang dapat dikatakan sebagai khulu’ secara murni? Karena pada faktanya istri yang melakukan gugatan cerai bukanlah disebabkan oleh keinginannya semata, apalagi nusyuz. Bahkan, ia mengajukan gugatan cerai terkadang demi menyelamatkan jiwa dan harga dirinya yang sudah terabaikan. Dalam kasus KDRT misalnya, agar keselamatan dirinya terjaga, sikap yang paling tepat adalah mengakhiri hubungan itu dengan perceraian.
Dalam hal ini Muhammad Abu Zahrah melalui bukunya al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, halaman 347, memberikan terminologi yang lebih tepat bagi cerai gugat yaitu at-tafriq bi hukmi al-qadhi. Lebih singkatnya dapat disebut sebagai tafriq atau at-tathliq yang dimaknai sama oleh sayyid sabiq.
Istilah tafriq diartikan sebagai putusnya hubungan pernikahan melalui putusan hakim atas gugatan salah satu pihak (istri maupun suami). Sehingga nafkah iddah dan mut’ah bukan lagi diatur melalui konsep perceraian sebagai talak atau khulu’ lagi, melainkan mutlak menjadi ijtihad dan keputusan qadhi (hakim) itu sendiri. Dengan demikian sudah pasti hak-hak dan keadilan bagi perempuan pasca perceraian akan lebih terjaga dan dijamin oleh hakim.
Lebih lanjut, Abu Zahrah kemudian mengemukakan bahwa perceraian melalui mekanisme tafriq dalam beberapa keadaan dianggap sebagai talak (cerai yang berasal dari ikrar dan kehendak suami). Dengan kata lain meskipun melalui gugatan sang istri, hak untuk mendapatkan nafkah iddah dan mut’ah dari pihak suami akan tetap didapatkan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban pemberian nafkah iddah oleh suami bagi mantan istrinya tetaplah ada, meskipun putusnya perkawinan didasari oleh kehendak istri. Hal ini tentunya juga didasari oleh salah satu tujuan syariat (maqashid syariah) yaitu hifdzu an-nafs dan demi menjaga keselamatan dan keamanan bagi kedua belah pihak, khususnya istri dari perilaku yang tidak sepantasnya, KDRT misalnya.
Demikian penjelasan singkat terkait pemberian nafkah iddah oleh suami bagi istri akibat cerai gugat yang disebabkan oleh KDRT, semoga bermanfaat. (AN)