Jika politik dimaknai seni mengelola kemungkinan, Ahok jelas bukan seorang politisi yang baik. Politik dalam pengertian itu membutuhkan kemampuan komunikasi dan persuasi, serta lentur dalam sikap dan gestur politik. Hampir semua institusi besar pernah dilabrak Ahok. Dia gagah berani melawan BPK dan nyaris bentrok dengan KPK. Dia kecilkan DPRD DKI. Dia pernah berseteru dengan menteri. Dia lawan putusan pengadilan. Pameo ‘seribu kawan kurang, satu lawan kebanyakan’ tidak berlaku bagi Ahok.
Dalam sidang kemarin, dengar suara gemetar dan nada gusar, dia mengancam menyeret KH Ma’ruf Amin ke pengadilan. Meski tim pengacaranya telah meralat melalui klarifikasi, publik kadung melihat Ahok telah menembakkan peluru ke Ketua Umum MUI. Dan apesnya, Ahok mungkin tidak sadar bahwa dia telah bersikap frontal dengan kiai sepuh NU. Secara struktural, jabatan beliau tertinggi: Rais ‘Am PBNU. Meski kapasitas beliau di persidangan sebagai Ketua Umum MUI, bagaimanapun beliau adalah simbol tertinggi NU. Nahdliyin marah. Ahok dianggap melukai simbol NU yang selama ini memilih moderat menyikapi dugaan penistaan agama yang dilakukannya. NU tidak pernah terbuka bergabung dengan aksi-aksi bela Islam. Oleh GNPF-MUI, sikap ini dianggap memberi angin kepada Ahok. Padahal, NU tidak sedang memberi angin kepada Ahok. NU sedang menjaga NKRI dan konstitusi. Di titik itu, Ahok sebenarnya harus beraliansi strategis dengan NU dan menghormati simbol-simbol NU. Mengancam KH Ma’ruf Amin membuat Ahok semakin kehilangan simpati di basis Nahdliyin. Beberapa banom NU telah mengeluarkan kecaman terhadap Ahok.
Dalam sebuah pledoi, Ahok menyatakan menghormati Gus Dur dan mengaku sebagai murid politiknya. Senjang sekali. Gus Dur punya banyak jurus. Gus Dur tahu kapan harus merangkul atau memukul. Kapan harus tengadah kapan harus merunduk. Senior saya, Eman Hermawan, pernah mengompilasi 99 jurus politik Gus Dur. Sementara Ahok hanya punya satu jurus: minggir atau tabrak! Gaya politiknya mirip lirik hip-hop Jogja yang ditayangkan di film AADC 2: Gir Ra Minggir Tabrak! Siapa pun yang menghalangi langkahnya dia tabrak. Tanpa pandang bulu.
Di titik ini gaya politiknya tidak jauh beda dengan Sang Imam Besar yang menjadi seteru terbesarnya. Siapa pun yang tidak sejalan dengannya ditabrak, dicaci maki, diintimidasi. Dalam orasi anak buahnya di gedung Kementerian Pertanian beberapa hari yang lalu, anak buah Sang Imam Besar menuduh petinggi NU telah dibeli karena tidak tegas mendukung aksi bela Islam.
Saya kira masa depan politik Indonesia akan suram kalau panggung politiknya didominasi oleh politisi dengan karakter dua orang itu.