Beberapa pekan terakhir ini sekurang-kurangnya ada tiga ironi yang menyedihkan bagi umat Islam. Terus terang, saya sebetulnya geli kalau mau mengatasnamakan umat Islam. Tapi ya gimana lagi, kalau istilah “atas nama umat Islam” kini sudah kadung populis. Jadi demi itu, saya tidak mau ketinggalan tren.
Baik, kira-kira kalau diurutkan secara kronologis, di urutan ketiga ada—tarik-ulur—puisi atau doa Neno Warisman saat Munajat 212 di kawasan Monas Jakarta, Kamis (21/2) malam. Ia menjadi ironi sebab seolah-olah mendikte Dzat yang menjadi objek munajat.
Sementara berada di posisi kedua, fenomena Sugi Nur yang menggeparkan akal sehat. Ya, seperti diketahui, telah beredear video penceramah kontroversial—dalam arti sebenarnya—tentang Sugi yang diinterupsi oleh Jamaahnya, baik gara-gara kata-kata dia yang sangat tidak terpuji maupun salah kutip ayat. Tapi ya namanya saja Sugi. Yang penting mah dakwah. Salah benar itu urusan nanti.
Dan, menempati peringkat pertama, ada Ahmad Dhani yang menulis surat tentang jenis-jenis Nahdlatul Ulama (NU). Surat itu dia tulis di Rutan Kelas 1 Surabaya sebagai Pondok Pesantren Medaeng. Surat kemudian dibagikan menjelang sidang lanjutan kasus pencemaran nama baik atau kasus ‘idiot’ di Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (19/2/2019).
Tulisan ini kurang lebih akan membincang yang pertama itu. Ya, Lewat surat tersebut, Dhani menyatakan bahwa NU yang dia ikuti adalah NU yang bukan Islam Nusantara, tetapi ‘NU Gusdurian’. Lalu untuk menegaskan posisi, punggawa grup musik Dewa 19 itu menandaskan bahwa dia adalah “NU pengikut Hadratussyekh Hasyim Asy’ari”.
Ini menarik sekaligus rumit. Pasalnya, orang sementereng Ahmad Dhani sampai harus menegaskan kalau dirinya merupakan bagian dari NU, salah satu organisasi terbesar dan memiliki pengaruh signifikan bagi bangsa Indonesia.
Ya, lahir di Surabaya dan pernah berada di jajaran Lembaga Seni Budaya Muslimin (Lesbumi) NU saya kira dua hal itu lebih dari cukup untuk mengatakan jika Dhani memang NU. Lebih-lebih mengingat Dhani juga pernah meminta dukungan NU melalui mendiang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat berpolemik dengan FPI.
Masalahnya, mengapa ia sampai menolak “Islam Nusantara” yang, kita tahu bahwa ide itu merupakan ciri yang melekat dalam tubuh NU. Sudah begitu, ia justru membenturkan dengan ‘NU Gusdurian’.
Padahal, NU dengan Gusdurian adalah dua hal yang berbeda kendati memiliki prinsip-prinsip dasar yang sama. NU adalah Ormas sosial-keagamaan, sedang Gusdurian adalah komunitas yang berupaya merawat pemikiran-pemikiran Gus Dur. Dari sini saja sudah kentara perbedaannya.
Lagi Pula, Islam Nusantara merupakan pengembangan ide dalam apa yang disebut oleh Gus Dur sebagai “Pribumisasi Islam”. Dengan kata lain, Islam Nusantara tidak lebih dari sekadar ide untuk memudahkan masyarakat memahami substansi dari ajaran Islam. Ia bukanlah ajaran apalagi agama baru.
Maka, cukup masuk akal kalau menanggapi fenomena tersebut Ketua Umum Pengurus Besar NU (PBNU) KH Said Aqil Siradj menyatakan bahwa Dhani tidak paham NU. Meski begitu, Kiai Said juga mengatakan kalau NU telah beberapa kali memberikan kesempatan untuk Ahmad Dhani. Tapi menurutnya, kini Ahmad Dhani justru melecehkan NU. Duh…. (Bersambung)