
Banyak yang meragukan kisah Imam Syafi’i bisa khatam sebanyak 60 kali di bulan Ramadhan. Menurut mereka, ini tidak masuk akal. Ada pula yang menilai bahwa cerita ini tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad.
Meski demikian, mereka yang menolak tentu sepakat bahwa bagaimana pun Imam Syafi’i adalah sosok nyata dan lebih masyhur dengan keilmuannya ketimbang sohor dengan karomahnya yang mendatangkan peristiwa luar biasa yang bikin decak kagum. Pemahaman bersama ini perlu menjadi pegangan untuk melihat apakah penilaian yang kita lakukan terhadap kisah Imam Syafi’i tersebut tepat atau tidaknya.
Kisah tentang Imam Syafi’i itu terdapat dalam beberapa kitab mu’tabarah. Misalnya, Imam Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh al-Baghdad mengutip kisah Imam Rabi’ bin Sulaiman, salah satu murid kinasih Imam Syafi’i. Bahwasanya kalau memasuki bulan Ramadhan Imam Syafi’i mengkhatamkan al-Quran sebanyak 60 kali. Kisah ini juga termaktub dalam Siyar a’lam an-Nubala karya Imam adz-Dzahabi.
Secara riwayat, hampir tidak ada masalah. Rawi-nya berasal dari murid Imam Syafi’i langsung dan tercantum dalam kitab-kitab mu’tabarah. Kredibilitas dan integritasnya rasanya sudah aman.
Pertanyaannya, apakah mungkin? Bagi yang menolak tentu jawabannya adalah tidak mungkin. Apalagi ada hadis Nabi yang melarang sahabat Abdullah bin Amr bin Ash untuk mengkhatamkan al-Quran kecuali dalam 7 hari, tidak boleh kurang dari itu. Hal ini ditegaskan juga dalam riwayat lain yang disampaikan Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi berpesan agar mengkhatamkan al-Quran dalam 7 hari, paling sedikit 3 hari. Kenapa demikian?
Pertama, masih dalam riwayat Abdullah bin Amr bin Ash, Nabi menilai bahwa orang yang mengkhatamkan al-Quran kurang dari tiga hari tidak akan memahami kandungannya. Ada kekhawatiran Nabi bahwa yang dikejar dari membaca al-Quran model ini hanya pahalanya, bukan memahami kandungannya. Memang betul bahwa pahala membaca al-Quran itu sungguh agung, dan digambarkan dengan membaca setiap hurufnya mendapatkan pahala yang besar. Kalau membaca الم maka yang dihitung adalah setiap huruf di dalamnya, setiap alifnya beroleh kebaikan; setiap lam-nya beroleh kebaikan, setiap mim-nya beroleh kebaikan. “Setiap kebaikan dilipatgandakan sepuluh semisalnya,” sabda Nabi.
Tetapi, di sisi lain, yang mesti menjadi pegangan setiap muslim adalah mesti memahami al-Quran adalah sumber utama pengetahuan. Hal ini ditegaskan dalam salah satu ayat-Nya:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapatkan pelajaran” (QS Shad: 29).
Berkat memahami dan meneladani al-Quran dengan pendekatan inilah para ulama kita membangun peradaban kemanusiaan, mulai dari penemuan saintifik, teologi, sampai ke humanisme. Karena itu, memahami pesan-pesan dan makna al-Quran menjadi penting.
Tetapi, pada seberang lainnya, Allah menciptakan manusia-manusia istimewa. Mereka diberi ketajaman berpikir dan kejernihan hati, sehingga bisa membaca dengan cepat sekaligus tetap memahaminya dengan baik. Seperti Imam Syafi’i. Beliau hafal al-Quran sejak usia sangat dini dan mendirikan dan mengembangkan corak pemikirannya dalam bidang fikih, sehingga menjadi satu dari empat madzhab paling masyhur di dunia.
Ketika mendengar riwayat tentang beliau mengkhatamkan al-Quran sebanyak dua kali dalam sehari di bulan Ramadhan dan mencoba memahami pesan Nabi dalam hadisnya di atas, maka kita perlu menguraikan alurnya agar tidak bingung.
Pertama, Nabi melarang bukan tanpa alasan. Yang utama adalah soal tidak memahami (لا يفقه). Memang khitab (objek bicara) dalam hadis di atas adalah Abdullah bin Amr bin Ash, salah seorang sahabat mulia yang dikenal sebagai salah satu sahabat yang cerdas dan menyusun Ash-Shahifah Ash-Shadiqah, sebuah dokumen penting yang ditulis pada era Nabi Muhammad yang mengumpulkan hadis-hadis Nabi. Tetapi, Nabi ingin menyampaikan pesan kepada umatnya secara umum yang kemampuannya dalam memahami beragam. Tidak seperti Abdullah bin Amr bin Ash semua.
Dalam istilah ushul fiqh, “tidak memahami” ini disebut sebagai ilat. Dalam sebuah keputusan hukum, ada atau tiadanya ilat ini menjadi penentu. Kaidah ushul fiqih-nya:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
Sebuah keputusan hukum itu bergantung kepada keberadaan atau ketiadaan illat-nya.
Dalam konteks “memahami” ini maka Imam Syafi’i sudah tidak memiliki masalah. Di samping itu, dari sisi teknis Imam Syafi’i tentu tidak memiliki kendala dalam membaca cepat. Sudah hafal sejak kecil, beliau bisa membaca cepat sambil tetap memahami dan menikmatinya. Kalau kita membaca karya-karyanya seperti ar-Risalah atau al-Umm, tentu kita mendapati kesan sangat kuat bahwa Imam Syafi’i tidaklah membangun argumennya kecuali berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap al-Quran dan Sunnah. Dalam halnya Imam Syafi’i, tidak ada illat yang memungkinkan beliau tidak memahami membaca al-Quran secara cepat.
Sekarang, pertanyaannya, apakah memungkinkan beliau mengkhatamkan al-Quran sebanyak dua kali dalam sehari? Sangat mungkin dan bisa juga panjenengan ikuti. Berikut ini perkiraan yang bisa dijadikan sebagai patokan. Sebagai catatan, saya menggunakan mushaf pojok atau mushaf Madinah. Biasanya, 1 juz berisi 10 lembar atau 2 halaman.
Saya bertanya ke beberapa teman yang hafidz/hafidzah dan menemukan fakta bahwa untuk membaca mushaf sebanyak 1 juz mereka membutuhkan waktu paling lama 15 menit. Ketika ditanya apakah bisa dalam 10 menit, ada yang menjawab bisa dengan syarat dalam juz itu ada surah yang sering dibaca atau juz-juz awal. Yang perlu menjadi catatan adalah rata-rata hafidz/hafidzah yang saya tanya ini baru benar-benar hafal 30 juz di usia menjelang 20-an dan ada yang usia di atas 20 tahun baru hafal. Dari data sementara ini, mari kita bulatkan menjadi 15 menit. Jadi, satu muka halaman dibaca selama 1,5 menit.
Berikut ini estimasinya:
• Waktu per juz: 15 menit
• Jumlah juz: 30 juz
• Waktu khatam 1 kali: 15 menit/juz x 30 juz = 450 menit = 7,5 jam
• Waktu khatam 2 kali sehari: 7,5 jam x 2 = 15 jam
Husnudhan, Imam Syafi’i bisa membaca 1 juz dalam 10 menit, bahkan kurang dari itu. Kalau dengan estimasi ini, maka membutuhkan waktu 10 jam untuk bisa mengkhatamkan al-Quran sebanyak dua kali sehari. Angka ini menjadi lebih mudah dipahami. Ini setara dengan waktu orang bekerja sehari-hari. Dengan standar orang awam saja sudah bisa masuk, apalagi kalau melihat ukuran orang-orang khusus, seperti Imam Syafi’i. Beliau yang memanfaatkan sepenuh waktunya untuk beribadah dan menyebarkan kebaikan dengan ilmunya. Selain mengkhatamkan al-Quran tentu beliau sangat bisa terus mengajar dan melakukan banyak kebaikan lainnya.
Dari sini jelas bahwa kisah Imam Syafi’i khatam al-Quran 2 kali sehari sangat masuk akal dan siapa pun yang memiliki kemampuan untuk mengikuti teladannya dipersilakan untuk melakukannya.
Wallahu a’lam bish-showwab
(AN)