Persia menjadi lahan subur tumbuhnya gagasan-gagasan mistik Islam. Dari tanah ini sudah banyak tokoh-tokoh sufi lahir secara berkesinambungan, salah satunya al-Farmadi. Ketika satu guru mistik meninggal, maka muncul tokoh baru yang mempunyai otoritas sebagai guru sufi.
Sufi awal dari Persia yang sangat terkenal adalah Syekh Yazid al-Busthomi. Makamnya berada di kota kecil Basthom, provinsi Semnan Iran. Beliau merupakan mursyid tarekat Naqsyabandiyah ke-6. Kemudian, otoritas mistik ini diteruskan oleh Syaikh Abu Hasan Kharaqani sebagai mursyid ke-7. Makamnya terletak di desa Kharaqan yang tidak jauh dari Basthom.
Setelah Abu Hasan meninggal, posisinya diturunkan kepada Syekh Abu Ali al-Fadl al-Tusi al-Farmadi sebagai mursyid tarekat Naqsyabandiyah ke 8. Ia lahir pada tahun 407 H di Tus dan meninggal di kota yang sama tahun 477 H.
Nama Al-Farmadi merujuk pada sebuah desa di kota tua Tus, Khurasan Iran sebagai kampung halaman Abu Ali. Selain Abu Ali, tokoh masyhur dari kota ini adalah al-Ghazali, hanya saja berlainan kampungnya. Berbeda dengan al-Ghazali yang berada di kampung Thabaran, Abu Ali menempati kampung Farmad. Jadi, jika suatu saat ada kesempatan mengunjungi kota Tus, Anda bisa mengunjungi kedua tokoh ini karena makamnya masih dapat diziarahi.
Untuk mencapai kota Tus, jika dari Tehran, maka kita harus naik transportasi menuju kota Mashad sebagai ibukota provinsi Khurasan Rezavi. Kota besar Mashad adalah perkembangan dari kota besar Tus di masa lalu. Sementara, Tus saat ini hanya menjadi kota kecil di dekat Mashad.
Jangan khawatir karena ada transportasi khusus yang menghubungkan Mashad dengan Tus. Lama perjalanan bisa mencapai 2 jam, tetapi jika ingin cepat taksi adalah pilihan yang tepat. Nanti turunnya di halte Ferdowsi tepat di depan makam sastrawan Persia Hakim Ferdowsi. Dari sana, kita tinggal bertanya arah menuju desa Farmad dimana makam Abu Ali berada.
Abu Ali Farmadhi mulai bersinggungan dengan dunia tasawuf di kampung halamannya Tus dari al-Ghazali al-Kabir, ayah Imam Ghazali. Setelah itu, ia berkelana ke kota besar Nishapur untuk berguru kepada guru mistik paling masyhur di Khurasan, Syekh Abu Sa’id Abul Khair. Suatu hari, ia ingin sekali bertemu dengan Syekh Abu Sa’id. Lantas, ia pergi ke luar dan menemukan Syekh dengan pengikutnya di alun-alun.
Ketika mereka pergi ke suatu tempat, ia tetap mengikutinya. Sampai tiba Syekh Abu Sa’id dan pengikutnya berdendang dan bernyanyi spiritual di suatu tempat. Abu Ali menyaksikan dari belakang tanpa diketahui Syekh Abu Sa’id. Setelah beberapa saat, Abu Sa’id pun mencapai ekstasi dan merobek bajunya. Sobekan-sobekan tersebut dibagikan kepada pengikut-pengikutnya hingga yang tersisa hanya lengan kemejanya.
Tanpa diduga, Syekh Abu Sa’id memanggil Abu Ali yang sedang bersembunyi, “O Abu Ali Tusi! Di mana kamu?” Abu Ali tetap diam karena dia menganggap syekh memanggil orang lain yang namanya sama dengannya. Ketika dipanggil untuk ketiga kalinya, ia pun muncul dan syekh memberikan sobekan lengan kemeja yang diberkati kepadanya. Ia pun menjaganya dan menerima banyak pencerahan spiritual setelah itu.
Sepeninggal Syekh Abu Sa’id, Abu Ali berguru kepada Imam Qusyairi, seorang guru sufi yang masih berada di Nishapur. Ia berkhidmat kepada gurunya ini sampai mencapai tingkat spiritual yang dimiliki sang guru. Terkait hal ini, Imam Qusyairi mengatakan bahwa apa yang ia capai selama 70 tahun dalam dunia spiritual dapat dilahap oleh Abu Ali dalam waktu yang singkat.
Atas izin Imam Qusyairi, Abu Ali Farmadi mengembara mencari guru spiritual lain. Ia kemudian bertemu dengan Syekh Abul Qasim al-Gurgani, seorang sufi dari Gorgon, kota kecil dekat laut Kaspia. Jika ingin berziarah, Syekh Gurgani ini makamnya berada di kota Torbat Heidariyeh, Iran. Syekh Gurgani adalah salah satu mata rantai dalam tarekat Naqsyabandiyah. Ia menerima transmisi spiritual dari Abu Hasan Kharaqan dengan metode uwaisi yakni tanpa interaksi fisik.
Di sini, pengalaman spiritual Abu Ali semakin matang hingga ia diangkat menjadi menantu oleh Syekh Gurgani. Ia menempa diri kepada Syekh Gurgani bersama al-Hujwiri yang juga menjadi seorang sufi yang disegani. Walaupun mempunyai dua murid yang brilian, syekh Gurgani menunjuk Abu Ali sebagai suksesor spiritual yang menggantikan dirinya.
Dalam hal ini, al-Hujwiri dalam kitabnya Kashful Mahjub juga mengakui keistimewaan Abu Ali. Ia berkata, “Semua muridnya adalah ornamen masyarakat dimanapun mereka berada. Insya Allah Syekh Gurgani akan mempunyai pengganti yang sangat baik, yang otoritasnya akan diakui seluruh sufi, yakni Abu Ali al-Fadhl bin Muhammad al-Farmadi. Al-Farmadi tidak pernah lalai memenuhi tugas kewajibannya terhadap gurunya, dan telah meninggalkan semua hal duniawi. Melalui berkah dari penolakan itu, Allah telah menjadikannya sebagai corong spiritual.”
Selain dari syekh Gurgani, al-Farmadi juga menerima estafet kepemimpinan dari Abu Hasan Kharaqan dengan metode yang sama yakni uwaisi. Oleh karenanya, tak salah jika Abu Ali ditunjuk sebagai mursyid ke-8 dalam mata rantai tarekat Naqsyabandiyah sebagai pengganti Syekh Kharaqan.
Setelah menjadi guru sufi, Abu Ali kembali ke kampung halamannya di Farmad, Tus. Ia banyak memberikan petunjuk kepada orang yang sedang mencari pencerahan spiritual. Di antara yang mengambil manfaat darinya adalah Ahmad al-Ghazali, Imam Ghazali, dan Syekh Yusuf Hamedani. Abu Ali dan al-Ghazali sangat mungkin berinteraksi dengan intens. Selain sezaman, mereka juga tinggal di kota yang sama di masa tuanya yakni Tus.
Pengaruh Abu Ali dalam Ihya Ulumuddin-nya al-Ghazali cukup terlihat. Al-Ghazali berusaha mengawinkan syariat dengan tasawuf seperti yang dilakukan oleh Abu Ali yang didapat dari Imam Qusyairi. Sementara, Syekh Yusuf Hamedani menjadi penerus dirinya dalam memangku jabatan sebagai mursyid Naqsyabandiyah. (AN)