Beberapa hari lagi saatnya lebaran tiba. Kata ‘lebaran’ dekat sekali dengan Bahasa Jawa wes lebar yang artinya sudah usai, yakni selesai sudah kewajiban puasa selama bulan Ramadhan. Begitulah lebaran digunakan dalam bahasa Indonesia utk menunjukkan satu moment keberhasilan melewati bulan Ramadhan.
Logika bahasa semacam lebaran ini juga berlaku dalam bahasa Arab. Orang-orang Arab menggunakan kata ‘iedul fitri (عيد الفطر)’ utk menunjukkan bolehnya sarapan kembali setelah sebulan penuh mereka tidak nyarap. Begitulah kata ‘الفطر’ yg serumpun maknanya dengan ‘افطار’ yg berarti berbuka ataupun ‘الفطور, تناول الفطور’ yg bermakna sarapan pagi.
Maka perlu diperhatikan bahwa kaya ‘الفطر’ tidak ada hubungannya dengan makna suci, bersih ataupun sejenisnya kecuali hanya penafsiran bebas atau salah alamat dengan kata ‘الفطرى’ yg mengandung makna nurani, naluri, alami dll (lihat kembali kamus bahasa arab).
Oleh karena عيد الفطر adalah momentum diperbolehkannya sarapan kembali, maka orang2 islam yg mampu diwajibkan utk membayar ‘zakat fitri (زكاة الفطر)’ yaitu zakat yg besarannya utk sekali sarapan, tidak lebih (2,5 kg beras). Sebab itu zakat fitri harus berupa bahan makanan pokok, yg biasa dipakai nyarap tidak yg lain.
Lagi-lagi kata fitri diselingkuhkan dengan kata fitrah yg diartikan suci. Sehingga zakat fitri sering difahami sbgi zakat yg fungsinya membersihkan diri. Padahal tidak demikian, karena zakat fitri hanya dipersiapkan utk membantu saudara yg tidak mampu nyarap esok hari. Sementara zakat yg berfungsi membersihkan harta harus disalurkan melalui zakat mall (bukan zakat fitri). Mosok dengan beras 2,5 kg aja mau bersih2 diri, murah sekali….hehehe.
Meski demikian, karena bahasa adalah kesepakatan penggunanya, tidak ada salahnya jika orang indonesia bersepakat memaknai idul fitri dengan hari kembali suci dan zakat fitrah dengan zakat bersih-bersih diri, peduli apa dengan urusan orang Arab.
Bisa jadi jika Islam lahir di Indonesia kata lebaran diArabkan menjadi عيد القهوة hari kembali ngopi, dan shalatnya disebut shalat sunnah iedul qahwah…asik juga tuh.
Hal ini pada hakikatnya menunjukkan bahwa segala teks dalam Islam (termasuk di dalamnya adalah urusan ibadah) selalu ada konteksnya, yg jika difahami dgn benar akan menambah kwalitas keimanan.