Islami.co (Jakarta) – Harakah Majelis Taklim (HMT) menggelar halaqah sekaligus deklarasi untuk memperkuat peran majelis taklim dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak di Hotel Yuan, Jakarta Pusat. Langkah ini dilakukan sebagai respons atas meningkatnya kasus kekerasan, yang dianggap masih sering tersembunyi di bawah permukaan masyarakat.
Ketua Pembina HMT, Ida Fauziyah, dalam sambutannya mengungkapkan bahwa masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak ibarat fenomena gunung es. “Apa yang terlihat mungkin hanya sedikit dari jumlah kasus yang sebenarnya terjadi. Banyak kasus yang tidak tercatat atau dilaporkan karena berbagai faktor, termasuk stigma dan ketakutan korban,” ujar Ida, yang juga merupakan anggota DPR RI. Menurutnya, negara telah berusaha melakukan berbagai upaya perlindungan melalui lembaga seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan, namun dengan luasnya wilayah Indonesia dan keterbatasan sumber daya, upaya tersebut tidak selalu dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Melihat keterbatasan tersebut, Ida mendorong kelompok-kelompok masyarakat, termasuk majelis taklim, untuk berperan aktif dalam melindungi dan membantu korban kekerasan. “Peran kelompok masyarakat ini sangat penting, terutama yang berada di akar rumput, dekat dengan komunitas lokal,” ungkap Ida. Majelis taklim, menurutnya, memiliki potensi besar karena tersebar luas di kota dan desa, memiliki jaringan jamaah yang besar, dan umumnya dipercaya oleh masyarakat.
Fitria Villa Sahara, Co-Direktur Yayasan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), menegaskan bahwa majelis taklim memiliki banyak kelebihan untuk turut serta dalam upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak. “Majelis taklim memiliki SDM yang mumpuni dan dekat dengan masyarakat. Peran ustadzah dalam majelis taklim seringkali didengarkan, bahkan dianggap sebagai sosok panutan,” kata Fitria. Ia juga menekankan pentingnya membangun perspektif adil gender, menginternalisasi norma anti kekerasan, dan melakukan pendampingan terhadap korban kekerasan. Menurutnya, majelis taklim bisa menjadi garda depan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan empatik bagi korban kekerasan.
Lebih lanjut, Fitria menyoroti bahwa penanganan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan pendekatan menyeluruh yang melibatkan sinergi semua lapisan masyarakat, dari komunitas lokal hingga tingkat nasional. “Mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah isu yang kompleks, tidak bisa dilakukan sendiri. Diperlukan kolaborasi nyata dari berbagai pihak, mulai dari lembaga dan komunitas desa hingga pemerintah pusat,” tambahnya.
Ia merinci tiga poin utama yang perlu dijalankan oleh majelis taklim: memperkuat peran setiap pihak, mulai dari akademisi hingga tokoh agama yang berperspektif keadilan; melakukan kolaborasi yang dimulai dari penyadaran hukum dan edukasi; serta melakukan advokasi untuk mendorong pemerintah memperkuat kebijakan perlindungan.
Siti Husna Lebby Amin dari Forum Pengada Layanan turut membahas peran strategis majelis taklim dalam empat fungsi utama. Pertama, fungsi pencegahan, yang dapat dilakukan dengan edukasi tentang bentuk dan bahaya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kedua, fungsi perlindungan, di mana majelis taklim bisa menjadi ruang aman bagi korban yang membutuhkan tempat untuk bercerita dan merasa didukung. Ketiga, fungsi penanganan, yaitu mendampingi korban dalam proses hukum sehingga korban tidak merasa sendirian dalam menghadapi kasusnya. Keempat, fungsi pemulihan, di mana ustadzah dan pemimpin majelis taklim bisa berperan sebagai konselor agama bagi korban yang seringkali mengalami trauma, termasuk perasaan bersalah atau victim-blaming.
“Korban kekerasan kerap kali merasa disalahkan dan sendiri. Majelis taklim bisa menjadi ibu bagi korban, tempat yang aman untuk mereka berbagi dan mendapatkan dukungan,” ucap Lebby. Ia menekankan pentingnya pendampingan emosional dan psikologis bagi korban agar mereka dapat pulih dari trauma dan kembali membangun kehidupan yang lebih baik.
Acara ini kemudian diakhiri dengan deklarasi bersama bertajuk “Stop Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” yang dipimpin oleh Ketua PP HMT, Nuryati Murtadho. Deklarasi tersebut diikuti oleh berbagai organisasi pemberdayaan perempuan seperti Fatayat, IPPNU, Aisyiah, BKMT, FKMT, FOKUS, Majelis Ilmuan Indonesia, Permata, KUPI, Muslimat, LKKNU, dan DMI. Mereka semua berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya kekerasan terhadap perempuan dan anak serta mendukung korban dengan berbagai langkah nyata.
Poin-poin deklarasi tersebut mencakup upaya untuk menyebarkan informasi tentang bentuk-bentuk kekerasan, mendidik masyarakat agar tidak menjadi pelaku atau korban, membangun empati dan cara pandang yang lebih adil terhadap korban, serta menjadikan majelis taklim sebagai tempat aman bagi korban kekerasan. Mereka juga berjanji untuk bekerja sama dengan Forum Pengada Layanan untuk menyediakan bantuan bagi korban yang membutuhkan.
(AN)