Persiapan Agar Anak Betah Belajar di Pesantren
Rasanya sakit hati manakala ada santri tidak betah di Pesantren. Apalagi kalau sampai alasannya karena dibully dan dipukuli oleh teman-teman sejawatnya. Kalau alasannya masih sulit beradaptasi, itu masih wajar, sehingga masih ada kesempatan untuk nanti bisa belajar kembali di Pesantren. Namun, memang, tidak tega juga kalau misal ada santri usia di bawah SMP/sederajat sudah “dilempar” ke Pesantren. Tidak bisa membayangkan betapa repotnya menjadi santri dengan usia di bawah SMP/sederajat. Oleh karena itu, sebagai salah seorang yang pernah menjadi santri, para orang tua sebaiknya jangan terlalu buru-buru melempar anaknya ke Pesantren sebelum usia masuk SMP/sederajat.
Berikut urun rembuk saya untuk para orang tua dan calon santri agar kelak manakala di Pesantren bisa betah, mampu beradaptasi dan tahan banting akan segala tantangan yang ada di Pesantren. Pertama, ajak anak jauh-jauh hari sebelum belajar sungguhan di Pesantren. Persiapan ini akan menimbulkan setidaknya dampak psikologis agar anak bisa membayangkan suasana hidup di Pesantren. Saat liburan sekolah, ajak anak untuk berkunjung ke beberapa Pesantren, berkeliling mengamati setiap aktivitas para santri di Pesantren. Upaya ini penting agar terhindar dari unsur pemaksaan orang tua terhadap anak.
Kedua, jalin hubungan dan komunikasi yang baik dengan pimpinan Pesantren, pengurus (yang kerap dijadikan Ustadz/Ustadzah) dan para santri di kamar dan sekitarnya. Upaya ini dilakukan agar terjalin sikap empati satu sama lain, berikut tumbuh sikap saling membantu, memaklumi dan seterusnya. Jangan sekadar menitipkan anak di Pesantren, tanpa melakukan hubungan dan komunikasi yang intens dengan para pihak di lingkungan Pesantren. Bahkan dalam jangka waktu di bawah satu tahun, para orang tua tidak boleh lengah.
Ketiga, beri bimbingan bagaimana hidup mandiri dan segala cara menghadapinya. Bimbingan seperti ini sangat dibutuhkan oleh calon santri agar ia tidak kaget dan tiba-tiba selalu minta pulang kalau ada tantangan hidup mandiri yang harus dihadapi. Bagaimana cara mencuci, menjemur, melipat, dan menyetrika pakaian (bagi santri yang tidak ada fasilitas laundry), bagaimana kalau tiba-tiba sakit, uangnya hilang, kunci lemari hilang, uang bekal habis dan seterusnya. Termasuk memberi bimbingan agar anak bisa bersosialisasi dengan teman-teman sejawatnya.
Keempat, para orang tua harus waspada, dalam arti berdo’a, bahkan tirakat karena Allah untuk anaknya yang sedang belajar di Pesantren. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa koneksi batin anak dengan orang akan terus terhubung. Rasa rindu orang tua terhadap anak, demikian juga sebaliknya bisa disampaikan melalui do’a. Do’a ini, bagi umat Muslim bisa dijadikan andalan agar anak selama berada di Pesantren senantiasa mendapatkan perlindungan dari Allah Swt dari berbagai macam bahaya yang mungkin tidak diduga sekalipun.
Selebihnya peran tua harus terus diperkuat, bagaimana misalnya anaknya diberi bekal untuk bisa selalu berwapada dini, terlebih para santri perempuan yang sangat rentan mendapatkan pelecehan dan kekerasan seksual dari para pimpinan maupun pembimbingannya sendiri di Pesantren. Inilah pentingnya Pesantren melek kesehatan reproduksi, Pesantren yang juga ramah terhadap anak. Jangan sampai nilai-nilai Islam yang ada di Pesantren malah tercoreng oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Para santri juga harus dibekali bagaimana caranya mengelola waktu dan aktivitas. Tidak bisa dipungkiri bahwa para santri akan dibebani banyak pelajaran, di sekolah dan di Pesantren. Apalagi Pesantren-pesantren yang begitu menekankan hafalan demi hafalan. Mestinya Pesantren-pesantren bisa menyesuaikan dengan kondisi para santri. Pesantren harus mampu menampung aspirasi para santri misalnya penyaluran minat dan bakat, out bond, dan berbagai acara yang menghibur lainnya.
Tidak terasa, saya dulu pernah belajar di Pesantren sampai belasan tahun lamanya. Awalnya tidak betah, sering menangis, bawaannya kangen rumah, pengin pulang, apalagi kalau sakit, mulai dari sakit kepala, sakit mata, sariawan, sampai penyakit yang kerap disebut “cengkreng.” Penyakit yang terakhir ini tidak kalah menyiksa, tetapi malah dianggap sebagai berkahnya menjadi santri. Dianggap resmi menjadi santri kalau sudah mengalami cengkreng. Walhasil kurikulum Pesantren perlu mendapatkan perhatian besar agar bisa menyesuaikan dengan psikologis para santri.