Perdagangan Budak di Jeddah Abad 19, Jamaah Haji Nusantara Juga Jadi Korbannya.

Perdagangan Budak di Jeddah Abad 19, Jamaah Haji Nusantara Juga Jadi Korbannya.

perdagangan budak masih terus berlanjut di wilayah Hijaz pada abad 19. Jeddah termasuk pasar penting di Hijaz untuk memperjual-belikan budak. Konsul Belanda di Jeddah melaporkan, budak dipertontonkan secara terbuka di pasar dan djual melalui perlelangan. Sekalipun Nabi Muhammad tegas melarang perbudakan, namun faktanya praktik ini masih terus berlanjut.

Perdagangan Budak di Jeddah Abad 19, Jamaah Haji Nusantara Juga Jadi Korbannya.
Kapan membawa jemaah haji ke mekah tempo dulu [Poto diambil dari Republika]

Ibadah haji pada masa sekarang jauh lebih mudah dibanding masa lampau. Sekalipun ada pembatasan kuota haji, namun itu belum ada apa-apanya dibanding kesulitan yang dirasakan jemaah haji tempo dulu. Haji zaman dulu mempertaruhkan semua yang dimiliki, tidak hanya harta, tetapi juga keluarga dan nyawa. Perjalanan ibadah haji saat itu juga tidak cepat, butuh waktu lama, dan berbulan-bulan. Sudah waktunya lama, mereka juga belum tentu bisa pulang, karena berbagai alasan: tidak ada uang, sakit, atau meninggal di tanah suci.

Salah satu masalah utama yang dihadapi jemaah haji pada waktu itu adalah keamanan. Selain transportasi publik masih terbatas, perjalanan haji juga belum tentu aman. Penipuan dan perampokan seakan-akan sudah menjadi hal yang lumrah. Banyak jemaah haji tidak bisa pulang kampung, sebab uangnya dirampok, dicuri, atau ditipu di tengah jalan.

Dalam catatan perjalanan ibadah hajinya, Bupati Bandung Wiranatakusama mengatakan penipuan awal dari semua kesengsaraan jamaah haji nusantara. Pada saat sampai di Jeddah, Wiranatakusuma menulis, “Sekarang adalah awal semua kesengsaraan, para jamaah ditipu dengan perbagai cara oleh para pedagang dan pemandu jalan.” Ia naik haji pada tahun 1924, catatan lengkapnya dapat dibaca dalam Naik Haji di Masa Silam: Kisah-Kisah Orang Indonesia Naik Haji (1482-1964), jilid 2 (1900-1950), yang disusun oleh Henri Chambert Loir.

Jemaah haji dari Nusantara umumnya sangat polos. Karenanya, tidak heran seringkali menjadi korban penipuan. Dalam benak mereka, tidak mungkin ada kejahatan di tanah suci, semuanya dianggap baik-baik saja. Ada pula yang ketipu karena lekas percaya, seperti ditipu karena beli jimat dan sebagainya.

Penipuan inilah yang menyebabkan banyak jemaah haji hidupnya terlunta-lunta, berhutang sana-sini untuk memenuhi kehidupan harian, tidak bisa pulang kampung, bahkan dalam beberapa kasus akhirnya mereka terjerumus pada kerja paksa atau perbudakan.

Seperti ditulis Marcel Witlox, perdagangan budak masih terus berlanjut di wilayah Hijaz pada abad 19. Jeddah termasuk pasar penting di Hijaz untuk memperjual-belikan budak. Konsul Belanda di Jeddah melaporkan, budak dipertontonkan secara terbuka di pasar dan djual melalui perlelangan. Sekalipun Nabi Muhammad tegas melarang perbudakan, namun faktanya praktik ini masih terus berlanjut.

Apalagi, perdagangan budak pada masa Turki Usmani seakan-akan sebagai sesuatu hal yang legal dan tidak dilarang. Pada tahun 1855, pemerintah Turki Utsmani mengeluarkan aturan penghapusan perdagangan budak di Hijaz, karena desakan dan advokasi dari berbagai negara Eropa, namun pada praktiknya perdagangan itu masih terus berlanjut, usaha impor budak masih terus berjalan. Bahkan, sebarang kantor konsul Belanda menjadi tempat penyimpanan budak. Berpuluh-puluh budak dipasarkan tiap sore di lorong kota Jeddah.

Dalam tulisannya, Mempertaruhkan Jiwa dan Harta Jemaah Haji dari Hindia Belanda Pada Abad ke 19 ( Seri INIS 30 [1997]), Witlox menyebut tidak semua jemaah haji pandai mengatur keuangan, sehingga uang mereka sudah habis sebelum pulang. Selain itu, mereka juga kerap kena tipu, dirampok di tengah jalan. Dalam beberapa kasus, ada juga yang diculik secara paksa dan dijual sebagai budak.

Nasib jamaah haji sangat menyedihkan. Dalam laporan konsul belanda digambarkan bahwa mereka yang tidak punya uang ini hidup terlantar dan kelaparan di lorong jalan Jeddah. Waktu konsulat Belanda keliling di pagi hari pada saat musim haji berakhir, ia melihat mayat bergelimpangan dan bertumpukan di sepanjang jalan. Sebagian besar mayat dan pengemis dari jamaah haji Hindia-Inggris. Jumlahnya diperkirakan ribuan orang.

Untungnya, jamaah haji Hindia-Belanda tidak banyak ditemukan meninggal kelaparan atau menjadi pengemis, ini karena mereka yang kehabisan uang masih bisa mencari akal untuk meminjam uang atau bekerja di sana. Namun hal itu tidak menyelesaikan masalah, mereka menjadi terikat dengan majikan, dan tidak jarang majikan memperlakukan mereka sewenang-wenang. Pada akhirnya, jemaah haji yang berhutang itu juga terjebak pada sistem kerja paksa atau perbudakan, sebab tidak mampu bayar hutang. Dikabarkan mereka dikirim ke pedalaman hijaz, hingga tidak ada terdengar lagi kabar-beritanya.

Konsul Belanda di Jeddah terkadang membantu proses pembebasan budak dari Hindia Belanda yang diperjualbelikan. Bantuan yang diberikan tidak hanya pembebasan, tapi juga dipulangkan ke tanah air. Dalam laporan konsul tahun 1872, seperti dikutip Witlox, ada budak yang berasal dari Hindia-Belanda, dijual di pasar perbudakan Jeddah dengan harga F. 125. Karena bantuan Konsul Belanda, penjualan itu akhirnya dapat dibatalkan, selanjutnya budak itu dilepaskan dan dipulangkan.

Kemudian, tahun 1877 misalnya, ada juga orang dari Hindia-Belanda yang sudah 7 tahun menjadi budak. Dia berhasil kabur dan melaporkan diri pada konsulat. Dia mengaku dibawa dari tanah kelahirannya untuk ibadah haji, dan sesampai di Mekah dijual seharga 60 Dolar. Setelah bertemu konsulat, akhirnya dibantu proses pemulangannya.

Ada pula jemaah haji yang berhasil pulang dengan meminjam hutang, tapi dengan catatan mereka harus melunasinya dengan cara bekerja di Singapura dan Penang. Mereka balik ke Nusantara setelah semua hutangnya berhasil dilunasi. Sampai Singapura atau Penang, mereka diserahkan kepada pengusaha perkebunan untuk bekerja di sana. Ternyata, tidak banyak juga yang berhasil melunasinya, seperti tutup lubang gali lubang. Kebutuhan harian, semisal beli pakian, makan, rokok, dan lain-lain, membuat gaji yang mereka dapatkan tidak cukup untuk bayar hutang. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang pada gilirannya bekerja sebagai “budak perkebunan”.