9 Juni 2023 sekitar 300 jemaah gereja di Jerman menyimak khotbah yang disiarkan melalui layar lebar yang dipasang di atas altar. Si pendeta itu berkulit hitam itu memesona berbicara tentang kematian. Namun, bukan itu saja jadi sorotan.
Yang menarik dari peristiwa itu adalah bahwa si pengkhotbah itu bukan pendeta biasa tapi ‘seorang’ avatar. Materi khotbah yang dibaca adalah skrip yang disusun oleh AI (Artificial Intelegence). Dan para Jemaah mendengarkan dengan khidmat. Namun tidak sedikit dikepung kecemasan..
Terlepas dari polemik yang kemudian muncul, peristiwa tersebut menjelaskan kepada kita betapa teknologi telah menguasai kehidupan kita. Ini bukan kabar baru, sebenarnya. Tapi perkembangan yang dibawa oleh AI, tampaknya telah membawa pengaruh makin dalam.
Ia telah mengambil alih tugas-tugas yang biasanya hanya dilakukan oleh orang yang memiliki otoritas khusus.
Jika melihat perkembangan kecerdasan AI telah demikian jauh, lalu kira-kira di manakah posisi agamawan atau penyuluh agama Islam ke depan? Pertanyaan ini rasanya penting diajukan.
Prof. Kamaruddin Amin, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, di hadapan para penyuluh dan pegawai agama di lingkungan Kementerian Agama dalam acara Optimalisasi Peran Penyuluh Agama dalam Pembangunan Nasional di Wilayah II yang dilangsungkan di Hotel Sahid Yogyakarta pada 29 Mei 2023 lalu memberikan ulasan yang menarik.
“Penyuluh agama itu profesi yang keren,” katanya.
Penegasan ini ia sampaikan bukan tanpa alasan.
Agama, dikatakan oleh Pak Kamaruddin, adalah persoalan yang bisa masuk ke semua lini kehidupan. Hampir tidak ada ruang dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak bisa dimasuki oleh agama, sejak kelahiran hingga kematian.
Karena itu, ruang lingkup kerja penyuluh agama sangat luas. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat tumbuh silih berganti.
Memang tidak semuanya bersinggungan langsung dengan agama. Namun umumnya masyarakat membutuhkan penjelasan dengan perepsektif agama tentang persoalan-persolan yang berkembang. Mereka butuh pegangan untuk menyikapi dinamika yang terjadi.
AI dengan kekayaan data yang dimiliki dan kemampuannya mengolah data tersebut mungkin bisa memberikan jawaban yang cepat. Ia bisa memesona khalayak sebagaimana jamaah gereja di Jerman.
Tapi, sebagaimana kritik yang dilontarkan oleh banyak netizen kepada peristiwa di atas, agama tidak hanya soal informasi. AI bisa menghadirkan petuah-petuah spiritual yang melimpah tapi ia belum tentu mampu memberikan teladan sebagaima seorang kyai di hadapan santrinya.
Saya kira, di titik inilah penyuluh bisa mengambil peran, tentu tanpa mengabaikan pentingnya informasi. Karena itu, seorang penyuluh harus melengkapi dirinya dengan sejumlah kompetensi. Ia perlu memiliki pemahaman dan penguasaan tentang agama dan problem yang dihadapi oleh masyarakat, sehingga dapat memberikan respons yang memadai dan mencerahkan.
Prof. Kamaruddin menyarankan dua hal kepada para penyuluh; membaca dan membaca. Membaca dalam konteks ini tidak sebatas membaca buku dan teori tapi juga membaca situasi dan fenomena nyata yang tumbuh di sekeliling kita.
Membaca buku membuat seorang penyuluh memiliki akumulasi pengetahuan, kaya teori, referensi dan perspektif. Kekayaan semacam ini memperluas wawasan. Sementara itu, membaca fenomena selain membuat penyuluh selalu up-date dan tidak kehilangan kesadaran atas realitas.
Maka, kedua hal itu seharusnya dipadukan, sehingga seorang penyuluh bisa menghadirkan agama sebagai suatu panduan dan ajaran yang tetap relevan di tengah masyarakat, bukan sesuatu yang ketinggalan zaman dan menjadi beban sejarah. Agama yang bisa menjadi instrumen untuk menjalani kehidupan di masyarakat.
Peningkatan kompetensi ini menjadi makin penting saat ini ketika tantangan yang dihadirkan oleh perkembangan teknologi informasi. Tantangan lain yang dihadirkan oleh teknologi informasi adalah maraknya sumber-sumber pengetahuan tentang agama.
Di internet, kini semua orang bicara tentang agama. Tidak hanya ulama, politisi, penceramah, dukun, bahkan orang yang baru belajar agama satu atau dua hari atau hanya belajar agama dari postingan-postingan status di WhatsApp berkomentar tentang agama. Situs-situs yang membahas tentang agama berjibun. Setiap kelompok, mazhab, aliran berbicara menyuarakan pendapatnya.
Suara riuh itu di satu sisi menjadi berkah, tapi di sisi lain juga menjadi bencana tersendiri. Persoalan agama memang terlalu besar jika hanya diserahkan kepada ulama. Keikutsertaan semua pihak membicarakan agama adalah bentuk rasa memiliki, peduli dan tanggung jawab terhadap agama. Namun sayangnya, suara-suara itu sering kali juga menjadi sumber kegaduhan di masyarakat.
Di tengah kontestasi, persaingan wacana, dan padatnya lalu lintas informasi itulah kehadiran penyuluh menjadi penting. Ia menjadi suluh yang memberikan panduan bagi masyarakat. Penyuluh menjadi tempat bertanya dan sumber rujukan. Ia menjadi menjadi penggerak bagi pengembangkan literasi keagamaan masyarakat sehingga mereka menjadi umat dengan kualitas pemahaman keagamaan yang baik.
Dengan cara itu, seorang penyuluh sebenarnya sedang berkontribusi dalam pembangunan nasional. Dan untuk tugas itu, tentu saja seorang penyuluh butuh modal dan kapasitas yang harus selalu ditingkatkan. Sebab jika tidak demikian, maka ia tidak akan bisa menjalakan tugas-tugasnya dengan baik. Profesi penyuluh akan dipandang sebelah mata, dianggap tidak ada, dan tidak jadi keren