Sebuah Jawaban untuk Ulama, Kenapa Belajar Membedakan itu Penting?

Sebuah Jawaban untuk Ulama, Kenapa Belajar Membedakan itu Penting?

Dalam banyak aspek, belajar membedakan ternyata menjadi penting

Sebuah Jawaban untuk Ulama, Kenapa Belajar Membedakan itu Penting?

“Salah satu tanda orang paham adalah ketika ia bisa membedakan,” kata guru saya suatu hari.

Waktu itu pelajaran bahasa dan guru saya baru saja bertanya tentang beda antara arti, makna, dan maksud.

Sebagian besar dari kami menjawab bahwa tidak ada perbedaan di antara ketiga kata tersebut. Ketiganya sinonim. Tapi guru kami meyakinkan kami bahwa tidak ada kata yang benar-benar sama. Setiap kata memiliki intensi dan nuansa yang berbeda.

Guru saya memberikan sejumlah contoh kesalahpahaman yang bermula dari kegagalan dalam membedakan kata. Kegagalan tersebut bisa memiliki implikasi yang beragam, mulai yang lucu, konyol, hingga yang tragis.

Ia juga menunjukkan betapa kecermatan dalam memahami perbedaan membuat kita dapat menangkap gagasan yang disampaikan secara tersamar.

Mungkin karena itu, soal membedakan menjadi bagian dari pelajaran dasar kita. Sejak di taman kanak-kanak kita dilatih untuk membedakan antara panjang dan pendek, banyak dan sedikit, besar dan kecil, jauh dan dekat, tinggi dan rendah dan sebagainya. Dengan kompetensi ini diharapkan kita terlatih membuat deskripsi yang tepat atas sesuatu.

“Memahami perbedaan tidak hanya penting dalam bahasa tapi juga dalam banyak aspek kehidupan,” lanjutnya.

Penegasan ini mengingatkan saya kepada pesan yang sering disampaikan oleh kyai saya waktu di pesantren. Pak kyai meminta para santri agar berhati-hati dalam memilih kata, terlebih jika kita diminta tampil di depan umum.

Sambil berkelakar beliau mencontohkan tentang istilah sahibul hajat dan qadhil hajat.

Baca juga: Ketika Para Tokoh Agama Dikepung AI, Memangnya Agamawan Bisa Apa?

Kedua istilah tersebut kerap dipakai dalam sebuah acara dan kadang dipertukarkan. Padahal sahibul hajat artinya tuan rumah yang punya gawe, sedangkan qadhil hajat adalah orang yang ingin berak. Meski tidak berbahaya namun kekeliruan menggunakan kedua istilah tersebut bisa merusak suasana dan menggelikan.

Dari rubrik Sungguh-Sungguh Terjadi (SST) yang rutin ditayangkan di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta saya juga pernah mendapati kisah yang menarik. Kisah itu menceritakan sebuah peristiwa yang terjadi di tahun-tahun yang tidak jauh dari peristiwa G-30 S.

Ada seorang lelaki yang akhirnya ditangkap oleh sekelompok orang. Sebelumya, lelaki itu beberapa kali terlihat segaja menghapus tulisan yang tercetak di tembok. Perbuatan itu ia lakukan secara sembunyi-sembunyi, di pagi buta. Tapi tanpa ia sadari sepasang mata mengawasi gerak-geriknya.

Ketika kemudian dikepung banyak orang ia tidak bisa berkutik. Namun dalam interogasi yang panjang orang-orang itu kesulitan menemukan motif si pelaku. Sebab ia selalu hanya memberikan jawaban yang berulang, “Ampun, Pak, Saya bukan PKI.”

Tulisan yang dihapus itu berbunyi, “Bakar PKI!!!” tapi mereka tidak menemukan indikasi adanya keterkaitan si pelaku dengan organisasi tersebut. Sampai kemudian seseorang bertanya tentang namanya.

“Saya Bakar, Pak. Saya bukan PKI,” jawabnya polos.

Dua ilustrasi ini saya kira menggaris bawahi pentingnya kemampuan membedakan, seperti dikatakan oleh guru saya. Dan itu juga berlaku dalam konteks keagamaan. Bahkan akibat yang ditimbulkan dari kekeliruan ini bisa lebih runyam.

Dalam banyak ceramahnya, Gus Mus seingat saya sering mengingatkan hal ini. Beliau amat gusar, misalnya, dengan kecenderungan banyak orang yang mengacaukan antara dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Seolah-olah dakwah adalah amar makruf nahi mungkar dan amar makruf nahi mungkar adalah dakwah.

“Padahal ditinjau dari arti katanya saja sudah berbeda,” kata beliau.

Dakwah adalah mengajak, menyeru, merayu orang lain agar mau menerima tawaran dan ajakan kita. Agar tawaran, ajakan, dan rayuan itu berhasil perlu digunakan cara yang tepat. Dibutuhkan teknik yang persuasif, kemampuan menyusun argumen-argumen yang menarik dan logis supaya ajakan yang disampaikan dapat diterima oleh pikiran dan menyentuh hati pendengarnya.

Selain itu, penting juga seorang pendakwah membangun integritas dirinya agar menjadi teladan.

Adapun amar makruf nahi mungkar adalah memerintah seseorang agar melakukan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan buruk. Amar makruf nahi mungkar adalah tahapan setelah dakwah, setelah orang-orang ini mengerti dan memahami perkara yang seharusnya dilakukan dan ditinggalkan.

Bahkan pelaksanaan amar makruf nahi mungkar pun ada aturannya. Jangan sampai pelaksanaan  tanggung jawab moral dan sosial itu justru kontra-produktif karena kegagalan memahami makna dakwah dan amar makruf nahi munkar. Akibatnya, dakwah atau amar makruf nahi munkar menjadi dalih dari tindakan brutal kepada orang lain.

Karena itu, seperti halnya kebutuhan kita membedakan antara data dan opini atau antara fakta dan hoax, kemampuan kita untuk membedakan sejumlah hal terkait pemahaman agama juga penting. Misalnya membedakan antara tafsir atas agama dengan agama itu sendiri, atau antara perkara yang pokok dan cabang.

Dengan begitu kita bisa memahami sesuatu secara proporsional. Lebih penting lagi kita jadi tidak mudah terseret untuk membuat kesimpulan yang keliru atau berlarut-larut berkubang dalam perdebatan yang tidak perlu