Secara umum manusia diciptakan oleh Allah s.w.t. sebagai makhluk yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk lainnya. Salah satu bentuk kesempurnaan manusia adalah teletak pada nilai-nilai fitrah atau kesucian yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari umat manusia itu sendiri. Mengenai hal ini Rasulullah s.a.w. dalam sebuah hadits menyatakan: “Setiap anak manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah atau suci”. Dalam kajian ilmu hadits, para pakar memberikan pengertian, bahwa sabda Rasulullah s.a.w. di atas berlaku untuk semua umat manusia, baik mereka yang dilahirkan dari keluarga kaya, miskin, golongan pejabat, priyayi, bahkan pengertiannya pun menembus wilayah lintas agama-agama dan sekte.
Berangkat dari pengertian hadits yang disampaikan oleh Rasulullah s.a.w. tersebut, beberapa abad kemudian lewat teori empirismenya John Locke kemudian melahirkan sebuah konsep yang dikenal dengan Tabularasa. Dalam konsep tersebut ia banyak mengutarakan pendapatnya bahwa manusia yang baru lahir diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulis dan diwarnai (a sheet ot white paper avoid of all characters). Secara umum, pengertian ini bisa dikaitkan dengan tabiat manusia yang cenderung suci dan menyukai hal-hal yang positif, namun kecenderungan itu berubah karena dampak dan pengaruh dari lingkungan sekitar.
Untuk itu, agar manusia terlebih umat Islam mampu melewati beberapa fase dalam siklus kehidupannya hingga kembali kepada nilai-nilai dasar tersebut, Allah memberikan peluang seluas-luasnya bagi mereka yang pada satu sisi juga sebagai makhluk yang tidak lepas dari dosa, lupa dan khilaf untuk kembali ke nilai fitrahnya, yaitu bulan Ramadhan. Secara khusus di bulan Ramadhan, manusia mukmin ditempa dengan berbagai macam latihan dan ujian.
Ibarat kawah candradimuka, Ramadhan merupakan media yang bisa membentuk umat Islam menjadi pribadi-pribadi unggul dan bertakwa. Dikatakan demikian, karena di bulan ini umat Islam dihimbau dengan tegas untuk tidak melakukan aktivitas-aktivitas yang pada bulan-bulan biasa bersifat boleh atau katakanlah halal di siang hari, namun pada Bulan Ramadhan, aktivitas-aktivitas tersebut pantang untuk dilakukan. Proses penempaan inilah yang nantinya menjadi bahan evaluasi dan penilaian bagi manusia mukmin, apakah ia benar-benar menjadi hamba-hamba Allah s.w.t. yang kembali pada fitrahnya dengan memperoleh predikat takwa, atau malah sebaliknya.
Setelah sebulan penuh umat Islam dituntut untuk mengendalikan hawa nafsunya lewat penempaan diri, maka mereka melewati sebuah momen yang paling menyenangkan, yaitu hari di mana penilaian terhadap mereka yang lulus dan yang gagal diumumkan. Itulah Idul Fitri atau orang-orang menyebutnya sebagai Hari Raya umat Islam. Pada hari yang fitri tersebut Allah membuka lebar-lebar pintu rahmat dan maghfirah-Nya.
Secara etimologis, Idul Fitri adalah padanan dua kata yang kesemuanya berasal dari Bahasa Arab, yaitu “Ied” yang artinya kembali, dan “Fitri” yang berarti “suci”. Kaitan Idul Fitri dengan kecenderungan manusia untuk merayakan sesuatu, para pakar memberikan pandangan bahwa manusia umumnya menyukai perayaan yang terkadang disakralkan dengan berbagai macam ritual. Sebelum Islam menjadi sebuah agama normatif, sebagian umat menusia cenderung melakukan pesta pora di hari yang dianggap sebagai hari raya. Pesta pora yang dilakukan pun tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur ajaran Islam.
Untuk itu, Islam lahir sebagai agama yang mengakomodir kebiasaan, urf, dan adat istiadat tentu meluruskan kebiasaan itu dengan kegiatan-kegiatan positif. Salah satu misalnya adalah tentang hari raya ini. Islam sendiri mempunyai dua hari raya yang disakralkan, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam sebuah hadits Imam al-Timidzi dan Imam Abu Daud menjelaskan sebab disyariatkan Idul Fitri sebagai bagian dari hari yang disakralkan oleh umat Islam adalah sebagai berikut:
“Dari Anas r.a., ia berkata: “Sewaktu Nabi s.a.w. tiba di Madinah, bangi mereka (kaum Muslimin) pada dua hari mereka bermain-main di dalamnya, kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah telah mengganti dua hari tersebut dengan yang lebih baik, yaitu Hari Idul Fitri dan Idul Adha”. (HR. Tirmidzi dan Abu Daud).
Hadits ini dapat dipahami, jauh sebelum Islam berkembang di Madinah, masyarakat yang tinggal di sana sudah mengenal dua hari raya, hanya saja dalam praktiknya sangat jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu Islam datang bukan untuk membabat habis kebiasaan yang sudah mendarah daging di tengah-tengah penduduk Madinah, namun kedatangan Islam yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. untuk mengganti praktik yang terkesan negatif dan jauh dari nilai-nilai luhur agama Islam dengan aktivitas dan kegiatan-kegiatan yang bersifat positif.
Dalam kehidupan kita saat ini di mana umat Islam tidak lagi memperhatikan aturan yang seharusnya menjadi falsafah hidup dan kehidupannya. Nilai-nilai ajaran Islam secara subsantif telah mengalami pergeseran dari makna yang sebenarnya. Fenomena ini bisa kita lihat, bagaimana Idul Fitri yang seharusnya menjadi bagian dari peayaan yang bersifat sakral, namun sakralitas tersebut perlahan memudar seiring dengan berkembangnya aktivitas dan kegiatan yang jauh dari nila-nilai kesuciannya. Saat ini Idul Fitri cenderung menjadi bagian dari ajang perlombaan untuk memakai baju yang mewah dengan harga yang fantastis, perhiasan yang menyilaukan mata, serta pesta pora dengan suguhan makanan yang banyak mengandung unsur tabdzir-nya. Padahal hakikat dairpada Idul Fitri ini adalah ajang untuk mensucikan jiwa sebagaimana maknanya, yaitu kembali kepada fitrah.
Mengutip pandangan Dr. Kholid bin Abdurrahman dalam “al-Ied Idul Fitri wa Idul Adha, Adab wa Ahkam”, seharusnya Idul Fitri itu mengandung unsur dan nilai-nilai sebagai berikut: (1) Idul Fitri disyariatkan bagi setiap orang muslim secara umum, seyogyanya bangi seorang muslim untuk memperbanyak takbir pada malam hari sampai waktu shalat. Menurut hemat penulis, memperbanyak takbir di malam Idul Fitri merupakan bamgian dari ungkapn rasa syukur karena telah menyelesaikan ritual ibadah yang bersifat pembersihan jiwa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.
Selanjutnya unsur yang ke (2) adalah menghias diri dengan rapih sebagiamana kebiasaan para ulama, sahabat, dan Rasulullah s.a.w. sendiri. Menghias diri di sini dalam artian bukan an sich memakai baju baru, akan tetapi nilai substansinya lebih kepada pembaharuan dan peningkatan nilai-nilai keimanan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib “Al-Ied Laisa Liman Labisal Jadid, Bal al-Ied liman Tha’atuhu Tazid”. Hari raya Idul Fitri bukan bagi mereka yang memakai pakaian baru, akan tetapi Hari Raya Idul Fitri itu bagi mereka yang ketaatannya kepada Allah semakin bertambah.
Kemudian nilai yang ke (3) adalah mempererat tali silaturrahim dengan cara mengunjungi sanak saudara dan famili, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Bagi yang sudah meninggal berziarah kubur adalah bagian daripada silaturrahim sekaligus sebagai bahan renungan untuk menginat akan kematian. Kematian adalah keniscaraan yang tidak bisa dihindari, dengan berziarah setidaknya bisa introspeksi diri bahwa Allah masih memberikan umur yang panjang sehingga bisa menikamati Hari Raya Idul Fitri.
Oleh karena itu, semangat idul fitri hendaknya menjadi ajang dalam membangun solidaritas ukhuwah islamiyah, ukhuwah insaniah, dan ukhuwah wathaniah, dengan cara mengobarkan kembali semangat untuk berbagi lewat zakat fitrah, sehingga momen yang bahagia di hari nan fitri tidak hanya dirasakan oleh kalangan tertentu saja, namun kebahagiaan ini bisa dirasakan oleh semua elemen dari berbagai macam strata dan status sosial. Semuanya harus berbahagia dan larut dalam lantunan Takbir, Tahmid, dan Tahlil. Wallahu A’lam Bisshawab.
Moh Khoiron adalah Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PWNU DKI Jakarta