Ada yang menyangka mubahalah itu bisa dipakai untuk menghindari proses hukum. Keliru. Mubahalah di masa Rasul dengan masalah aqidah, bukan soal dugaan tindak pidana. Ini dua perkara yang harus dibedakan.
Sebagai contoh kalau ada yang dituduh mencuri, maka proses pembuktiannya bisa lewat sumpah, saksi atau alat bukti lain, bukan mubahalah. Buktikan anda tidak berada di tempat kejadian, ajukan saksi, dokumen, dan lain-lain. Bukan menantang lewat mubahalah.
Apa bedanya mubahalah dan sumpah? Mubahalah itu saling melaknat. Sumpah di pengadilan tidak demikian. Sumpah cukup mengatakan bahwa keterangan anda benar. Bukan melaknat pihak lain yang tidak percaya dengan keterangan anda.
Akan kacau sistem pidana kalau mubahalah dijadikan alat bukti. Itu sebabnya kitab fikih jinayah (pidana) tidak memasukkan mubahalah sebagai alat bukti.
Dalam sistem tradisional dulu ada semacam sumpah pocong, pidana modern menolaknya, apalagi mubahalah. Nahnu nahkum bidz dzawahir. Kita hanya menghukumi apa yang dzahir. Mubahalah tidak cocok di pengadilan; bakal deadlock, ngak ada putusan.
Ini bukan masalah berani atau tidak berani bermubahalah. Ini masalah menghormati proses dan sistem hukum. Cara pembuktian sudah diatur. Mau tiap hari mubahalah sekalipun, itu tidak akan menghapus tindak pidana yang dituduhkan kepada anda.
Mubahalah itu jika semua argumentasi mentok dan ujungnya salah-benar soal keyakinan diserahkan pada Allah. Ini bukan wilayah pengadilan. Tindak pidana ini bukan soal keyakinan atau keimanan. Yang dituduhkan misalnya soal asusila, lawan dengan bukti dan saksi. Sanggup?
Sekali lagi, mubahalah berkenaan dengan keyakinan yang tidak bisa dipidana. Ini beda dengan tindak kriminal. Jadi keduanya mesti dibedakan. Jadi kalau anda tersangkut perkara kriminal, ikuti proses hukumnya, bukan malah menantang mubahalah.
Menantang mubahalah di luar perkara aqidah itu sesuatu yang berlebihan dan tidak dilakukan Rasulullah.
Selengkapnya, klik di sini