Sebelum Kolonial Belanda mendirikan lembaga pendidikan model Eropa, di Nusantara sudah berdiri lembaga pendidikan asli pribumi: pondok pesantren. Pondok pesantren berbeda sekolahan pemerintah kolonial Belanda yang sejak awal diorientasikan untuk memenuhi tuntutan tenaga kerja baik di pemerintahan maupun industri. Dan, kelihatannya inilah yang terjadi di dunia pendidikan kita.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah lebih memilih model pendidikan yang dicetuskan pemerintah Kolonial Belanda. Penghargaan dan perhatian negara terhadap pondok pesantren pun terabaikan. Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pesantren baru diakui sebagai bagian dari pendidikan nasional pada tahun 2003 (UU Sisdiknas). Dalam Kementrian Agama, pondok pesantren baru masuk di era Gus Dur dan sampai sekarang pun masih berada dipojokkan sempit (Subdit Pontren). Anggaran negara untuk pengelolaan pesantren nol koma persen dibanding lembaga-lembaga pendidikan warisan Belanda. Dibutuhkan political will pemerintah untuk memperhatikan lembaga pendidikan khas nusantara ini.
Padahal, pondok pesantren tak hanya mengajarkan (al-ta’lim) pengetahuan, transfer of knowledge, tapi juga mendidik (al-tarbiyah) karakter santri-santrinya dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Sejak dulu model pengajaran di pesantren menggunakan dua model: sorogan (privat) dan bandungan (khalaqah). Keduanya memiliki kelebihan dan keunggulan masing-masing. Yang pertama lebih menitikberatkan pada kualitas individu santri terkait dengan kemampuan santri dalam menyerap, memahami, dan menguasai peajaran. Biasanya, sorogan dipakai kiai untuk santri-santri senior (ustadz) atau santi-santri khusus (anak kiai).
Model ini pernah dipakai Kiai Idris Kamali, menantu Hadratu al-Syaikh Kiai Hasyim Asyari, ketika menghadapi krisis pengajar [ulama] di Pesantren Tebuireng. Beliau mendirikan kelas khusus dengan system sorogan bagi santri-santri senior. System kaderisasi melalui pengajian sorogan ini terbukti berhasil dengan menghasilkan kiai-kiai sekaliber Kiai Tolhah Hasan, Kiai Ali Musthofa Ya’kub, Kiai Said Aqil Siraj, Kiai Abdul Hayyi Naim, Kiai Syarif Utsman Yahya, dll.
Sedangkan sistem bandongan biasanya dipakai untuk siswa umum, santri-santri biasa. Materi pelajaran yang digunakan menggunakan system “kitabi” [penguasaan disiplin keilmuan tertentu dalam satu kitab induk/kitab babon]. Dimulai dari kitab-kitab kecil (mukhtasar), kitab-kitab sedang (mutawassit), hingga kitab-kitab besar (mabsutat/mutawwalat).
Selain pengajaran (al-ta’lim) sorogan-bandungan, transformasi keilmuan dan nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan ditanamkan melalui pendidikan [al-tarbiyah] sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Hampir seluruh aktivitas pesantren adalah mengandung nilai-nilai pendidikan, baik langsung atau pun tidak langsung. Semisal, dalam membentuk dan menginternalisasikan nilai-nilai kedisiplinan, santri wajib salat berjamaah di Masjid. Salat berjamaah juga mengajarkan dan membentuk karakter persatuan, kepatuhan, kebersamaan, kepemimpinan, dan kohesi social.
Dalam kehidupan sehari-hari, santri dididik dan ditempa untuk hidup mandiri, dalam mengelola keuangan (setiap santri “dibesteli” sekali dalam sebulan), memasak makanan, mencuci dan menjemur pakaian, dll.
Dalam pesantren, santri diajari hidup dalam kesederhanaan, kebersamaan, dan kebersahajaan. Asrama santri terdiri dari kamar-kamar santri. Asrama/kamar tak hanya berfungsi sebagai tempat tidur atau istirahat. Asrama dan kamar adalah tempat santri berinteraksi dan beraktivitas secara bersama-sama. Di asrama santri-santri membentuk jamiyah (perkumpulan), baik jamiyah makan maupun jamiyah kegiatan (organisasi), seperti marhabanan, peringatan hari-hari besar islam, peringatan akhirusanah (kegiatan menjelang libur panjang).
Santri juga belajar pada sikap, prilaku, dan tindakan kiai. Kiai dianggap merepresentasikan seluruh pandangan hidup, nilai-nilai, serta ajaran Islam. Kiai adalah nilai-nilai yang hidup (living value) di pesantren. Karena itu, selain kitab-kitab yang diajarkan di pesantren, kiai juga dijadikan referensi santri ketika menjumpai problem-problem social keagamaan di masyarakat. Kiai adalah “kitab berjalan” santri. Tingkah laku kiai dijadikan role model santri. Tak jarang gaya hidup kiai pun dijadikan trendsetter bagi santri-santrinya.
Selain itu, kiai dipandang sebagai pembimbing ruhani [murabbi ruh]. Hal ini karena kiai selalu menyebut santri-santrinya dalam doa-doanya, munajat kepada Tuhannya, juga ketika “bertemu” dengan Tuhannya. Karena itu, tidaklah aneh, apabila ikatan emosional-spiritual santri-kiai tetap terjalin kuat meskipun santri sudah lulus pesantren dan hidup di masyarakat. Santri masih sering bertawasul menyebut guru-gurunya. Mungkin, relasi guru-murid seperti ini hanya terjadi pada lulusan pesantren.
Jadi, proses pengajaran dan pendidikan di pondok pesantren tak mengenal tempat dan waktu. Karena, bagi santri, setiap tempat adalah tempat belajar dan setiap waktu adalah waktu belajar.
Selain transfer pengetahuan, dalam pandangan pesantren, pendidikan adalah sebuah proses internalisasi nilai-nilai kebaikan dan nilai-nilai kemanusiaan sehingga mendarah daging: mewujud dalam sikap, prilaku, dan tindakan. Tujuan pendidikan [tarbiyah] seperti ini tak cukup hanya di kelas dan dibatasi waktu. Pendidikan adalah sebuah proses kebudayaan dan pemeradaban umat manusia. Wallahu a’lam bi sawab. []
Jamaluddin Mohammad, Pesantren Babakan Ciwaringin (Cirebon)