Sekilas, nuansa lebaran di desa Tegalombo tak ubahnya desa-desa lainnya di Jawa. Lebaran yang lebih dikenal dengan sebutan bodo atau riyayan sering ditandai dengan tradisi berkunjung (badan) ke rumah saudara, kerabat, tatangga atau kolega, untuk saling bermaafan. Yang unik dari Tegalombo, tidak hanya warga muslim saja yang turut berkunjung meminta maaf, namun juga melibatkan partisipasi warga pemeluk agama Kristen.
Tegalombo merupakan sebuah desa yang terletak di pesisir pantai utara Jawa, 42 km utara kota Pati, Jawa Tengah dimana penduduknya memeluk agama Kristen dan Islam. Desa yang kaya akan hasil pertanian dan laut ini dikenal memiliki hubungan sosial yang kuat antar umat beragama, dengan memegang prinsip saling menghargai dan menghormati kepercayaan masing-masing. Mereka menyadari bahwa aspek kepercayaan merupakan hak asasi individu yang tak dapat dicampuri. Sementara dalam segi sosial dan budaya keduanya bertemu, berinteraksi dan saling menguatkan. Salah satunya terlihat dalam tradisi badan lebaran.
Seperti yang terlihat malam itu, keluarga Yatno (muslim) menerima kunjungan dari keluarga mbah Wardi (Kristen). “Sugeng riyadi, ngaturake sedoyo lepat kawul, (selamat hari raya idhul fitri, mohon maaf atas semua salah saya),” ucap mbah Wardi sembari menyalami Yatno, Istri, dan anak-anaknya. Sembari tersenyum dan membungkukkan badan, Yatno membalas “sakwungsulipun (sama-sama)”.
Sejurus kemudian, keluarga Yatno mempersilahkan tamunya untuk mencicipi kue lebaran yang memenuhi meja tamunya. Lalu mereka larut dalam obrolan basa-basi dan juga topik yang tak jauh dari soal harian.
Di rumah lain, keluarga mbah Welas menerima kunjungan keluarga Kristen, tetangganya. Sembari santap kue lebaran, mereka nampak akrab sesekali melebarkan senyum, larut dalam obrolan tentang pertambakan. Ketika ditemui, mbah Welas yang merupakan pekerja tambak menceritakan bahwa juragannya yang beragama Kristen tak luput mengunjungi rumahnya saat lebaran.
Uniknya, mereka yang beragama Kristen memilih hari kedua lebaran untuk acara kunjungan. “Ya itu demi menghormati kerabat yang sesama muslim dulu, kalau kami (Kristen) ya biasanya hari kedua atau setelahnya” kata Suharto, salah satu pendeta di Tegalombo.
Selain pemilihan hari, juga sudah menjadi kebiasaan bahwa karena ini lebaran idul fitri, maka keluarga atau kerabat Kristen lah yang mendatangi keluarga muslim. Rupanya hal itu juga berlaku ketika hari raya natal yang dirayakan dengan saling kunjung di tanggal 1 Januari, dimana keluarga muslimlah yang menyambangi keluarga Kristen. Saat itupula, sang tamu mengucapkan “sugeng ambal warso, ngaturake sedoyo lepat kawulo”, selamat tahun baru, maafkan atas semua salah saya.
Tradisi badan yang melibatkan pemeluk agama lain tersebut sudah ada sebelum tahun 80-an. Seperti diceritakan kyai Sholeh, mulanya kunjungan dari keluarga Kristen saat lebaran itu masih antar keluarga dekat, mengingat banyak keluarga di sini yang anggota keluarganya memeluk agama yang berbeda. Lambat laun hal ini diikuti keluarga lainnya yang masih memiliki hubungan keluarga maupun tidak hingga menjadi tradisi turun temurun, dilanggengkan hingga kini.
Tradisi baik di internal keluarga muslim sendiri maupun melibatkan keluarga Kristen, sebagaimana testimoni Yatno, merupakan kearifan yang harus terus dijaga, untuk memperkuat tali silaturahmi, kekerabatan, dan kerukunan antar umat beragama.