Salafi, adalah salah satu aliran keagamaan Islam yang diperbincangkan, baik dalam tataran akademik maupun dalam obrolan di warung kopi. Disadari atau tidak, rekan-rekan muslim yang mengaku menganut manhaj para salaf ini ada di sekitar kita. Gerakan mereka setidaknya dicermati lewat buku-buku Islam yang beredar, forum-forum diskusi keagamaan, atau penampilan yang “khas” di masjid-masjid saat mengikuti sembahyang jamaah.
Kaum salafi mendapat perhatian yang cukup penting terkait berkembangnya apresiasi atas agama Islam di Indonesia. Pertama, narasi mereka berbeda dengan ajaran yang disampaikan pesantren kebanyakan maupun organisasi keagamaan arus utama tingkat lokal maupun nasional, seperti Muhammadiyah, NU, Perti, Nahdlatul Wathan dan sebagainya. Kedua, ajaran salafi ini memiliki kecenderungan untuk menjadi kaku dalam ajaran, puritan dalam pemahaman, serta dalam taraf yang mengkhawatirkan, ekstrem dalam tindakan.
Sebagai sebuah komunitas beragama yang tentu tidak lepas dari metodologi, prinsip, serta ajaran dan doktrin, kaum salafi ini memiliki runtutan, atau dalam kajian ilmiah disebut genealogi, tentang bagaimana ia mewujud sebagai sebuah gerakan keagamaan. Salafi tidak hanya soal aspirasi syariat agama yang formal, namun juga soal bagaimana pemahaman atas Tuhan dalam akidah mereka yang terumuskan dalam sejarah.
Buku berjudul Teologi Muslim Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi ini menjadi kajian menarik bahwa kaum salafi, sebagai satu aliran yang berkembang pesat di dunia Islam, memiliki runtutan ajaran akidah yang bersambung hingga para ulama terdahulu. Pemahaman tekstual dalam membaca sumber Islam, disebutkan menjadi akar dari segala model puritanisme.
Sang penulis buku, Dr. Arrazy Hasyim, mengupas tiga istilah yang kerap dialamatkan kepada salafi: kaum puritan, fundamentalis, dan radikal. Dari tiga istilah itu, kaum salafi terjebak dalam “ruang nostalgia” pemurnian ajaran Islam berdasarkan teks Al Quran dan Hadis, serta kecenderungan arabisasi – karena berpegangan kepada makna teks. Sedangkan perihal radikal, dipandang tidak terkait dengan fenomena akidah yang dianut, melainkan terkait aksi organisasi yang terkait dengan kaum salafi.
Dosen UIN Jakarta dan pengajar hadits di Pesantren Darus-Sunnah Ciputat ini menelusuri kaitan salafi dengan pemahaman akidah, sejarah persebaran, kekuasaan dan politik, serta pendidikan. Akidah, meskipun adalah sebuah konsep kebertuhanan yang abstrak, memiliki pengaruh yang nyata dalam memahami model beragama Salafi.
Kaum salafi merujuk model beragama mereka pada setidaknya tiga generasi pertama pasca Rasulullah SAW. Kemunculan ini lebih bersifat akidah dibandingkan persoalan fikih, meskipun tokoh utama dari aliran ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pendiri mazhab Hanbali. Kala itu, dunia Islam sedang berada dalam kuasa Dinasti Abbasiyah, dan paham rasionalis yang diwakili Mutazilah menjadi dominan.
Karena dipandang sebagai akidah resmi negara, agaknya orang-orang rasionalis ini mendapat pertentangan keras dari kaum ahli hadits. Negara memaksakan ajaran tersebut, dan para ulama yang bertentangan dengan keinginan negara mendapat represi. Salah satu yang merasakannya adalah Ahmad bin Hanbal.
Ahmad bin Hanbal adalah ahli hadits, yang menjadi rujukan para ulama setelahnya. Kecenderungan ahli hadits kala itu adalah antipati terhadap kaum rasionalis. Peran persebaran mula akidah kaum salafi ini mulai mencuat dari murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal.
Buku ini mencatat daerah persebaran yang khas dari ajaran Ahmad bin Hanbal, yaitu di Baghdad, Khurasan, Damaskus, serta Saudi Arabia. Tokoh-tokoh kunci seperti Ibnu Taimiyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim Al Jauziyah (w. 751 H) adalah rujukan dalam masalah akidah kaum salafi, meskipun masih banyak lainnya yang melakukan pembakuan maupun penyusunan risalah di bidang akidah.
Setidaknya doktrin utama dalam kalangan salafi ini, terletak pada doktrin trilogi tauhid yang disistematisasi oleh Ibnu Taimiyah: tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid al asma’ wa sifat. Belum lagi perdebatan mengenai hal-hal terkait kedudukan Tuhan, sifat dan perbuatan Tuhan, yang akan banyak perbedaan dengan aliran akidah lainnya. Kaum salafi, sebagaimana mereka mengikuti Ibnu Taimiyah, menjadikan hal tersebut sebagai kaidah teologis mereka. Selain itu, akibat salah satunya kecenderungan tekstual mereka, perilaku celaan dan mengkafirkan menjadi hal yang mudah ditemui pada model ajaran salafi.
Persebaran di Saudi Arabia, dipunggawai oleh Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri aliran Wahabi. Karena itulah kaum Wahabi, sangat diidentikkan – juga mendaku – sebagai orang-orang salafi. Jejaring salafi dari Saudi Arabia inilah yang banyak berpengaruh ke Indonesia. Karya-karya ulama Wahabi seperti Syekh Ibnu Utsaimin dan Syekh Bin Baz banyak diterjemahkan di Indonesia, serta beberapa pesantren modern mengkaji karya Shalih Fauzan dalam bidang akidah. Begitu pula ada beberapa institusi pendidikan yang berkecenderungan menganut ajaran salafi.
Buku ini juga mencantumkan KH. Ali Mustafa Yaqub, salah satu ulama terkemuka Indonesia dalam ilmu hadits, memiliki keterkaitan dengan ajaran salafi di Saudi Arabia, terutama dari guru-guru beliau. Namun, karena memiliki latar belakang kepesantrenan dan ke-NU-an yang kuat, Kiai Ali bersikap cenderung moderat, dan menyerukan titik temu antara kaum Wahabi dan NU dalam masalah akidah.
Patut dicermati bahwa selain ada pola yang runtut dalam persebaran ajaran salafi lewat pengajaran, ada orang seperti Nashiruddin al Albani, salah satu ulama kontemporer rujukan kaum salafi dalam bidang hadits, sebagai pengkaji otodidak dalam hadits dan teologi. Karya-karyanya banyak digunakan dalam pemahaman “ustadz sunnah” di Indonesia, dan ia mengaku tidak bermazhab berdasarkan penelusuran mandirinya dalam hadits dan teologi. Tapi dalam beberapa poin penting, ternyata al Albani juga kritis pada penyebar akidah salaf.
Tak lupa penulis buku ini mencantumkan bahwa kaum salafi, terbagi menjadi kaum salafi murni, yang fokus pada ajaran akidah dan fikih, serta salafi campuran yang jihadi atau haraki, yang memang terpengaruh dalam teologi dan syariat kaum salafi, namun bergerak dalam bentuk politik, bahkan aksi-aksi ekstrem bersenjata. Tampak familiar dengan organisasi, partai, atau lembaga tertentu?
Akhir kata, buku ini menjadi informasi penting terkait bagaimana akidah kaum salafi memiliki sejarah panjang di kalangan umat Islam. Represi maupun dukungan penguasa terkait erat dengan pasang surutnya persebaran ajaran akidah mereka. Selain itu karena juga soal ajaran fikih, kaum salafi cenderung menganut model beragama mazhab Hanbali.
Selain itu, fenomena para pemuka agama dan penceramah yang naik daun saat ini yang sangat mengapresiasi syariah Islam secara formal tak lepas dari model persebaran salafi via jalur Saudi Arabia. Cerminan institusi media massa, radio, media daring, serta gerak di lembaga-lembaga pendidikan, turut menyuburkan merebaknya salafi di Indonesia. Jika memang model akidah ini dipandang mengkhawatirkan, maka untuk bersikap berimbang atas ajaran salafi, buku ini bisa menjadi rujukan ilmiah.
Judul Buku : Teologi Kaum Puritan: Genealogi dan Ajaran Salafi
Penulis : Dr. Arrazy Hasyim, MA.
Halaman : xvi + 318 halaman
Cetakan : I, September 2017
Penerbit : Maktabah Darus-Sunnah