Lagi, dua orang ditangkap polisi karena terlibat skandal prostitusi online. Kali ini kejadian tersebut menimpa dua orang artis berinisial VA dan AS. Beberapa berita menyebutkan, nilai transaksi masing-masing artis tersebut mencapai 25 dan 80 juta rupiah. Kontan saja kabar tersebut kembali menyita perhatian berbagai kalangan.
Saya hendak mengetengahkan perbincangan pada aspek hukum Islam dan moral.
Tentu kita tahu bahwa prostitusi merupakan hal yang tak sesuai dengan norma masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi agama dan kesusilaan. Namun di tengah sulitnya taraf hidup perekonomian, prostitusi masih dianggap sebagai primadona untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah yang jumlahnya bisa dikatakan besar.
Jauh sebelumnya, Islam sangat mewanti-wanti umat Islam agar tidak terjerumus ke dalam prostitusi, apapun alasannya. Alquran menyatakan,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’ [17]: 32).
Al-Razi berpendapat, dalam konteks pelarangan zina, Alquran menggunakan redaksi laa taqrabuu yang berarti “janganlah kamu mendekati”. Redaksi tersebut digunakan karena pemakaiannya lebih efektif dibanding jika menggunakan redaksi laa taf’aluu. Artinya, segala medium yang dapat menghantarkan terjadinya perzinaan seperti berciuman dan berpelukan juga dihukumi haram karena menjadi pintu masuk perbuatan zina (Mafatih al-Ghayb, juz. 10: 42).
Dengan demikian, syariat Islam menegaskan para pelaku zina untuk dijatuhi hukuman cambuk sebanyak 100 kali jika pelakunya belum menikah atau dihukum rajam jika pelakunya sudah menikah. Tentunya, penetapan hadd zina dilakukan setelah semua persyaratan yang demikian ketat terpenuhi. Sementara, agen prostitusi dapat dikenai hukuman ta’zir karena ia melakukan praktik bisnis atas sesuatu yang dilarang dijadikan objek transaksi, yaitu kemaluan wanita. Kaidah menyatakan:
الأصل في الأبضاع التحريم
“Hukum asal abdha’ (kemaluan perempuan) ialah haram (kecuali melalui jalur pernikahan dan milkul-yamin)” (Ibnu Najim, 1980: 67)
Mazhab Hanafiyah (Mahmud Syaltut, 2002: 293) menyatakan, sanksi ta’zir dapat lebih berat atau lebih ringan dibanding hadd tergantung level kerusakan yang timbul. Penetapan hukuman ta’zir diserahkan kepada pemerintah sebagai waliyyul-amri.
Lantas bagaimana menyikapi informasi prostitusi yang terlanjur menyebar luas?
Islam mewajibkan setiap Muslim untuk menutup rapat aib orang lain (QS. Al-Hujurat/49: 12). Jika seseorang menerima informasi bahwa seorang laki-laki atau perempuan melakukan praktik prostitusi, maka yang pertama kali muncul dalam alam pikiran ialah mereka sudah pasti telah berbuat zina. Menganggap “seseorang melakukan zina”, terlebih menyebarluaskannya kepada khalayak, adalah bentuk pelanggaran terhadap upaya agama memelihara kehormatan manusia (hifzh al-‘irdh).
Karena itu, Allah SWT melarang keras siapapun yang menuduh wanita atau laki-laki telah berbuat zina dengan menetapkan hukuman dera sebanyak 80 kali (had qadhaf). Allah SWT berfirman,
وَٱلَّذِينَ يَرْمُونَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا۟ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجْلِدُوهُمْ ثَمَٰنِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا۟ لَهُمْ شَهَٰدَةً أَبَدًا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baikdan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah merekadelapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. An-Nur/24:4).
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah sebagaimana disebutkan As-Shan’ani (1379 H: Juz, 4. 6) dalam kitabnya, suatu ketika Maiz mendatangi sebuah majelis yang dihadiri Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia memanggil-manggil Nabi dan mengaku bahwa dirinya telah berbuat zina. Sesaat setelah pengakuan Maiz, Nabi sempat menoleh namun memalingkan kembali wajahnya ke posisi semula. Merasa tak dihiraukan, Maiz lantas memanggil dan mengulang pengakuannya hingga empat kali dan Nabi tak juga menghiraukannya. Di kesempatan terakhir, barulah Nabi bertanya:
أبك جنون؟
“Apakah engkau gila?”
Maiz menjawab, “Tidak”.
Kemudian Nabi bertanya lagi,
فهل أحصنت؟
“Apakah engkau telah menikah?”
Maiz menjawab, “Ya”.
Setelah pengakuan itu, lantas Nabi memerintahkan salah satu sahabat yang hadir untuk menjatuhkan hukuman rajam atas Maiz.
Menariknya, Nabi memilih bersikap hati-hati untuk tidak segera menyimpulkan Maiz telah berbuat zina meski Maiz sendiri mengakui perbuatan berulang-ulang kali. Saking hati-hatinya, menurut riwayat lain yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas, Nabi menyebutkan,
“لعلك قبلت أو غمزت”
“Barangkali engkau hanya mencumbu dan bermain mata dengannya”
Kehati-hatian dalam menilai seseorang inilah yang mestinya kita jaga dalam menyikapi kasus penangkapan dua orang artis yang terlibat dalam jaringan prostitusi online. Siapa tahu, saat terjadi penggerebekan, para pihak hanya tengah menyodorkan bukti transfer senilai 25 dan 80 juta, atau tengah asyik-masyuk berdiskusi soal pilpres sembari menikmati secangkir kopi. Siapa tahu.
Kalaupun beritanya benar atau salah, dosa ghibah dan fitnah telah mengintai di depan mata. Pertanyaannya, kapan kita mulai berhenti membuat joke-joke sindiran atas aib orang lain yang semestinya tidak kita umbar?
Selengkapnya, klik di sini