Berzina dengan Mahram, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Berzina dengan Mahram, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Berzina dengan Mahram, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Baru-baru ini Indonesia dihebohkan dengan pemberitaan seorang menantu laki-laki yang melakukan hubungan intim dengan ibu mertuanya. Sontak saja, fenomena itu mengagetkan sebagian besar masyarakat Indonesia sebab tidak lumrah. Maka, di sini akan dijelaskan bagaimana dosa dan hukuman dalam literatur Islam tentang perbuatan zina yang dilakukan oleh hubungan mahram.

Sebelumnya, dalam Islam ada tiga hal yang menyebabkan seseorang memiliki hubungan mahram. Pertama, nasab atau keturunan. Kedua, adalah persusuan atau rada’. Ketiga, sebab kemertuaan atau mushaharah; bisa sebab menjadi menantu, mertua, ipar dan lain semacamnya.

Dalam sebab ketiga ini masih dirinci menjadi dua ada yang berstatus selamanya semisal ibu/bapak mertua. Ada pula mahram yang statusnya sementara semisal bibi/paman dan saudara/i ipar. Konsekuensinya, kalau yang sementara masih ada kesempatan untuk dinikahi apabila sudah bercerai dengan istri/suaminya.

Sudah barang tentu, Islam sangat mengecam setiap tindakan zina, apalagi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hubungan mahram. Imam al-Alusi dalam tafsirnya Ruhu al-Ma’ani menukil suatu pendapat ulama yang mengatakan bahwa secara mutlak paling besarnya (dosa zina) adalah zina dengan mahram.

وقال بعضهم: أعظم الزنا على الإطلاق الزنا بالمحارم

“Sebagian ulama berpendapat bahwa paling besarnya (dosa) zina adalah zina dengan mahram secara mutlak”.

Dengan demikian, orang yang berzina dengan mahramnya lebih keji dari pada berzina dengan orang lain (bukan berarti berzina dengan orang lain tidak keji). Apakah ada dalam Islam sanksi yang pantas untuk pelaku zina yang memiliki hubungan mahram?

Dalam kitab Sunan Abu Dawud dan al-Tirmidzi dari jalur al-Bara’ bin ‘Azib mengatakan bahwa ia bertemu sama pamannya dan membawa bendera. Setelah itu, ditanya oleh al-Bara’ tujuan pamannya tersebut. Lalu, pamannya menjawab bahwa ia diutus Rasulullah kepada seorang lelaki yang telah menikahi ibu tirinya agar lelaki itu dipenggal dan hartanya diambil.

Hadis di atas menceritakan bahwa ada seseorang yang telah menikahi mahramnya, yaitu ibu tirinya. Lantas bagaimana dengan orang yang melakukan zina dengan mahramnya? Hal senada juga pernah diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ وَقَعَ عَلَى ذَاتِ مَحْرَمٍ فَاقْتُلُوهُ

“Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang berzina dengan mahramnya maka bunuhlah” (Abu Dawud).

Adapun di kalangan ulama empat mazhab sudah terjadi konsensus akan keharamannya, pun juga sepakat pelakunya disanksi had. Hanya saja, yang menjadi perbedaan adalah sifat dari sanksinya tersebut. Apakah dibunuh tanpa memandang status muhshan (sudah pernah melakukan hubungan intim dengan cara nikah) atau tidak.

Berbeda dengan di atas, kalangan hadis termasuk Imam Ahmad menurut satu riwayatnya yang lain justru berpendapat bahwa orang yang melakukan zina seperti itu dibunuh dalam kondisi apa pun. Hal ini dikarenakan hadis-hadis yang telah diriwayatkan di atas sangat tegas bahwa orang yang berzina dengan mahramnya dibunuh.

Imam Syafi’i, Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang berzina dengan mahramnya disanksi sesuai sanksi perzinahan, jika masih perawan dan tidak menyandang status ihshan maka dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan. Sementara kalau sudah ihshan maka dirajam atau dibunuh.

Latar belakang perbedaan itu disebabkan karena perbedaan menyikapi dalil yang melansasinya. Kubu pertama melandasi pendapanya sesuai dengan bunyi hadis di atas. Sedangkan menurut kubu kedua, orang yang melakukan zina dengan mahramnya tetap dianggap berzina sehingga tercakup dalam keumuman ayat yang menjelaskan perzinahan. Sedangkan hadis itu diarahkan kepada orang yang telah ihshan, (al-Kafi Fi Fiqh al-Islami, 4/88)

Perlu diketahui, hukum bunuh atau cambuk yang disebutkan di atas berlaku dalam konteks negara yang memang menerapkan hukum semacam itu. Maksudnya, dalam konteks Indonesia, yang memiliki sistem dan aturan hukum berbeda, kita mesti menyesuaikan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, dan tidak boleh main hakim sendiri. Karena, kepatuhan terhadap hukum yang disepakati dalam sebuah negara juga bagian dari kewajiban dan keharusan dalam Islam.