Rumi, Keadilan dan Dehumanisasi: Refleksi Haul ke-750 Jalaluddin Rumi

Rumi, Keadilan dan Dehumanisasi: Refleksi Haul ke-750 Jalaluddin Rumi

Rumi, Keadilan dan Dehumanisasi: Refleksi Haul ke-750 Jalaluddin Rumi
Ilustrasi Jalaluddin Rumi

Di tiap 17 Desember, bukan sekadar mengenang seorang penyair besar, melainkan juga merenungkan relevansi ajarannya dalam menghadapi tantangan-tantangan dunia modern saat ini. Pada 2024 ini, tepat ke-750 tahun haul Jalaluddin Rumi. Konon, di tengah kemajuan pesat para sapiens mencipta kemajuan, pada saat yang sama era kemunduran alias dehumanisasi juga terjadi—khususnya ketika manusia diperlakukan bukan sebagai subjek mulia.

Dalam skala global, tengok saja bagaimana genosida yang tak mengenal ampun di Palestina, gejolak di tanah Papua, konflik Ukraina dan Rusia, junta militer Myanmar, dan masih banyak lagi. Pemikiran dan ajaran Rumi ratusan tahun lalu tentang keadilan menawarkan petunjuk yang relevan di era jahiliyah modern ini.

Sir Allamah Mohammad Iqbal (1877-1938), seorang filsuf, penyair dan pemikir besar dari Pakistan, memberikan penghormatan tinggi kepada Jalaluddin Rumi dengan menyebutnya sebagai “Murshid-e-Rumi” (Guru Rumi). Dalam salah satu puisinya, Iqbal menggambarkan dirinya sebagai murid yang mendapat inspirasi dari “nyala api” Rumi.

Dia menulis bahwa Rumi adalah burung elang yang mengajarinya bagaimana terbang menuju kehidupan spiritual dan filsafat, serta membantunya memahami makna cinta Ilahi (divine love), otentisitas dan keberadaan manusia.

Lantas, bagaimana membawa warisan ajaran dan pemikiran Rumi di abad banalisasi kejahatan dewasa ini, khususnya dalam konteks Indonesia?

Rumi dan Makna Keadilan

Dalam Masnavi-I Ma’navi, magnum opusnya, Rumi mendefenisikan keadilan sebagai “menempatkan sesuatu pada tempatnya”, sedangkan ketidakadilan (kezaliman) adalah “menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya”. Perspektif ini menunjukkan bahwa keadilan bukan hanya tentang distribusi yang sama rata, tetapi juga tentang memahami kebutuhan, konteks, dan harmoni.

Bagi Rumi, keadilan adalah cermin yang memantulkan sifat Ilahi, memberikan kehidupan dan harmoni kepada dunia. Dia menggambarkan keadilan seperti yang mengalir ke ladang gersang, menumbuhkan tanaman dan memberikan kehidupan.

Ketidakadilan, di sisi lain, adalah seperti air yang dituangkan ke padang pasir tanpa tujuan, membuang potensi dan merusak keseimbangan.

Namun, di dunia modern, makna keadilan yang diajarkan Rumi seringkali sulit ditemukan.

Di Indonesia, konsep ini menghadapi tantangan besar, terutama dalam penegakan hukum dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Terbaru, pada minggu dini hari, 24 November 2024 lalu, Gamma Rizkynata Oktafandy, siswa teknik mesin SMKN 4 Semarang harus meregang nyawa di ujung senjata api aparat kepolisian.

Peristiwa ini bukan hanya mencerminkan kekerasan aparat yang ke sekian kalinya, namun juga menunjukkan bagaimana sistem hukum gagal menjalankan fungsinya.

Upaya sistematis aparat kepolisian untuk menutupi dan juga merekayasa sedemikian rupa kasus ini menegaskan betapa keadilan masih jauh dari jangkauan masyarakat kecil.

Rumi menulis: “kezaliman membuat dunia kehilangan bentuknya, bentuknya membuat dunia kembali seperti cermin yang memantulkan cahaya Tuhan”. Ketidakadilan di Indonesia, baik dalam bentuk pelanggaran HAM, korupsi hingga impunitas—menciptakan kerusakan sosial yang mengakar nan mendalam.

Desember ini, selain diperingati sebagai bulan Gus Dur, seorang pejuang keadilan dan kemanusiaan.

Di bulan ini juga, kasus Munir tepat dua dekade tanpa kejelasan, alih-alih mendapat progres, kasus ini malah mengalami regresi alias kemunduran. Dari kasus pelanggaran berat seperti kasus Munir hingga kasus yang menimpa Gamma, ketidakadilan ini mencerminkan hilangnya martabat manusia di hadapan kekuasaan yang zalim.

Dehumanisasi dalam perspektif Rumi

Dehumanisasi adalah salah satu bentuk ketidakadilan terbesar dalam dunia modern.

Dalam sistem ekonomi dan politik global, manusia sering kali tak lebih dari skrup kecil dari mesin produksi. Rumi, dengan ajarannya yang menekankan cinta dan penghormatan terhadap kemanusiaan, memberikan kritik mendalam terhadap fenomena ini.

Rumi menulis: “kau bukan setetes air dalam lautan, kau adalah seluruh lautan dalam setetes air”.

Puisi ini menekankan bahwa setiap manusia memiliki nilai intrinsik yang tak tergantikan, terlepas dari status sosial atau identitas lainnya. Dalam pandangan Rumi, setiap individu adalah refleksi Ilahi yang harus dihormati.

Namun, di Indonesia, nilai intrinsik manusia tersebut sering kali diabaikan. Tragedi yang dialami Gamma memberi gambaran bagaimana dehumanisasi sistematis yang terjadi ketika nyawa manusia dianggap murah.

Ketika hukum tidak melindungi, korban kehilangan haknya, juga martabatnya sebagai manusia. Upaya untuk menutupi kebenaran dalam kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum tidak memandang manusia sebagai entitas yang suci dan bernilai, namun semata bagian dari mekanisme yang bisa diabaikan.

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan keadilan, terlebih kemanusiaan.

Kasus Munir, sebagai protagonis yang mencolok di hadapan penguasa zalim, sekaligus menjadi alarm pahit bagaimana nyawa manusia sering kali dianggap tak bernilai. Sedangkan kasus Gamma, selang dua pekan berlalu, memberi gambaran aparat penegak hukum menjadi pelanggar hukum yang dapat disaksikan dengan mata telanjang.

Kasus-kasus ini mencerminkan bagaimana dehumanisasi itu bekerja: korban tidak hanya kehilangan nyawa, tetapi juga kehilangan suara dan martabatnya—di tengah upaya sistematis untuk memberangus kebenaran.

Rumi menulis: “keadilan adalah hadiah cinta, melalui keadilan, cinta terus tumbuh”. Di Indonesia, lenyapnya keadilan tidak hanya menghina kemanusiaan dan membunuh rasa percaya warga negara pada institusi hukum serta para penegak hukumnya.

Keadilan sebagai Ekspresi Cinta

Bagi Rumi, keadilan tidak dapat diceraikan dari cinta. Dia percaya bahwa keadilan sejati hanya bisa tercapai jika manusia mendasarkan tindakan mereka pada cinta dan welas asih.

“Cinta adalah kekuatan yang membuat keadilan menjadi hidup”, tulisnya. Dalam dunia modern yang sering kali dingin dan mekanis, ajaran ini memberi pelajaran penting tentang bagaimana mendekati masalah-masalah ketidakadilan.

Tatkala keadilan dipisahkan dari cinta, ia menjadi kaku dan kehilangan maknanya. Dalam konteks Indonesia, ini berarti mendekati pelanggaran HAM dan ketidakadilan dengan empati, mendengarkan suara korban, dan memperjuangkan kebenaran tanpa kompromi.

Ajaran Rumi tentang keadilan memberikan kritik tajam terhadap struktur global yang sering kali menempatkan kalkulasi-kalkulasi ekonomi di atas kemanusiaan. Ketidakadilan muncul ketika manusia melupakan hubungan spiritualnya dengan Tuhan dan sesamanya.

Dalam dunia yang penuh banalitas kejahatan, pesan-pesan Rumi bak sumur yang tak pernah kering untuk menimba inspirasi untuk gerakan solidaritas yang memanusiakan kembali manusia. “Lihatlah jejak cinta di seluruh dunia ini, karena cinta adalah kehidupan bagi semua makhluk”, tulis Rumi.

Haul ke-750 tahun Rumi menjadi sebuah momen refleksi atas pesan abadi yang ditinggalkannya. Dalam dunia yang sering kali kehilangan arah, ajaran Rumi tentang, keadilan, cinta, dan kemanusiaan menjadi mercusuar yang menunjukkan jalan menuju cahaya kehidupan yang bermartabat.

Meneladani Rumi berarti menempatkan cinta di pusat keadilan dan memperjuangkan dunia di mana manusia dan alam dihormati sebagai bagian dari kesatuan Ilahi.

Kini, mau kah kita, menempatkan kembali cinta sebagai denyut keadilan dan menjadikan kemanusiaan sebagai cermin kesatuan Ilahi?