Berzina dengan Mahram, Bagaimana Status Anaknya dalam Islam?

Berzina dengan Mahram, Bagaimana Status Anaknya dalam Islam?

Berzina dengan Mahram, Bagaimana Status Anaknya dalam Islam?

Dari sekian kasus yang mencuat adalah melakukan zina dengan mahram. Hal ini mengundang persoalan lain yaitu status anak yang bisa saja diperoleh dari hubungan terlarang tersebut. Lalu, bagaimana status anak yang dihasilkan dari hubungan mahram dalam Islam (fikih)?

Pertama-tama kita harus memahami konsep hubungan intim yang dilakukan oleh kedua pasangan yang memiliki ikatan mahram tersebut. Sudah barang tentu, di sini tidak akan menjelaskan hukumnya sebab hukumnya sudah jelas-jelas haram.

Dalam kitab-kitab klasik ditemukan konsep hubungan intim dengan orang yang masih memiliki ikatan mahram. Misalnya, Ibnu Qudamah dalam kitabnya memberikan sub bab (fasal) tentang menikahi mahramnya. Para ulama sudah melakukan konsensus akan kebatalan nikahnya orang yang masih memiliki hubungan mahram. Hanya saja, ulama berbeda pendapat apakah orang itu wajib di sanksi jika tetap melaksanakan pernikahan dan melakukan hubungan intim.

Menurut golongan pertama yang merupakan representasi mayoritas memvonis pasangan itu disanksi, yaitu dicambuk jika dalam bingkai Negara Islam bukan Negara Bangsa. Sedangkan menurut golongan kedua semisal Abu Hanifah dan Imam Tsauri pasutri yang masih mahram itu tidak dicambuk sebab masih menyisakan syhubhat (kesangsian) sehingga sanksinya gugur.

Akan tetapi, argumentasi Imam Abu Hanifah dan Tsauri dibantah oleh Ibnu Qudamah bahwa akad nikah yang memberi peluang adanya syubhat adalah akad yang sah. Sementara itu, akad nikah yang dilakukan oleh pasutri yang masih memiliki hubungan mahram batal. Dengan demikian, orang yang melakukan hubungan intim pada seseorang yang disepakati keharamannya tanpa adanya syubhat milik dan yang bersangkutan mengetahui akan keharamannya maka wajib di sanksi cambuk sebagaimana tidak adanya pernikahan.

وإن تزوج ذات محرمه، فالنكاح باطل بالإجماع. فإن وطئها، فعليه الحد. في قول أكثر أهل العلم

“Jika seseorang menikahi mahramnya maka nikahnya batal sesuai konsensus ulama. Dan jika melakukan hubungan intim maka wajib disanksi menurut mayoritas ulama”. (al-Mughni Ibnu Qadamah, 9/55).

Dari statemen itu kita bisa memahami bahwa hubungan yang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan intim adalah zina. Kendatipun dibungkus melalui pernikahan sebab sesuai kesepakatan ulama pernikahannya dihukumi batal. Oleh karena itu, bisa kita simpulkan bahwa anak yang lahir sebab hubungan terlarang tersebut (baca: berhubungan dengan mahram) berlaku sebagaimana anak zina.

Sebagaimana yang kita tahu, anak dari hasil zina; seperti anak dari hasil hubungan intim dengan mahram itu tidak bernasab kepada ayahnya. Kendatipun laki-laki (ayah biologisnya) tersebut mengakui anak yang lahir itu sebagai anaknya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm [7/365] bahwa anak zina tidak bisa bernasab kepada ayahnya.

Sementara itu, Imam Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir (8/162) merincinya. Pertama, jika perempuan itu tidak memiliki suami, baik belum pernah menikah ataupun sudah pernah menikah, sampai waktu melahirkan maka anaknya bernasab kepada ibunya saja. Menurut Madzhab Syafi’i, anak itu tidak dinisbahkan kepada lelaki yang berzina meskipun lelaki itu telah mengakuinya. Berbeda dengan pandangan sebagian ulama yang lain semisal Hasan al-Bashri.

Kedua, kalau perempuan itu nyatanya menikah walaupun sehari sebelum melahirkan maka anaknya dinisbahkan kepada lelaki yang menikahi perempuan tersebut. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh kalangan mazhab Hanafi.

Konsekuensinya,  anak dari hasil zina dengan mahram ini masih diperselisihkan hak-haknya sebagaimana hak-hak anak zina lainnya. Misalnya, soal warisan dan hak nafkahnya. Menurut ulama yang tidak mengakui nasabnya maka ayah biologisnya tidak memiliki kewajiban menafkahi dan tidak berhak memberikan warisan. Berbeda dengan ulama yang mengatakan sebaliknya, apa lagi ada campur tangan Negara yang mewajibkan kepada ayah biologisnya untuk menafkahi kendatipun melalui pintu hibah dan lain semacamnya.

Walhasil, dari keterangan di atas bisa kita simpulkan bahwa anak dari hasil zina dengan mahram dihukumi sama seperti anak dari hasil zina dengan perempuan lainnya. Kenapa sebab? Karena hubungan intim yang dilakukan oleh orang yang masih memiliki hubungan mahram adalah zina yaitu hubungan intim di luar nikah yang sah. Implikasinya, nasab anak itu hanya bersambung kepada ibunya, dan hak-hak anak semisal nafkah dibebankan kepada ibu dan keluarga si ibu. Demikian pula anak itu hanya mendapatkan hak warisan dari jalur ibunya.

Namun demikian, jika sekiranya sang ibu dan keluarganya tidak mampu untuk menanggung nafkah sang anak, maka boleh bagi Negara untuk mengintervensinya dengan cara melimpahkan kewajiban itu kepada ayah biologisnya. Sebab, anak yang lahir adalah warga negara yang juga menjadi kewajiban negara untuk ikut serta menjamin hak-hak kemanusiaannya.