Zakat Kepada Pemalas Shalat

Zakat Kepada Pemalas Shalat

Zakat Kepada Pemalas Shalat

 

Selain puasa dan shalat taraweh, Ramadhan juga identik dengan zakat. Pada bulan yang penuh berkah ini, Allah Swt mewajibkan zakat kepada hamba-Nya. Ibnu ‘Abbas mengatakan, Rasulullah mewajibkan zakat fitri untuk menyucikan orang puasa dari kesia-siaan dan kekejian dan sebagai rejeki bagi orang miskin. Siapa yang membayarkannya sebelum shalat (idul fitri) diterima zakatnya. Adapun yang membayarnya setelah shalat, maka status pemberiannya dianggap seperti sedekah biasa (HR: Ibn Majah).

Tujuan zakat fitri adalah untuk membersihkan jiwa orang berpuasa dan sekaligus momen untuk berbagi kepada orang miskin. Jangan sampai pada hari kebahagiaan itu, masih ditemukan orang miskin yang kelaparan dan meminta-minta. Maka dari itu, zakat mesti dibayarkan sebelum shalat idul fitri. Dalam surat al-Taubah ayat 60 disebutkan, terdapat delapan golongan yang berhak menerima zakat: Orang fakir, miskin, pengurus zakat, muallaf, orang yang memerdekakan budak, orang berhutang, fi sabilillah, ibnu sabil.

Banyak yang bertanya, bagaimana jika orang yang berhak menerima zakat tersebut malas dan suka meninggalkan shalat? Apakah orang tersebut masih berhak menerima zakat? Pertanyaan serupa juga pernah diajukan kepada Imam al-Nawawi, dalam kitabnya Fatawa al-Nawawi dijelaskan:

“Bila seseorang sudah baligh dan tidak mengerjakan shalat, kemudian kondisi ini terus berlanjut sampai penyerahan zakat, maka tidak boleh memberikan zakat kepadanya. Ia termasuk kategori orang yang hartanya ditahan (dikontrol), karena masih bodoh (belum pandai memanfaatkan hartanya) dan tidak diperbolehkan memegang uang sendiri. Namun diperbolehkan memberikan zakat kepada walinya dan memegang pemberian zakat tersebut.

Lain halnya dengan orang baligh, berakal, dan sudah shalat, kemudian tiba-tiba tidak mengerjakan shalat dan qadhi tidak menahan hartanya, maka diperbolehkan membayar zakat kepada golongan ini. Ia juga berhak untuk memegang uang sendiri dan seluruh bentuk tasarruf-nya (tindakan ekonomi) sah. “

Menurut an-Nawawi, terdapat dua kategori orang yang tidak shalat. Pertama, orang yang tidak mengerjakan shalat karena akalnya belum terlalu matang (safih) dan belum mampu membelajakan hartanya seperti manusia dewasa pada umumnya; kedua orang yang meninggalkan shalat karena malas, namun akalnya sudah matang dan mampu membelajakan hartanya secara mandiri dan tidak mubazir.

Untuk tipikal pertama tidak dibolehkan memberikan zakat kepadanya, karena dia tidak mampu menggunakan harta secara baik. Kalaupun tetap berkeinginan untuk berzakat kepadanya, serahkan kepada walinya atau orang yang mengontrol hartanya. Statusnya disamakan dengan anak kecil dan orang gila. Sementara tipikal kedua diperbolehkan memberikan zakat kepadanya, sebab dia sudah mampu mandiri menggunakan harta.

Berdasarkan penjelasan ini, yang menjadi perhatian utama pada saat membayar zakat ialah sejauh mana mustahiq mampu dan mandiri menggunakan harta yang diberikan. Kalau bisa pastikan bahwa zakat yang diberikan digunakan sebaik-baiknya dan tidak diboroskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Wallahu a’lam