Zakat untuk Masjid, Boleh Apa Tidak?

Zakat untuk Masjid, Boleh Apa Tidak?

Status hukum zakat untuk masjid memiliki dua pendapat. Ada yang membolehkan dan ada juga yang melarangnya.

Zakat untuk Masjid, Boleh Apa Tidak?
Ilustrasi : Alwy (islamidotco)

Dear redaksi Islamidotco

Setiap bulan Ramadan banyak saudara muslim kita yang menjadikan momentum bulan penuh berkah ini untuk memperbanyak amal baik, terutama yang berkaitan dengan kewajiban.Salah satu di antaranya adalah zakat mal.

Pertanyaan saya kali ini sederhana: bolehkan zakat mal itu diberikan kepada masjid dengan merujuk pada niat ‘fi sabilillah’.

Saya sudah coba mencari tahu lewat berbagai media, tapi sebagian besar jawabannya adalah tidak boleh. Alasannya, infaq dianggap lebih baik jika peruntukannya adalah masjid.

Meski demikian, sebagian kecil pendapat ada yang memperbolehkan dengan merujuk pada apa yang saya sebut di atas. Bagaimana yang tepat menurut redaktur Islamidotco?

Terimakasih,

Puthut EA, Kepala Suku Mojokdotdo

Jawab

 Kepada Mas Puthut yang budiman, semoga rahmat Allah SWT senantiasa tercurah kepada kita semua.

Sebagaimana kita tahu bahwa zakat merupakan salah satu rukun Islam. Tiap Muslim pada dasarnya memiliki kewajiban menunaikan zakat. Syaratnya harus memenuhi beberapa kriteria. Salah satunya adalah kemampuan ekonomi, selain tentu saja akal sehat. Selebihnya bisa dibaca di sini.

Terkait pendistribusian, Al-Quran menjelaskan delapan golongan yang berhak mendapatkan zakat.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِي

Sesungguhnya zakat hanya untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Mahamengetahui, Mahabijaksana.” (QS At-Taubah [9]: 60).

Dari ayat di atas kita dapat memahami bahwa masjid tidak secara tegas masuk dalam delapan golongan yang berhak menerima zakat. Hal ini menjadi pendapat empat imam madzhab, yaitu imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

إِتَّفَقَ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إِخْرَاجُ الزَّكَاةِ لِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَوْ تَكْفِينِ مَيِّتٍ

Imam empat madzhab telah sepakat bahwa tidak boleh mendistribusikan zakat untuk pembangunan masjid atau mengafani orang mati,” (Lihat Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, Al-Mizanul Kubra, Indonesia, Darul Kutub Al-Islamiyyah, juz II, halaman 13).

Kendatipun demikian, pendapat tersebut bukan berarti lepas dari penyangkalan. Ada kalangan yang tetap menyatakan bahwa diperbolehkan untuk memberikan zakat ke masjid.

Di ayat yang sama terdapat keterangan “fi sabilillah” sehingga membuka peluang perdebatan seberapa luas cakupan zakat yang diniatkan untuk berjuang “di jalan Allah”.

Pada gilirannya, masjid dianggap sebagai bagian infrastruktur perjuangan “di jalan Allah”. Menurut pandangan ini, redaksi “fi sabilillah”—dilihat dari sisi zhahirul lafzh-nya—tidak hanya membatasi (al-qashar) pada orang-orang yang berperang.

وَاعْلَمْ أَنَّ ظَاهِرَ اللَّفْظِ فِي قَوْلِهِ : {وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ} لَا يُوجِبُ الْقَصْرَ عَلَى كُلِّ الْغُزَاةِ ، فَلِهَذَا الْمَعْنَى نَقَلَ الْقَفَّالُ فِي “تَفْسِيرِهِ” عَنْ بَعْضِ الْفَقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجَازُوا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ إِلَى جَمِيعِ وُجَوهِ الْخَيْرِ مِنْ تَكْفِينِ الَمَوْتَى وَبِنَاءِ الْحُصُونِ وَعِمَارَةِ الْمَسَاجِدِ ، لِأَنَّ قَوْلَهُ : {وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ} عَامٌّ فِي الْكُلِّ.

Ketahuilah, bahwa zhahir lafazh “fi sabilillah” dalam firman Allah SWT tidak mengandung kepastian hanya mencakup setiap orang yang berperang. Atas dasar pengertian ini, maka Al-Qaffal menukil pendapat—dalam tafsirnya—dari sebagian pakar hukum yang membolehkan mendistribusikan zakat ke semua sektor kebaikan seperti mengkafani orang mati, membangun benteng, dan memperbaiki masjid. Sebab, firman Allah SWT: “fi sabilillah” adalah bersifat umum mencakup semuanya.” (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1419 H/1998 M,  juz X, halaman 127).

Berdasar dari penjelasan di atas maka status hukum zakat ke masjid memiliki dua pendapat.

Pertama, pendapat yang menyatakan ketidak-bolehan berzakat untuk masjid. Ini seperti dipegang oleh empat Imam Mazhab, sehingga secara konsep fikih arus utama, keberadaan masjid tidak bisa menjadi alasan untuk berzakat.

Pendapat ini berlaku jika masjid di suatu daerah tidak mendesak untuk diperbaiki atau termasuk masjid yang mapan secara pengelolaan.

Kontras dengan itu, pendapat kedua memperbolehkannya. Hanya saja, Al-Qaffal sebagai ulama yang menukil dari sebagian ahli fikih tidak menyebutkan dengan jelas siapa para fuqaha yang memiliki pendapat tersebut.

Meski begitu, pendapat ini tetap dapat dipertimbangkan dalam kondisi tertentu. Semisal di suatu kampung tidak ada orang yang menyumbang untuk pembangunan masjid, padahal masjid tersebut hanya satu-satunya tempat ibadah yang sudah tidak layak dan harus diperbaiki.

Dan, kalaupun tetap ingin membantu pembangunan atau renovasi masjid maka niat zakat itu mestinya ditujukan untuk mustahiq, dalam hal ini pengurus/pengelola pembangunan masjid.

Contoh mudahnya adalah sebagai berikut:

Ronaldo merupakan seorang yang mengemban tanggungjawab pembangunan/renovasi Masjid An-Nasr. Dalam pelaksanaannya, ternyata masjid itu terhambat karena persoalan hutang dalam jumlah yang tidak sedikit.

Di lain pihak, Rudi ingin membantu pembangunan masjid yang Ronaldo bertanggung-jawab terhadapnya.

Sementara berzakat untuk masjid tidaklah memungkinkan secara konsep fikih, maka Rudi harus meniatkan zakatnya untuk Ronaldo yang menjadi salah satu dari 8 mustahiq, yaitu pihak yang dianggap sedang berhutang walaupun untuk membangun/merenovasi masjid.

Wallahu a’lam

(AK/HF)