Walau Salah Jahit Jubah, Imam as-Syafii Tidak Memarahi Sang Penjahit

Walau Salah Jahit Jubah, Imam as-Syafii Tidak Memarahi Sang Penjahit

Walau Salah Jahit Jubah, Imam as-Syafii Tidak Memarahi Sang Penjahit
Ilustrasi: Beritagar

Saat melihat bahwa jubahnya tidak dijahit dengan benar, Imam as-Syafii tidak memarahi sang penjahit. Ia justru berterima kasih.

Pernahkah menggunakan jasa penjahit untuk mendesain pakaian pribadi? Atau mendesain sendiri kemudian menyerahkannya kepada penjahit untuk disulap menjadi pakaian impian. Pasti senang sekali jika desain pakaian yang kita inginkan dapat diwujudkan oleh penjahit tersebut.

Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, penjahit gagal mengeksekusi bahan, dan pakaian idaman pun gagal terwujud. Pasti sedih, bukan? Apalagi jika kain atau bahan yang digunakan dibeli dengan harga yang tinggi. Pasti kita bertambah kecewa kita kepada si penjahit.

Tetapi hal tersebut tidak terjadi pada diri seorang ulama besar bernama Muhammad Idris bin al ‘Abbas bin Ustman bin Syafi’I bin as-Saib bin Ubayd bin ‘Abdul Manaf bin Qushay atau dikenal dengan Imam Syafi’i.

Imam Syafi’I adalah ulama besar, ijtihad dalam hukum atau fikih telah menjadi rujukan oleh banyak ulama selanjutnya dan dijadikan pedoman bagi amaliah umat. beliau juga terkenal akan kebagusan akhlaknya.

Kebaikan akhlak serta kedalaman ilmunya tidak membuat Imam Syafi’I tanpa pembenci. Diceritakan oleh Imam as-Sya’rani bahwa ada seorang yang hasad atau dengki terhadap Imam Syafi’i. Orang tersebut tidak kuasa berbuat jahat dengan tangannya sendiri sehingga menyuap seorang penjahit untuk melampiaskan kedengkiannya.

Kenapa orang tersebut memilih penjahit untuk melampiaskan kedengkiannya tersebut? Karena diketahui bahwa Imam Syafi’i telah mempercayai penjahit tersebut untuk menjahit jubanya. Celakanya, orang dengki tersebut berhasil meminta sang penjahit untuk mencacatkan jahitan jubah tersebut.

Penjahit melaksanakan perintah dari orang dengki tersebut. Dijahitlah kain Imam Syafi’i hingga menjadi jubah. Selintas, tidak ada yang salah dengan jubah tersebut. Tapi ketika diamati dengan seksama ada yang aneh dengan jubah yang telah dijahit.

Penjahit tersebut membuat lengan jubah sebelah kanan begitu sempit, sehingga tangan kanan akan kesusahan untuk keluar. Sementara lengan baju sebelah kiri dijahit begitu lebar sehingga terlihat seperti sebuah lubang. Lengan bajunya dibikin tidak sama antara yang kanan dan kiri.

Mengetahui hal tersebut, Imam Syafi’I tidak marah. Beliau juga tidak menuntut ganti rugi atas kesalahan yang diperbuat penjahi tersebut terhadap jubahnya. Lalu bagaimana tanggapan beliau terhadap hal tersebut?

Dengan tenang Imam Syafi’I berkata kepada penjahit tersebu,  “Semoga Allah membalas kebaikanmu, terima kasih engkau telah membuat lengan kananku begitu sempit untuk membantuku dalam menulis”.

Apa maksud dari perkataan tersebut? Lengan yang sempit membuat penjahit tersebut tidak perlu lagi untuk menggunting karena kebesaran. Sehingga Imam Syafi’I tidak merepotkannya lagi. Lengan yang lebar juga membuat beliau tidak perlu melipat lengannya agar tidak terkena tinta sewaktu menulis.

Kemudian Imam Syafi’I juga berterima kasih kepada penjahit karena telah melebarkan lengan sebelah kirinya. Dengan lengan sebelah kiri yang lebar, dapat memudahkan beliau dalam membawa kitab-kitab. Lengannya yang cukup lebar tidak mengganggu tangannya untuk membawa banyak kitab, sehingga tidak mengalami kesusahan atau kesakitan karena sempitnya lengan.

Begitulah Imam Syafi’I mengajarkan untuk menahan emosi dalam menyikapi berbagai persoalan, termasuk menghadapi orang yang dengki terhadap diri kita.

Setiap manusia memiliki sisi baik dan buruk, tidak semua yang baik akan disukai orang lain dan tidak semua yang buruk akan dibenci orang lain. Semakin bertambahnya ilmu seharusnya mendewasakan diri agar tidak mudah marah dalam menyikapi berbagai persoalan. Salah satunya dalam menghadapi orang-orang yang benci atau iri dengan pencapaian diri kita.

Semoga cerita dari ulama besar ini menjadi hal yang bermanfaat. (AN)

Waallahu ‘alamu bishowab.

 

Sumber: Kitab Tanwirul Qulub.