Hari itu anakku tampak berbeda. Seperti biasa, dia langsung saja masuk rumah. Tapi hari itu terlihat ada yang lain di wajahnya. Saya menyambut dan menyapanya seperti hari-hari sebelumnya. Dia hanya melihatku dengan diam. Tampak sekali ada sesuatu yang ingin dikatakan. Bahkan saat dia duduk di sampingku, dia hanya bungkam.
“Ada apa?” tanyaku lembut. Dia tetap diam. Tapi kegalauannya akhirnya memberi tenaga padanya untuk membuka mulut dan mengeluarkan suara.
“Kita tidak boleh merayakan Valentine. Kita tidak boleh mengucapkan ‘Selamat Valentine’,” ucapnya dengan muka cemberut yang bimbang.
Aku mengusap lembut rambutnya, memeluknya dan mengujaninya dengan ciuman. Sekalipun diam, jelas sekali dia menyukainya. Biasanya dia akan memnbalas pelukanku, bahkan menyodorkan pipinya untuk mendapatkan lebih banyak ciuman dariku. Tapi hari itu, dia tampak ragu, tidak tahu harus berbuat apa dengan limpahan cinta dariku.
Aku sudah bisa menduga apa yang terjadi. Sebagai seorang ayah, aku tahu ketika anakku mengatakan sesuatu sepulang sekolah. Hampir pasti, dia baru saja mendapatkan “didikan” tertentu di sekolahan, baik dari gurunya maupun teman sekolahnya. Hari itu adalah 14 Februari, Hari Valentine. Ketika dia datang dari sekolah dan mengatakan bahwa kami tidak boleh merayakan Valentine, aku memastikan itulah didikan yang dia dapatkan di hari itu.
Aku bertanya pelan, “Mengapa kita tidak boleh merayakan Valentine?”
Dia kemudian bercerita bahwa gurunya melarang siswa-siwa untuk merayakan Valentine karena kita seharusnya menyayangi orang setiap saat, bukan hanya di Hari Valentine, dan Valentine itu bukan budaya kita. Penjelasan yang tidak sedikit pun membuatku kaget karena itulah yang biasa kita dengar.
Aku tidak meresponnya secara langsung. Aku membiarkan waktu berlalu agak lama hingga keriangan kanak-kanaknya muncul kembali. Kami kemudian bermain, bercengkerama, berpelukan, dan melakukan apa saja sebagai wujud kami saling mencintai. Seharian aku melimpahinya cinta dan kasih sayang.
Saat menjelang tidur, seperti biasa, aku memberikan sebelah lenganku untuk menjadi bantalnya, dan tanganku yang lain mengusap-usap punggungnya.
Saat akrab seperti itu, aku katakan padanya:“Virginia, kita tidak harus saling mengucap sayang, karena yang lebih penting adalah kita saling menyayangi. Kita memang harus saling menyanyangi setiap saat, tidak hanya di hari Valentine. Kita juga harus memberi cinta dan sayang kepada siapa saja setiap saat.”
Tanganku tetap mengusap punggungnya dengan lembut.
“Nah, sekarang camkan! Jika kita harus saling menyayangi setiap saat, lalu mengapa kita tidak boleh mengucap sayang di tanggal 14 Februari? Itu sama seperti kita harus mencintai mama setiap saat tanpa harus melarang peringatan Hari Ibu.”
Sesekali kurasakan geliat tubuhnya. “Valentine memang bukan budaya kita. Tapi, lihatlah apa yang melekat pada tubuh kita, barang-barang di sekitar kita, hingga kebiasaan harian kita. Apakah semua berasal dari budaya kita?
Tidak, Virginia! Dalam hidup, kita belajar dari banyak tradisi. Ambil kebaikannya dan campakkan keburukannya, tak peduli dari mana pun datangnya. Kita akan menjadi manusia yang miskin budaya jika kita hidup dengan sikap tertutup. Kita menjadi berkembang karena diperkaya melalui persentuhan dengan budaya orang lain.”
Aku tidak tahu apakah tidak paham atau tidak dengan penjelasanku,“Jika yang mereka khawatirkan adalah perbuatan dosa, tak perlu Valentine untuk menemukan dosa-dosa. Ketika papa selalu mengucapkan ‘Selamat Valentine’ ke kamu setiap tanggal 14 Februari, papa hanya ingin memiliki momentum untuk memperbarui cinta dan sayang papa ke kamu. Papa mencintai kamu seperti papa mencintai kakak Regina dan mama.”
Ketika akhirnya aku berhenti bicara, aku lihat dia sudah tertidur pulas. Aku yakin dia mungkin hanya sanggup mendengar dua kalimat pertama sebelum pada akhirnya tertidur. Tidak mengapa, aku hanya ingin mendidiknya agar tidak mengharamkan kasih sayang, agar dia tumbuh dengan mencintai orang-orang di sekelilingnya.
Aku juga tidak kuat menahan kantuk.
Sebelum tidur, aku berdoa: “Ya Allah, jangan jadikan anakku sebagai manusia pembenci yang bangga menyerang orang-orang yang ingin merayakan kasih sayang. Amien!”[]