Resensi Panggil Saja Mutia: Kisah Cinta dan Politik yang Menjatuhkan Gus Dur

Resensi Panggil Saja Mutia: Kisah Cinta dan Politik yang Menjatuhkan Gus Dur

Resensi Panggil Saja Mutia: Kisah Cinta dan Politik yang Menjatuhkan Gus Dur

 Rivdi dan Mutia berada dalam bayang-bayang masa lalu orang tua mereka. Sejarah politik Indonesia dan kisah cinta berkelindan dalam novel “Panggil Saja Mutia”.

Rivdi, seorang pemuda yang hidup dengan keterbatasan. Ayahnya hanyalah pekerja serabutan di Pasar dengan membantu para pedagang memanggul dagangannya. Bersama ayahnya pula Rivdi tinggal berdua tanpa didampingi sosok seorang ibu. Sejak kecil, Rivdi dikenal sebagai orang yang giat dalam belajar sehingga mampu melanjutkan studi hingga Perguruan Tinggi dan masuk ke Jurusan Sejarah.

Sementara Mutia, seorang gadis dari keluarga kaya yang tinggal di perkomplekan yang bersebelahan dengan kampung Rivdi. Ia merupakan anak dari seorang juru masak Istana. Mutia telah mengenal Rivdi sejak usia Sekolah Dasar. Mereka berdua berada dalam satu kelas yang sama dan kerap menghabiskan waktu berdua. Sesekali, Rivdi juga mengunjungi rumah Mutia untuk kemudian menceritakan kemegahan rumah Mutia kepada sang Ayah.

Rivdi dan Mutia merupakan tokoh utama dalam novel perdana Virdika Rizky Utama berjudul Panggil Saja Mutia. Dalam pengantarnya, Virdika menjelaskan bahwa novel tersebut merupakan hadiah pernikahan untuk sang istri – Mutiara.

Pertemanan antara Rivdi dengan Mutia ternyata menyisipkan segudang cinta. Mereka saling mencintai dalam diam, tanpa sedikitpun mengungkapkan perasaan satu sama lain. Hingga di jenjang Peguruan Tinggi, mereka terlibat dalam organisasi Lembaga Pers Mahasiswa. Di situlah, Rivdi dan Mutia menaruh perhatian terhadap isu-isu sosial-politik dan melibatkan diri dalam berbagai demonstrasi, seperti demo kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berakhir ricuh dan membuat mereka ditangkap oleh aparat keamanan.

Tak hanya menyajikan kisah cinta antara Rivdi dan Mutia. Novel ini juga membeberkan dinamika politik Indonesia di penghujung Orde Baru dan awal Reformasi. Toha Roesta merupakan presiden yang berkuasa selama 30 tahun lebih. “Bapak itu raja Jawa, raja yang memimpin Indonesia,” ucapan yang keluar dari mulut Rustam – ayah Mutia – yang menjadi juru masak kepercayaan Presiden Toha Roesta. (halaman 46).

Kalimat tersebut menggambarkan perangai rezim Orde Baru dengan Soeharto sebagai penguasa tunggal. Meminjam istilah Jeffrey A. Winters (2011), era Orde Baru dapat diklasifikasi sebagai Oligarki Sultanistik dengan memonopoli kekuatan militer dan membentuk relasi patron-klien. Persis seperti tokoh Toha Roesta yang bertindak sebagai “Bapak”. Bagi orang Jawa, seorang bapak adalah pemimpin tertinggi dalam keluarga, titahnya harus dipatuhi dan martabatnya wajib dijunjung tinggi. (halaman 47).

Berbeda dengan Rustam yang dekat dengan lingkar kekuasaan Toha Roesta. Margono – ayah Rivdi – merupakan aktivis prodemokrasi yang berjuang untuk melengserkan Toha Roesta. Ia pula yang menghantarkan Wirabanu Hamidi untuk menduduki bangku Presiden.

Sayang, meskipun dikenal sebagai sosok yang berpihak kepada kelompok minoritas, kepemimpinan Wirabanu Hamidi tidak direstui oleh kalangan militer dan politisi yang loyal terhadap Toha Roesta. Keberanian Wirabanu menyeret Toha Roesta ke pengadilan atas kasus korupsi semakin membangkitkan amarah lawan politiknya. Walhasil, melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat, Wirabanu dimakzulkan.

Novel “Panggil Saja Mutia” berkaitan erat dengan dua buku Virdika sebelumnya, yaitu Demokrasi dan Toleransi Pasca Represi Orde Baru (2018) dan Menjerat Gus Dur (2020). Buku pertama menjelaskan tentang kemunculan Forum Demokrasi bentukan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai antitesis dari Orde Baru. Sementara yang kedua berisi tentang pelengseran Gus Dur.

Hadirnya dinamika politik dalam novel ini menambah kompleksitas dalam cerita. Rivdi dan Mutia berada dalam bayang-bayang masa lalu orang tuanya. Rivdi perlu memahami bahwa pilihan ayahnya menjadi orang biasa merupakan langkah terbaik untuk terhindar dari ancaman. Sementara Mutia harus kecewa atas masa lalu ayahnya yang menjadi informan kelompok loyalis Toha Roesta, pemimpin otoriter yang Mutia benci. Akibat masa lalu keduanya pula, Rivdi dan Mutia harus berjarak.

Novel ini menyajikan sebuah pemahaman mendalam terkait dinamika politik yang terjadi di Indonesia. Lengsernya Soeharto tidak serta-merta mengubah masa depan demokrasi Indonesia. Jaringan kekuasaan Orde Baru yang masih bercokol di pemerintahan membuat amanat reformasi mandek. Pelengseran Gus Dur pun menjadi preseden bahwa dalam politik segala cara kotor dapat dilakukan.

Kisah asmara pemuda-pemudi dengan balutan sejarah politik Indonesia memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Namun, hal tersebut pula yang membuat pengembangan tokoh utama, yakni Rivdi dan Mutia menjadi kurang optimal. Kedua tokoh utama tersebut terlalu berkutat dengan pengungkapan fakta masa lalu orang tua mereka. Banyak isu-isu sosial yang mulanya disinggung juga tidak berkembang, seperti ketimpangan, mahalnya biaya pendidikan, dan marginalisasi perempuan.

Meskipun demikian, novel “Panggil Saja Mutia” patut diapresiasi sebagai karya sastra perdana Virdika Rizky Utama. Keberanian penulis untuk membuat karya sastra berupa novel layak diacungi jempol, mengingat latar belakangnya sebagai peneliti sejarah dan politik.

 

 

Judul : Panggil Saja Mutia : Cinta, Kebohongan, Istana

Penulis : Virdika Rizky Utama

Cetakan : Pertama, Agustus 2023

Penerbit : Islami Digital Indonesia

Tebal : 179 hlm

ISBN : 978 – 623 – 09 – 4714 – 8