Kalau Rasulullah Sudah Terpelihara dari Dosa, Mengapa Kita Masih Shalawat kepada Nabi Muhammad?
مَنْ صَلىَّ عَلَيَّ صَلَاةً صَلىَّ اللّٰهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا (رواه مسلم)
“Barang siapa yang bershalawat kepadaku (Nabi Muhammad) sekali, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.” (HR Muslim)
Dulu, saya sering kali dicap anti-shalawat oleh beberapa teman kuliah. “Masa kamu nggak tahu shalawat ini, sih? Nggak suka shalawatan da kamu mah, ya? Wah, parah!”
Namun, saya tidak pernah menghiraukannya, karena saya tahu, itu diniatkan candaan belaka; tidak ada maksud betul-betul mengejek dan mengasingkan saya dari pergaulan.
Jujur, saat itu saya memang belum begitu akrab dengan bermacam-macam shalawat. Bisa dibilang, perkenalan saya dengan shalawat baru dimulai ketika memasuki dunia perkuliahan. Sebelumnya, ya, hanya tahu shalawat umum nan dasar yang biasa dilantunkan dalam tasyahud ketika shalat.
Saya pun sering bertanya-tanya, Rasulullah, kan, sudah maksum alias terpelihara dari dosa, lantas kenapa kita harus bershalawat kepada beliau? Belum lagi dengan tradisi muludan atau peringatan Maulid Nabi yang notabene di dalamnya pasti melantunkan macam-macam shalawat. Buat apa?!
Kata shalawat atau dalam KBBI disebut “selawat”, meskipun sebetulnya saya kurang setuju dengan pemilihan kata serapan ini, merupakan bentuk jamak dari “shalat” yang arti harfiahnya “berdoa”. Dalam shalawat tentunya mengandung doa, terutama doa bagi Rasulullah Saw., keluarga, serta sahabatnya. Dengan pemikiran saya yang awam, konsep “mendoakan Rasulullah” ini masih belum saya pahami.
Lah, wong, manusia yang penuh lumuran dosa dan setiap harinya banyak julid, kan, kita-kita ini. Ngapain kita malah doain manusia agung nan terpuji?
Hingga akhirnya, saya pun bertanya kepada salah seorang kakak tingkat yang saya rasa, bisa memberi pencerahan tentang rasa penasaran saya. Beliau pun memberi beberapa keterangan singkat, kurang lebih seperti ini.
Pertama, shalawat itu berarti juga pujian. Kita memuji keagungan Nabi, berupa akhlak dan keteladanannya, sehingga kita bisa mengambil hikmah dari apa yang beliau ajarkan. Syukur-syukur, kita bisa mengikuti kebaikan-kebaikan Nabi yang membuatnya menjadi manusia terpuji. Oke, bisa dipahami, tapi masih belum cukup menjawab pertanyaan saya.
Shalawat juga berarti syiar Islam, karenanya, kita jadi mengenal Islam. Lafal-lafal dalam shalawat menggunakan bahasa Arab, yang tentunya identik dengan agama Islam. Dengan shalawat ini, bisa menjadi sarana untuk berdakwah: mengenal dan mengenalkan agama Islam.
Dalam shalawat, kita tidak hanya mendoakan Nabi, tapi juga sahabat dan keluarganya. Yap! Saya tidak menampik pernyataan ini.
Saya jadi berpikir, alangkah beruntungnya para keluarga dan sahabat Nabi. Selain bisa bertemu dengan sosok agung dan mendapat limpahan hikmah dari beliau, mereka juga senantiasa didoakan oleh kita, umatnya Nabi Muhammad Saw. Bukan hanya sekali dua kali, kita mendoakan mereka sepanjang zaman, selama shalawat itu tetap disyiarkan.
Namun, ada hal yang baru saya ketahui perihal siapa “keluarga” Nabi yang dimaksud dalam shalawat yang sering dilantunkan itu.
Menurut Imam Syafi‘i, kata آل adalah أَقَارِبَهُ الْمُؤْمِنُوْنَ مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَلِّبِ, yaitu kerabat atau keluarga dekat Nabi yang beriman dari kalangan Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Ada juga pendapat lain yang dipilih Imam Nawawi, إِنَّهُمْ كُلُّ مُسْلِمٍ mereka adalah semua orang Islam.
Jadi, saat kita bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw, sebenarnya kita juga sedang bershalawat atau mendoakan diri kita sendiri, juga keluarga kita.
Bahkan, Allah dan malaikat pun bershalawat pada Nabi. Dalam kitab Ta‘lim Muta‘allim dijelaskan bahwa shalawat dari Allah kepada Nabi adalah rahmat-Nya, shalawat dari malaikat kepada Nabi adalah permohonan ampun, dan shalawat dari manusia (kita) kepada Nabi adalah doa.
اَلصَّلَاةُ عَلَيْهِ لَيْسَ لِحَاجَتِهِ إِلَيْهَا وَإِلَّا فَلَا حَاجَةَ إِلَى صَلَاةِ الْمَلَائِكَةِ مَعَ صَلَاةِ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا هُوَ لِإِظْهَارِ تَعْظِيْمِهِ، كَمَا أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبَ عَلَيْنَا ذِكْرَ نَفْسِهِ وَلَا حَاجَةَ لَهُ إِلَيْهِ، وَإِنَّمَا هُوَ لِإِظْهَارِ تَعْظِيْمِهِ مِنَّا شَفَقَةً عَلَيْنَا لِيُثِيْبَنَا عَلَيْهِ
“Bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. bukanlah karena kebutuhan beliau kepada shalawat itu. Bila Nabi membutuhkan shalawat, maka tak ada kebutuhan terhadap shalawatnya malaikat yang bersamaan dengan shalawatnya Allah kepada beliau. Shalawat itu hanya untuk menampakkan pengagungan terhadap beliau, sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk mengingat Dzat-Nya, sementara Allah tak memiliki kebutuhan untuk diingat. Hal itu semata-mata untuk menampakkan sikap pengagungan terhadap beliau dari kita dan agar Allah memberikan ganjaran bagi kita atas pengagungan tersebut.” (Fakhrudin Ar-Razi, dalam Mafâtîh al-Ghaib)
Setelah mendapat keterangan ini, saya pun menyimpulkan, bahwa pada hakikatnya, kita lah yang membutuhkan shalawat itu, bukan Nabi. Kita lah yang justru mendapat kebaikan dari shalawat yang kita lantunkan, bukan (hanya) Nabi.
Hingga akhirnya, saya pun berani menampik ocehan-ocehan iseng kawan saya, bahwa saya tidak anti-shalawat sama sekali. Saya sudah hafal shalawat fâtih, syifâ, asyghil, dan lainnya. Saya suka bershalawat.
Saya bisa merasakan bagaimana kebaikan-kebaikan dari shalawat bisa berdampak pada setiap keputusan dan tindakan yang saya ambil. Karena dengan bershalawat juga, menandakan kecintaan pada Nabi, yang muaranya, tentu saja cinta kepada Ilahi.
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Âli ‘Imrân [3]: 31)
Shalluu ‘alan-nabi! (AN)