Umat Islam Seharusnya Melawan Penindasan Kepada Minoritas

Umat Islam Seharusnya Melawan Penindasan Kepada Minoritas

Umat Islam Seharusnya Melawan Penindasan Kepada Minoritas
(foto: Ardyan Mohamad/Merdeka.com)

“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa!”, (Milan Kundera)

Gemuruh soal Saracen hingga pernikahan Raisa seolah berhenti, sebab konflik kemanusiaan yang terjadi di Rakhine State Myanmar. Dari gerakan kepeduliaan pengumpulan dana hingga petisi pencabutan hadiah Nobel Perdamaian dari Aung Saa Su Kyi, kebanyakan orang menumpahkan keprihatinannya kepada masyarakat Rohingya dengan berbagai cara.

Di hampir semua media sosial membincangkan keprihatinan mereka atas penindasan kepada saudara muslim yang berada di Rakhine State. Semuanya memancing rasa empati dan simpati kita untuk mencoba meringankan apa yang mereka jalani.

Konflik di Rakhine State ini diberitakan sebagai konflik agama, di mana agama Buddha yang dominan di sana melakukan kekerasan kepada pemeluk muslim yang minoritas. Foto-foto kekerasan tersebut beredar dengan mudahnya yang kadang melupakan apakah foto itu benar atau tidak.

Kita seakan-akan lupa bahwa narasi menyingkirkan minoritas ini juga beberapa kali terjadi di sekitar kita, namun pertanyaannya adalah apakah rasa kemanusiaan kita sama dengan sewaktu kita memperjuangkan saudara-saudara kita di Myanmar? Apakah melawan penindasan kepada minoritas hanya berlaku pada yang seagama dengan kita saja?

Pertanyaan ini cukup menganggu saya saat melihat euforia membantu ke Rohingya sangat tinggi namun mengapa saat penyingkiran pengikut Ahmadiyah di Cikeusik atau pengusiran Syiah di Sampang, kebanyakan kita hanya berdiam dan malah ada yang mensyukuri kejadiaan tersebut.

Tragedi kemanusiaan seperti di Sampang, Cikeusik hingga Rohingya adalah tragedi penindasan atas minoritas yang harus kita lawan dan kita jangan sampai lupa akan tragedi ini. Menyitir kata-kata Milan Kundera di atas, perjuangan melawan ketidak adilan adalah perjuangan melawan lupa.

Fakta akan dehumanisasi, ketidakadilan, dan penindasan adalah hal yang tak terelakkan dalam sejarah manusia, oleh sebab itu perjuangan melawannya pun tak terelakkan dari diri kita semua. Kita sebagai muslim haruslah berpihak melawan ketidakadilan, penindasan, dehumanisasi, sebab menurut Ali Syariati Berislam adalah refleksi dari kedahsyatan iman untuk menjadi personal kreatif yang bertekad mengadakan perubahan bersama kaum tertindas.

Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur pernah mengatakan “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Inilah yang seharusnya menjadi dasar gerakan kemanusiaan kita semua, tidak membedakan apakah mereka sama golongannya, ras ataupun golongannya dengan kita.

Tugas kita sebagai manusia hanyalah menolong manusia yang lain, bukan menolongnya dengan memilih apa agamanya, apa rasnya atau apa golongannya. Karena pada dasarnya manusia adalah sama dan tidak ada kesombongan yang harus kita miliki karena kita semua berasal dari lumpur atau tanah.

Keegoan dalam diri manusialah bukanlah satu-satunya hal yang membuat manusia berperilaku tidak adil pada manusia yang lain. Menurut Ali Syariati ada 4 penjara yang ada dalam diri manusia yang menghalanginya menjadi manusia yang sempurna.

Penjara pertama yakni alam. Hukum alam membuat manusia menjadi statis dan mekanis, sehingga manusia tidak menjadi efisien dan efektif. Makanya dalam sejarah manusia selalu ada usaha untuk menaklukkan hukum alam oleh manusia itu sendiri. Manusia yang sempurna adalah manusia yang tidak lagi bisa dihalangi oleh hukum-hukum alam.

Perjara yang kedua, sejarah. Penjara ini membuat manusia berpikir berpola deterministik. Pandagan determinisme sejarah menentukan apa yang harus diperbuat oleh manusia, bagaimana manusia harus mengarah. Ali Syariati dalam memberikan penggambaran tentang penjara sejarah tersebut; “kenapa saya berbahasa dengan bahasa tertentu, memeluk suatu agama, ikut pada sosial dan kultur ini, memiliki identitas dan personalitas ini, semua ini dan seluruh ciri-ciri yang saya miliki semuanya telah ditentukan oleh sejarah”. Hidup manusia yang tak bisa lepas dari penjara ini akan kehilangan kreativitas.

Penjara yang ketiga, Masyarakat. Menurut syariati masyarakat merupakan kekuatan deterministik jika kita menganggap bahwa keberadaan kita semuanya dibentuk oleh masyarakat, karakter-karakater yang dimiliki semua berangkat dari kondisi masyarakat dimana kita berdiam. Manusia yang berdiam akan ketimpangan atau ketidakadilan yang terjadi maka dia adalah bagian dari ketidakadilan dan ketimpangan tersebut. Manusia yang bebas adalah manusia yang bisa melepaskan sekat-sekat masyarakatnya untuk melakukan apa yang bermanfaat bagi manusia yang lain.

Penjara selanjutnya atau yang keempat adalah ego. Bagi syariati penjara ini adalah penjara yang sangat berat untuk dihadapai manusia karena ia berada dalam diri manusia. Ketika manusia bisa melepaskan dari penjara yang satu ini maka ia adalah manusia yang seutuhnya dan membebaskan. Sebab ego adalah hal yang paling sulit untuk dilawan.

Syariati menjelaskan bagi manusia yang bisa keluar dari empat penjara ini maka ia akan menjadi manusia yang paripurna dan bisa menjadi pembebas bagi manusia yang lain. Sebab menurut Syariati, tugas seorang manusia dalam kehidupan di dunia ini adalah wakil Allah di dunia ini yang akan melakukan kebaikan kepada siapa saja, bukan malah menindas, menyingkirkan apalagi membunuh mereka yang minoritas.