Menurut sebagian madzhab Syafi’i, hukum shalat Idul Fitri adalah fardu kifayah, maka apabila pada suatu desa terdapat sejumlah masyarakat yang melaksanakannya, kewajiban shalat Id gugur bagi yang lainnya. Sebaliknya, jika penduduk suatu desa bersepakat untuk tidak melaksanakan shalat Id maka Imamnya boleh diperangi.
Namun terkadang para perempuan terhalang dari shalat Id di masjid lantaran harus menjaga anak-anaknya di rumah, atau ada orang yang terlambat melaksanakan shalat Id berjamaah, lalu bolehkah ia shalat Id sendirian?
Shalat Id, baik Idul Fitri maupun Idul Adha sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) untuk dilaksanakan berjamaah. Imam Syafi’i dalam kitabnya, Al-Umm, mengatakan
وَلِلتَّطَوُّعِ وَجْهَانِ صَلَاةٌ جَمَاعَةً وَصَلَاةٌ مُنْفَرِدَةً وَصَلَاةُ الْجَمَاعَةِ مُؤَكَّدَةٌ وَلَا أُجِيزُ تَرْكَهَا لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهَا بِحَالٍ وَهُوَ صَلَاةُ الْعِيدَيْنِ وَكُسُوفِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ وَالِاسْتِسْقَاءِ
Shalat sunnah terbagi dua, yakni yang dilaksanakan berjamaah dan yang sendiri-sendiri. Adapun shalat sunnah yang sangat dianjurkan berjamaah tidak diperkenankan untuk meninggalkannya bagi yang mampu melaksanakannya, yaitu shalat dua hari raya, gerhana matahari dan bulan, serta shalat istisqa.
Jika berhalangan untuk shalat berjamaah, shalat Id boleh dilaksanakan sendirian. Abu Hasan Ali al-Bagdadi dalam kitab al-Iqna’ fil fiqh asy-Syafi’i mengatakan:
وَيُصلي العيدان فِي الْحَضَر وَالسّفر جمَاعَة وفرادى
Dan hendaklah melaksanakan shalat dua hari raya dalam keadaan hadir maupun bepergian, baik dengan berjamaah maupun sendiri-sendiri.
Mengenai qadha shalat Id terdapat beberapa pendapat. Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni berkata “Barangsiapa yang tertinggal shalat Id, maka tidak ada kewajiban qadha baginya. Karena hukum shalat Id adalah fardhu kifayah. Jika sudah mencapai kadar kifayah, maka sudah dikatakan cukup.” Pendapat Ibnu Qudamah juga dikuatkan oleh Imam Maliki yang juga tidak menganggap adanya qadha.
Adapun Imam al-Auza’i, Imam Ahmad dan Ats-Tsauri mengatakan, orang yang hendak mengqadha shalat Id hendaklah meng-qadhanya dengan shalat empat rakaat, baik dengan satu salam atau dua salam (dua rakaat dua rakaat). Empat rakaat ini diqiyaskan kepada shalat Jum’at yang apabila terlewat maka harus menggantinya dengan empat rakaat. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Mas’ud
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُودٍ: مَنْ فَاتَهُ الْعِيدُ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
Abdullah bin Mas’ud berkata “Barangsiapa yang luput dari shalat Id maka hendaklah ia shalat empat rakaat” (HR. Thabrani)
Pendapat kedua yakni melaksanakan shalat Id seperti biasanya, dua rakaat dengan takbir dengan suara jahr. Ia boleh memilih untuk shalat berjamaah atau sendirian. Pendapat ini dipegang oleh Imam Syafi’i dan Abu Tsaur. (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Al-Hidayah) juz 1, hal 159.
Ada pula yang mengatakan bahwa cukup dengan shalat dua rakaat tanpa takbir dan mengeraskan suara. Pendapat lainnya mengatakan apabila imam melaksanakan shalatnya di lapangan maka cukup dua rakaat, sedangkan jika dilaksanakan di tempat lain empat rakaat.
Dari Ubaid bin Abi Bakr bin Anas bin Malik, ia berkata, bahwasanya Anas apabila tidak menghadiri salat Id bersama imam, ia mengumpulkan keluarganya kemudian salat bersama mereka sebagaimana salat Id-nya imam. (HR Baihaqi)
Namun Ibnu Mundzir dan Imam Syafi’i menganggap pendapat yang menyatakan qadha shalat Id dengan empat rakaat adalah tasybih yang lemah, karena shalat Id bukanlah shalat untuk pengganti, sebagaimana shalat Jumat yang merupakan pengganti dari shalat Dzuhur yang empat rakaat.
Dengan demikian, apabila tertinggal shalat Id atau berhalangan untuk melaksanakannya berjamaah, diperbolehkan shalat dua rakaat berdasarkan pendapat di atas.
Wallahu a’lam