Allah berfirman, sebagaimana termaktub dalam QS Al-Baqarah [2]:256, “Lâ ikrâha fid-dîn, qad tabayyana ar-rusyd min al-ghayy” (Tiada paksaan dalam beragama, sungguh telah jelas [beda] antara yang benar dan yang sesat).
Mengenai sebab turunnya ayat ini, dalam salah satu riwayat dari Ibn ‘Abbas, yang termaktub dalam Tafsir ath-Thabari dijelaskan, bahwa ada seorang lelaki Anshar dari Bani Salim ibn ‘Auf. Namanya Al-Hashin. Dia punya dua putra, beragama Nasrani, sedang dia sendiri seorang Muslim. Lalu datanglah Al-Hashin seraya bertanya pada Rasululullah, “Tidakkah sebaiknya aku paksa keduanya, sebab keduanya hanya mau memeluk Nasrani?” Kemudian turunlah ayat itu: “Tiada paksaan dalam beragama” (maksudnya, dalam memasuki Islam).
Dari beberapa riwayat tentang asbabun-nuzul ayat itu, sepertinya itulah riwayat yang paling terpegangi. Dalam riwayata as-Suddi, masih dalam Tafsir ath-Thabari, ada tambahan cerita bahwa dua putra Al-Hashin menjadi Nasrani oleh karena “dakwah” dari para pedagang Syam yang waktu itu datang ke Madinah. Lalu Al-Hashin mengadu pada Rasulullah, dan turunlah ayat itu.
Riwayat lain, dari Mujahid, dikatakan bahwa ayat itu turun dalam konteks Bani Nadhir (Yahudi) di Madinah. Bani Aus banyak yang menyusukan anaknya ke para wanita Bani Nadhir. Suatu saat ketika orang tua dari anak-anak yang disusui itu hendak mengambil kembali, anak-anak Aus tak mau dan ingin bersama orang-orang Nadhir, dan memeluk agama mereka (yakni, Yahudi). Para orang tua Bani Aus memaksa anak-anaknya untuk masuk Islam. Lalu turunlah ayat itu.
Walhasil, saya kira sudah mafhum tersepakati, bahwa masuk Islam tidak boleh karena paksaan. Dalam Tafsir Jalalain disebutkan, la ikraha fid-din maksudnya adalah tiada paksaan untuk “masuk” ke dalamnya (ay ‘ala ad-dukhûl fîhi). Jadi, masuk Islam harus dari kesadaran yang bersangkutan, bukan oleh pemaksaan dan tekanan.
Persoalannya kemudian adalah: apakah tiadanya paksaan itu hanya berlaku dalam masuk Islam? Tiadakah kebebasan untuk memilih salah satu sekte dalam Islam, misalnya, antara Sunni dengan Syiah? Kita tahu, di zaman Nabi belum ada sengketa Sunni-Syiah, dan oleh karena itu, memang ihwal ini memerlukan “ijtihad” baru.
Pelu “ijtihad” baru, sebab bila kita bawa tafsir klasik itu ke zaman kini, sejumlah kejanggalan akan kita temui. Fakta yang tampak bertentangan adalah: dalam sejarah kekhilafahan Islam, orang non-Muslim baru bisa dilindungi, diakui agamanya, dan tidak dipaksa untuk masuk Islam, bila mereka membayar jizyah (pajak kepala). Tentu konteks negara ala kekhilafahan zaman dulu tak bisa serta merta kita bawa dalam kondisi kekinian, di negara republik-demokrasi, dimana negara tunduk pada konstitusi dan setiap warga negara setara di hadapan hukum.
***
Pandangan yang saya cenderung padanya adalah bahwa, ayat itu tak hanya berlaku dalam soal larangan pemaksaan dalam “memasuki” agama, melainkan juga larangan pemaksaan dalam “memilih” salah satu sekte dalam agama.
Pertama, ayat itu diawali dengan la linafy al-jinsi, yang dalam kajian gramatika (sintaksis) Arab memiliki fungsi peniadaan. “Tidak” dan “tiada” tentu memiliki implikasi makna berbeda. Jadi, tiada paksaan sama sekali dalam berkepercayaan, bukan saja dalam beragama. “Din” di situ bahkan tak hanya bermakna khusus untuk Islam, melainkan juga kepercayaan lain. Dalam satu riwayat di Tafsir ath-Thabari, juga al-Qurthubi, diterangkan, ayat itu turun melarang kaum Nasrani yang mau memaksan anak mereka ikut Nasrani, sementara anak mereka menginginkan jadi Yahudi.
Kedua, ayat la ikrâha fid-dîn berbentuk ikhbâri (informatif-indikatif), bukan insya’i (berisi perintah atau larangan). Kalimatnya bukan berredaksi, “jangan kalian memaksa”, tapi “tiada paksaan”. Ini menunjukkan, ayat itu bukan saja dimaksudkan untuk melarang tindak pemaksaan, melainkan juga tiadanya pengakuan atas iman seseorang yang muncul karena paksaan. Dalam kata lain, seseorang tidak dianggap beragama jika agamanya itu dipeluk bukan atas dasar kesadaran.
Ketiga, ayat itu bersifat fondasional, menjadi dasar beragama Islam. Ia adalah “undang-undang dasar”. Maka ketika ada hadits yang menyatakan man baddala dînahu faqtulûh (siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia), hadits itu mesti dihadapkan pada ayat “undang-undang dasar” itu. Ini sama dengan tata perundang-undangan di negara kita: peraturan daerah (perda) layak untuk ditinjau ulang bila dianggap bertentangan dengan UUD.
Ayat la ikrâha fid-din itu sendiri adalah ayat yang ‘âm (menyeluruh, tanpa perkecualian). Menurut epistemologi Mazhab Hanafi, ketika suatu ayat bersifat ‘âm, maka dalâlah atau signifikansinya bersifat qath’iy (pasti). Ia tak bisa ditakhsis oleh hadits sebagaimana tersebut tadi.
Keempat, dalam beberapa hal, ekspresi iman itu memang kolektif, tapi pengamalannya tetaplah privat. Tiap orang bisa memiliki persepsi dan tafsir atas imannya sendiri-sendiri. Masing-masing orang bertanggung jawab atas imannya, secara sendiri, dan tak menanggung iman orang lain. “Wakulluhum âtîhi yawm al-qiyâmah farda,” kata QS Maryam [19]:95, “Semua manusia akan mendatangi-Nya dengan sendiri-sendiri.”
Karena itu, seseorang tak bisa memaksakan imannya yang dialami secara privat itu kepada orang lain. “Siapa berkehendak, maka ia (boleh) iman, dan siapa berkehendak, maka ia (boleh) kafir” (QS 18:29).
Lagipula, Tuhanlah yang akan memberi putusan kepada orang itu, bukan orang lain, dan bukan hari ini, tapi nanti di hari kiamat. Manusia tak punya hak untuk memutuskan apakah seseorang akan masuk surga atau neraka. “Sesungguhnya Tuhanmulah yang memberi kata putus antara mereka dalam apa yang mereka perselisihkan” (QS 32:5). Demikian.