Slogan “orang bebas memilih pahamnya masing-masing dalam berislam” jelas sahih adanya. Tetapi, jika suatu paham berislam mulai didakwahkan, dikampanyekan, dipublikkan, orang juga harus membenarkan otoritas public sphere (dalam istilah Jurgen Habermas): sebuah ruang umum yang menjadi milik bersama dan seyogianya hanya diisi dengan nilai-nilai keadaban (civilized values).
Kita tidak fair lagi untuk mengatasnamakan hak pribadi sembari di detik yang sama menafikan kewajiban kepada orang lain dan hak pribadi orang lain pula. Itulah semesta otentis public sphere, yang bukan milik siapa-siapa sekaligus milik siapa-siapa.
Maka ketika seseorang menarasikan paham berislamnya ke ruang publik, media sosial umpama, tepat di waktu yang sama dia harus siap untuk menjadi bagian dari public sphere itu: menerima pujian sekaligus kritik.
Felix Siauw bebas saja mempublikkan pahamnya bahwa muslim sejati akan selalu berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi, dengan tidak mengutamakan (dapat dibaca: menggunakan) akalnya. Ini hanya satu tamsil dari twet publik Felix –segar kita ingat sebelumnya ialah twetnya bahwa nasionalisme tidak punya landasan dalilnya sehingga tidak perlu dibela; atau, dalam analogi umum atas pemikiran-pemikiran Felix, bisa disimpulkan: segala sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya harus ditinggalkan, agar tak jadi bid’ah, agar tak termasuk dhalalah, maka nasionalisme juga adalah bid’ah, yang bila dilakukan menisbatkan dhalalah.
Boleh jadi Felix berlandaskan paham negasi akal dalam berislam yang sejati (kaffah) tersebut pada ayat-ayat akidah. Misal, “….dan Allah lah yang mengetahui dan kalian tidak mengetahui” atau “….adapun orang-orang yang di hatinya menyimpan penyakit maka mereka akan mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat dari al-Qur’an untuk mencari fitnah dan takwilnya dan (padahal) tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah….”, dll.
Ayat-ayat tersebut memang betul ada; secara tekstual juga dimengerti mengarahkan kepada “negasi akal” atau “kritik kepada kuasa akal”. Tatapi, seyogianya siapa pun yang menafsirkan al-Qur’an, termasuk Felix, memahami sejak dini bahwa selalu diperlukan seperangkat metodologi yang memadai –minimal secara ilmiah (keilmuan) bisa didiskusikan, dipertanggungjawabkan—agar penyimpulannya tidak sepenuh-penuhnya otonom-subyektif-tendensius.
Kita tahu, subyektivitas yang tidak dipagari oleh metodologi ilmiah ‘kan rentan menjelma reduksi di satu sisi atau over-klaim di sisi lain. Di titik inilah letak fungsinya ilmu pengetahuan beserta seperangkat metodologi operasionalnya. Dalam istilah Ian G. Barbour, iklim metodologis demikian menjadi rambu-rambu bagi diskusi “researcher community with researcher community”.
Sampai di sini saja, terbukti bahwa akal sangat mutlak diperlukan dalam mengartikan dan menafsirkan teks-teks suci al-Qur’an. Sekali lagi, agar penyimpulannya punya otoritas pertanggungjawaban di public sphere.
Mari telisik lebih jauh problem serius pemikiran Felix tersebut.
Pertama, keberadaan ayat-ayat akidah yang secara literal menumpukan segalanya hanya kepada Allah –sangat rawan ditarik maknanya menjadi reduktif atau simplistis—faktanya tidaklah berdiri sendiri, tetapi berkorelasi integral dengan ayat-ayat lainnya yang setema. Ayat pertama dari surat al-Ikhlas, misal, musykil secara ilmiah dipisahkan dengan surat Ali Imran ayat 6.
Metode tafsir maudhu’i (tafsir tematik) menjelaskan hal ini dengan sangat bernas. Bahwa seorang penafsir seharusnya mengelompokkan terlebih dahulu semua ayat yang memiliki benang merah sejajar, mengimpresikannya, lalu menyimpulkan pesan dasarnya. Dengan metode ini, buah simpulan takkan berdiri sepenggal (menurut ayat ini saja), parsial, tetapi meliputi seluruh makna yang dikandung ayat-ayat setema tersebut. Menjadi (lebih) holistik secara moral-ethic dan komprehensif secara ilmiah.
Jika satu ayat ini, “…mereka akan mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat dari al-Qur’an untuk sekadar mencari fitnah dan takwilnya…”, disimpulkan tanpa pendekatan tematik, dapat dipastikan bahwa al-Qur’an adalah sepenuh-penuhnya teks tertutup. Dilarang menafsirkan. Pasrah saja sama bunyi teksnya. Jauh-jauh waktu sebelum munculnya Felix, Mohammed Arkoun telah mengkritisi tabiat “menutup al-Qur’an” itu dengan ungkapannya yang amat terkenal, “Teks-teks al-Qur’an adalah korpus terbuka”.
Pola tertutup demikian jelas sangat problematis. Di satu sisi berisiko menjadikan al-Qur’an tidak mampu menjawab pergerakan dinamika zaman yang melingkupi kehidupan umatnya (kehilangan mukjizat rahmatan lil ‘alamin-nya) dan sisi lain akan banyak sekali ayat yang menjadi bertentangan satu sama lainnya. Mustahillah kita mengatakan al-Qur’an adalah kumpulan teks yang bermasalah pada dirinya sendiri, bukan?
Ini contohnya: “Tidaklah terjadi suatu musibah di bumi dan diri kalian kecuali telah dituliskan sebelumnya di dalam kitab (Lauh Mahfidz)….” versus “Sesungguhnya Allah takkan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mengubah keadaannya sendiri….” dan “Janganlah kalian berputus asa dari pertolongan Allah, sesungguhnya takkan berputus asa dari petolongan Allah kecuali kaum yang kafir.”
Ayat pertama mengesankan segala apa yang terjadi pada kita adalah mutlak given, tetapi ayat berikutnya mengesankan bahwa Allah akan sejalan dengan usaha kita dalam mengusahakan kebaikan hidup kita sendiri. Apa yang terjadi pada kita adalah taken. Contradictio in terminis, niscaya akan kacaulah al-Qur’an bila didekati dengan cara parsial demikian.
Kedua, al-Qur’an sendiri dalam surat Ali Imran ayat 6 menyatakan bahwa di dalamnya terdapat ayat-ayat mutasyabihat (samar, tidak mutlak maknanya). Dalam studi Ushul Fiqh, sebuah ilmu metodologi pembentukan hukum Islam (fiqh), sebutlah dari khazanah klasik karya Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, ayat-ayat mutasyabihat dikelompokkan sebagai ayat-ayat yang selalu terbuka maknanya untuk digali dan terus diperdalam. Ibarat sumur, makin digali akan makin melimpah airnya, maknanya.
Sebutlah misal ayat “politik Islam” –meski istilah ini cukup rancu. Ada ayat yang menyatakan: “Siapa yang tidak menegakkan hukum berdasar hukum Allah maka mereka bagian dari orang kafir”. Inilah salah satu ayat yang dijadikan landasan oleh Imam al-Mawardi hingga Abul A’la al-Maududi dalam mewajibkan penegakan negara Islam, khilafah islamiyah. Felix, kita semua tahu, bersama bendera HTI-nya, berada di posisi politis-ideologis yang sama.
Bagaimana memahami dan mewujudkan format “negara Islam” itu? Siapa yang memilih khalifahnya? Bagaimana cara mengontrol khalifah agar selalu selaras dengan kemasalahatan? Bukankah khalifah juga manusia yang tak serta merta steril dari hawa nafsu, sebutlah misal Abu Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan?
Apakah mekanisme pemilihan khalifah akan menggunakan model ahlul halli wal aqdi ala pemilihan khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq? Ataukah model penunjukan aklamasi yang didaulatkan pada Umar bin Khattab? Ataukah model warisan sebagaimana diperagakan Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Abu Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan?
Lalu apakah diperkenankan adanya dua atau tiga khalifah sekaligus di waktu yang sama? Apakah benar disahihkan untuk membunuh khalifah yang dibentuk belakangan atas nama bighat dan kharaja ‘anil tha’at?
Di sisi lain, dalam al-Qur’an, juga terkandung banyak ayat yang menyerukan prinsip ta’awun, ukhuwah, musyawah, syura, kalimatun sawa’, tahkim, dll., yang mengindikasikan kepada musyawarah mufakat ala-ala demokrasi (catat: demokrasi yang sepantasnya demokrasi).
Apakah UUD dan segala peraturan positif di negara kita tidak sahih dinyatakan sebagai kalimatun sawa’, yang lahir dari mekansime syura? Apakah aparat hukum legal-formal kita bukanlah representasi dari tahkim itu? Apakah presiden kita bukanlah representasi dari ulul amri minkum?
Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut merupakan segelintir belaka dari jawaban-jawaban yang seyogianya dipertanggungjawabkan oleh Felix atas konsekuensi statemen yang menegasi akal di hadapan teks-teks al-Qur’an.
Ketiga, al-Qur’an diturunkan untuk seluruh semesta; al-Qur’an adalah kitab hudzan linnas terakhir yang berlaku universal. Narasi ini tidaklah mungkin disangkal kebenarannya oleh siapa pun.
Universal artinya meliputi segalanya, secara tema kandungan sekaligus cakupan wilayah dan masanya. Keyakinan akan universalitas al-Qur’an mengandung konsekuensi bahwa al-Qur’an selalu mampu menjawab segala dinamika kehidupan yang berkembang dalam setiap masa dan wilayah umatnya. Mau di Madinah era Husein bin Ali, Syiria era Umar bin Abdul Aziz, Irak era Harun ar-Rasyid, Turki era al-Fatih dan Erdogan, Australia era Nadhirsyah Hossein, Amerika era Ahmad Sahal, ataupun Indonesia era Savic, Rumail Abbas, dan Felix. Tanpa kecuali!
Pertanyaan dikotomisnya buat Felix di titik ini lalu menjadi begini:
Satu, apakah ayat-ayat al-Qur’an menguniversal dengan dirinya sendiri, literal, tekstual, bayani, sehingga siapa pun yang menghadapi suatu persoalan kekinian di lingkungnnya otomatis tinggal menggayung hukumnya, tanpa perlu besutan nalar?
Jawabannya jelas tidak.
Satu contoh saja: bagaimana hukum jilbab model pasminah dan paris yang menjadi fenomena dalam masyarakat muslimah kita? Di al-Qur’an tidak tersedia ayat, juga hadits, yang menjelaskan model-model jilbab dan hijab demikian dengan cara langsung mengambilnya semudah menuang air dari teko. Itu artinya dibutuhkan penafsiran yang terus bergerak dinamis sesuai dinamika kehidupan umat Islam sendiri. Itu artinya dibutuhkan seperangkat ilmu tafsir yang otoritatif, dibutuhkan jejalah nalar alias akal sehat.
Dua, maka bagaimana cara menjadikan al-Qur’an sesungguh-sungguhnya kitab hudzan linnas yang universal, berlaku di mana pun dan kapan pun, sampai akhir zaman? Bagaimana cara menguniversalisasikan kandungan-kandungan al-Qur’an dalam kehidupan riil kita, dengan latar budaya, tata sosial, politik, dan tradisi yang tanpa ampun selalu dinamis-majemuk?
Al-Qur’an harus diuniversalisasikan agar benar-benar universal cakupannya. Dan itu, lagi-lagi, harus diampu oleh seperangkat ilmu pengetahuan yang otoritatif dalam hal metode tafsir, musthalah hadits, ushul fiqh, hingga ilmu-ilmu antropologi, sejarah, sosiologi, kedokteran, kesehatan, biologi, bahkan matematika.
Lalu, dengan statemen-statemen tersebut, masihkah kita akan tergesa mengatakan untuk menjadi muslim yang kaffah, muslim yang senantiasa mengikuti petunjuk al-Qur’an dan sunnah Nabi, harus meninggalkan akal?
Niscaya kita mafhum betapa negasi akal setamsil dengan negasi universalitas al-Qur’an. Negasi akal hanya menghadiahkan parsialitas, kejumudan, kebekuan, ketertinggalan, dan bahkan hegemoni eksklusivitas. La dina liman la aqla fih. Tidak ada agama bagi yang tidak (menggunakan) berakal.
Jogja, 29 Juni 2017
Edi AH Iyubenu, M.Ag., staf Lajnah Ta’lif wa Nasyr (LTN) PWNU DIY dan Mahasiswa Doktoral UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. @edi_akhiles