Ada perbedaan antara orang yang menahan diri dari lapar dan haus dengan orang yang belajar mengendalikan syahwat di bulan Ramadhan. Orang yang sekedar menahan lapar dan haus, meskipun telah berlapar-lapar dan haus, syahwatnya sejatinya tetap mendesak-desak.
Jika syahwat diumpamakan anjing hitam besar, saat berpuasa anjingnya hanya dikandangkan tapi tetap dengan liur yang menetes di pinggir mulutnya. Sifat kebuasannya hanya ditahan-tahan, tetap berbahaya, bahkan bisa jadi lebih berbahaya lagi. Begitu tiba berbuka, anjing besar hitam itu lantas menjadi buas menerkam sebab yang ditahannya hanya lapar dan haus bukan mengendalikan syahwatnya.
Puasa yang seperti ini, tidak hanya memindahkan jadwal waktu makan, tapi malah justru menjadi alasan untuk menikmati berbagai macam makanan dengan harga lebih mahal dari bulan-bulan biasanya. Jika demikian yang terjadi, artinya kita gagal belajar mengendalikan syahwat. Kerinduan dan perayaan kita di bulan Ramadhan hanyalah berupa sesuatu yang mudah surut, bukan menarik himmah ke tingkat yang lebih tinggi.
Sedangkan untuk orang yang menyadari bahwa puasa adalah untuk mengendalikan syahwat, mereka tidak terlalu memusingkan lapar dan haus, karena sibuk menahan matanya, lidahnya, telinganya, bahkan mungkin lintasan hati dan pikirannya sepanjang Ramadhan.
Hal yang mereka pusingkan adalah, “Apakah puasa saya bisa membuahkan ridha Allah swt. sampainya akhir Ramadhan? Apakah puasa saya bisa membuahkan taqwa dan mengembalikan saya ke kondisi fitrah diawal syawal?”
Mereka yang seperti ini tetap berpuasa setelah berbuka. Dalam arti tetap berusaha mengendalikan syahwatnya. Mereka juga makan tapi secukupnya. Mereka terus menjaga mata, lidah, tangan, kaki, juga lintasan hati dan pikirannya agar tetap bisa menjaga himmah yang dianugerahkan padanya.
Mereka senantiasa menjaga kondisinya juga mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa mengganggu puasanya di siang hari. Jika mendapati sesuatu yang kurang, mereka beristighfar dan bertekad memperbaikinya esok hari. Begitu seterusnya sampai mereka tiba di awal syawal.
Berbuka, berasal dari akar kata yang sama dengan fitrah, dalam arti kembali ke asal penciptaannya. Orang yang kembali dalam keadaan fitrah, diumpamakan bayi yang baru lahir. Setiap bayi lahir tanpa tendensi pribadi, kosong dari ambisi, atau tujuan-tujuan tertentu untuk kepentingan pribadi.
Bayi lahir dalam keadaan suci dalam arti berada dalam kepasrahan sepenuh atau menjadi muslim seutuhnya. Dengan demikian, setelah belajar mengendalikan nafsu dan syahwat ketika berpuasa, ketika berbuka, kita semestinya telah dikembalikan ke kondisi yang kosong dari ego, hanya menyisakan kehendak-Nya atau dalam arti kembali suci. Kondisi kesucian atau kefanaan dari ego inilah yang menjadi titik incar di akhir Ramadhan, ketika kita tiba di hari raya Idul Fitri.
Itu berarti, selain berusaha mengendalikan syahwat, puasa juga mendidik kita mengendalikan hawa nafsu. Belajar menghindar dari godaan Iblis yang perangkap utamanya adalah kesombongan yang berjaringkan, “Aku lebih baik darinya.”
Itu berarti, ketika berpuasa kita juga berusaha melatih nafs untuk tetap merendah atau tawaddhu; berhenti memandang remeh orang lain, takabbur, ujub, atau memperbudak orang lain. Ini lebih berat dari mengendalikan syahwat sebab hawa nafsu bekerja dengan sangat halus dalam lintasan hati dan pikiran.
Kita mungkin merasa bersalah jika memperturutkan syahwat tapi ketika memperturutkan hawa nafsu, kita kadang bahkan tidak menyadarinya sehingga terkadang mengaku salah apalagi bertobat sekalipun, kita tertutupi.
Dengan demikian, puasa yang utama bukan hanya soal lapar dan haus tapi juga belajar mengendalikan hawa nafsu dan syahwat. Masih ada belasan hari sebelum Ramadhan berakhir. Jika Allah menghendaki, semoga kita bisa dikembalikan dalam keadaan fitrah di awal syawal. Jadi sekalipun makan dan minum telah dibolehkan, semoga kita tetap bisa berpuasa. Tetap berpuasa, disampai semoganya kita dalam Jannatin Aliyah atau ketika bertemu dan menatap wajah-Nya yang Maha Mulia. Semoga kita terus dianugerahi kerinduan.
Wallahu a’lam.