Terorisme Bersumber dari Fanatisme, Bukan Keimanan

Terorisme Bersumber dari Fanatisme, Bukan Keimanan

Di Indonesia, benih-benih paham terorisme sangat dimungkinkan tumbuh subur sebab adanya paham dan habibat yang dapat menghidupinya, ini bisa dilihat misalnya melalui aspek puritanisme dalam beragama.

Terorisme Bersumber dari Fanatisme, Bukan Keimanan
Polisi sedang membersihkan sisa-sisa bom di Kampung Melayu, Jakarta.

“Akar dari terorisme memerlukan tanah untuk hidupnya, dan kesuburan tanah tersebut memberikan pengaruh langsung terhadap kesuburan pohon terorisme. Tanah yang subur itu adalah lingkungan masyarakat fundamentalis (ekstrem), yang merupakan habibat, sehingga terorisme selalu timbul tenggelam dalam sejarah kehidupan umat manusia”. Begitulah kira-kira satu cuplikan penting dari buku karya A.M. Hendropriyono, mantan kepala BIN, berjudul “Terorisme”.

Ibarat sebuah tanaman, terorisme di Indonesia telah menjadi tanaman yang tumbuh subur. Patah tumbuh, hilang berganti. Setelah kejadian penyandraan yang berakhir pembunuhan oleh sebagian napi teroris di Rutan dekat Mako Brimob, Depok, Jawa Barat beberapa waktu yang lalu. Belum selesai duka cita akibat insiden penyandraan itu, pada minggu pagi telah terjadi fenomena mengejutkan tentang aksi pengeboman tiga Gereja di Surabaya.

Kini kita menjadi sadar betapa masih ada “pengantin-pengantin” (calon pelaku bom bunuh diri) lain yang bergentayangan dan masih menghirup udara bebas. Ini menunjukkan bahwa tidak ada jaminan langkah mereka akan berhenti begitu saja. Dengan demikian, semua pihak mengimbau agar pemerintah dan masyarakat tidak lengah dengan tumbuh-suburnya terorisme.

Menurut Zuhairi Misrawi, terorisme bukan persoalan pelaku. Terorisme lebih terkait pada keyakinan teologis. Artinya, pelaku bisa ditangkap kapan saja dan di mana saja, bahkan dibunuh, tetapi keyakinannya tidak mudah untuk ditaklukkan. Sejarah membuktikan, usia keyakinan tersebut seumur usia agama itu sendiri. Misalnya, pada zaman Nabi, ada kelompok-kelompok yang taat beribadah, tetapi gemar melaksanakan aksi kekerasan. Hingga hari ini, ada banyak kelompok yang juga menawarkan ketaatan di satu sisi dan kekerasan di sisi lain.

Jika fanatisme beragama muncul akibat absennya kebebasan di ruang publik, maka terorisme adalah kepanjangan dari itu. Fanatisme merupakan kekakuan cara beragama, ia sekurang-kurangnya ingin menampilkan seluruh aspirasi berlandaskan pada sikap religiusitas dan menunjukkan bahwa hanya keyakinannyalah yang dapat menjawab semua problem kontemporer. Dalam bentuknya yang paling ekstrem, fanatisme ini akan terjerumus pada tindakan terorisme.

Gagasan ini bukan sekedar omong kosong belaka. Sebab terorisme itu sebuah jejaring yang sangat luas dan strategis, ia bukan hanya gerakan nasional, tetapi juga trans-nasional yang melingkupi segala arah. Fenomena penyandraan yang terjadi di Rutan dekat Mako Brimob, sangat mungkin memiliki keterkaitan dengan apa yang baru saja terjadi dalam peristiwa Bom bunuh diri di tiga Gereja Surabaya pada Minggu pagi. Peristiwa bom bunuh diri itu juga boleh jadi memiliki keterhubungan dengan jaringan terorisme internasional, seperti ISIS, al-Qaeda atau kelompok teroris lainnya.

Secara teologis, sikap fanatisme beragama bukan berangkat dari keimanan, sebab keimanan lebih merupakan kecenderungan untuk percaya yang memiliki orientasi tertentu dan selalu mengarah pada sikap religiusitas serta fitrah keberagamaan. Fanatisme lebih cocok disebut bentuk kepercayaan yang dikendalikan oleh sistem ideologi tertentu, yang memiliki karakter merusak, sebagaimana seseorang yang terjebak pada tindakan terorisme.

Dan lagi, aksi terorisme dipahami sebagai suatu tindak kejahatan yang dilakukan terhadap sasaran yang tidak terbatas, yaitu siapa saja walaupun tidak tersangkut ataupun tidak tahu menahu mengenai hal yang dipermasalahkan oleh pelaku terorisme. Aksinya tidak terbatas sebab dalam waktu yang berdekatan, atau bahkan bersamaan, pelaku teroris itu dapat secara langsung melakukan tindakan kejahatan di tempat yang berbeda.

Di Indonesia, benih-benih paham terorisme sangat dimungkinkan tumbuh subur sebab adanya paham dan habibat yang dapat menghidupinya, ini bisa dilihat misalnya melalui aspek puritanisme dalam beragama. Indikasi tentang masalah ini sangat mudah diamati, seperti adanya klaim-klaim sesat, murtad dan kafir terhadap orang atau kelompok yang tak sepaham dan dianggap keluar dari pakem keyakinan mereka.

Tindakan terorisme tidak memiliki batasan moral dan sasaran. Sesuatu yang sangat penting bagi kelompok teroris adalah mereka dapat mencapai tujuan, tak peduli siapa dan seberapa banyak korban untuk tujuan itu. kelompok teroris menganggap sasaran tak ubahnya seperti barang, yang mudah dihilangkan dan dijadikan korban demi sesuatu yang mereka yakini secara meta-empirik.

Dalam konteks historis, tujuan para pelaku terorisme sangat beragam, di antaranya demi keuntungan ekonomi, memperoleh gengsi sosial, memaksakan ideologi, penafsiran agama atau eksploitasi keyakinan, kekuasaan, dominasi kultural, ataupun pemaksaan cara pandang terhadap agama. Dalam beragam motifnya, tindakan terorisme tetap merupakan sebuah aksi anti-kemanusiaan dan boleh dikata mereka sangat anti-Tuhan.

Lalu apa upaya-upaya yang paling signifikan menumpas mereka? Bukankah sangat sulit menumpas sistem ideologi? Mereka ada di mana-mana dan sewaktu-waktu dapat melakukan aksi-aksi terorisme secara tidak terduga. Paling tidak, jumlah mereka sangat sedikit. Dalam banyak hal, mereka sangat lemah dan aksi-aksi kejahatan yang mereka lakukan telah menunjukkan kegagalan dalam beragama dan bentuk frustasi yang begitu mendalam.

Upaya dialog tentu harus terus dilakukan, sebab dialog akan membawa kesepahaman bersama tentang satu pandangan yang dapat dibagi dan diterapkan dalam kehidupan beragama di tengah pluralitas dan keragaman. Selain itu, pelaku-pelaku terorisme tetap harus ditumpas, jika sedikit demi sedikit pelaku teror dapat ditangkap dan diadili, kelompok mereka akan semakin lemah, dan tentunya akan semakin mengikis eksistensi ruang gerak mereka.

Ideologi memang harus dilawan dengan ideologi, pemikiran juga harus dilawan dengan pemikiran. Sepadan dengan itu, ancaman fisik juga harus dibentengi dan dikawal oleh aparatur negara. Sebab tidak ada yang dapat menjamin bahwa masyarakat dapat benar-benar merasa aman kecuali keberadaan mereka dilindungi dan dijaga oleh otoritas yang memiliki kemampuan untuk menjaganya, seperti TNI, Polri dan bahkan BIN yang sejauh ini menjadi benteng utama dalam ketahanan nasional.

Masyarakat secara internal juga dihimbau untuk tak boleh lengah, bersama pemerintah mari kita jaga negeri ini dari semua ancaman dan kejahatan yang membahayakan semuanya. Kita harus sadar bahwa kelompok teroris ini sangat lemah, dan sudah sepatutnya kita tak boleh merasa takut. Sebab ketakutan dapat menjadi bukti bahwa mereka-dalam sebagian misinya-telah merasa sukses membangun perspeksi di tengah masyarakat tentang rasa ketidakamanan dan ancaman yang nyata.

Rohmatul Izad. Mahasiwa Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.