Riba bisa terjadi akibat adanya proses pertukaran barang ribawi sesama jenis dengan tanpa adanya wasilah berupa harga. Ketika terjadi barter semacam ini, syariat mensyaratkan bahwa pertukaran itu harus memenuhi tiga unsur, yaitu: tamatsul (sepadan dan sejenis), taqabudh (saling serah terima) dan hulul (kontan). Tapi tahukah anda bahwa ada pertukaran barang ribawi sejenis yang diperbolehkan oleh syariat? Apa itu?
Jika anda telusuri di kitab-kitab fikih turats, anda akan menemukan istilah bai’ araya. Bai’ ‘Araya adalah:
بيع العرايا: (مصطلحات) أن يشتري رجل من آخر ما على نخلته من الرطب بقدره من التمر تخمينا ليأكله أهله رطبا
Artinya:
“Jual beli araya (secara istilah), adalah jual beli yang dilakukan oleh seseorang dengan jalan membeli kurma hijau (ruthab) milik pihak lainnya ditukar dengan kurma kering untuk kebutuhan makan keluarganya.” (Mu’jam al-Ma’any)
Jadi, suatu ketika ada orang yang membutuhkan kurma kering untuk kebutuhan makan bagi keluarganya. Ia tidak memiliki sesuatu apapun selain kurma yang masih hijau di atas pohon. Lalu ia menghubungi saudaranya yang memiliki kurma kering untuk melakukan transaksi tukar menukar dengannya. Kurma kering ditukar dengan kurma yang masih dipohon.
Karena kurmanya masih dipohon, sudah barang tentu kaidah tamatsul (kesamaan dari sisi berat) tidak bisa dipenuhi. Apalagi, salah satunya masih berupa kurma basah. Maka dilakukanlah suatu cara untuk melakukan pendekatan terhadap kaidah wajib tamatsul (sama dari segi ukuran tersebuy). Caranya? Memakai statistik dengan standart error yang diminiminalkan. Emangnya ada di jaman nabi kaidah statistik itu? Jawabnya adalah ada. Perhatikan bunyi hadits berikut ini!
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رضي الله تعالى عنه: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ رَخَّصَ فِي الْعَرَايَا: أَنْ تُبَاعَ بِخَرْصِهَا كَيْلًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya:
Dari Zaid bin Tsâbit radliyallahu ‘anhu: Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memberi keringanan dalam Jual Beli Araya, yaitu: Jual beli dengan melakukan kharsh takaran.”(HR: Bukhari dan Muslim)
Kharsh dalam istilah ilmu hitung sering dimaknai dengan menaksir, dan mengira-ngira. Yang dikira-kira adalah kurma muda yang masih ada di pohon. Hadits ini memiliki jalur sanad sahabat Zaid ibn Tsabit. Beliau terkenal sebagai pakar ilmu hisab di jaman Nabi Muhammad SAW.
Dengan taksiran ini, ternyata Nabi membolehkan pertukaran barang ribawi sejenis namun beda kondisi dan takaran tersebut. Padahal keduanya jelas merupakan bentuk transaksi riba. Nah, aneh, bukan? Mungkin akan ada di antara pembaca yang menjawab: “Ah…Itu kan sudah dinash oleh Nabi dan merupakan rukhshah untuk kita.”
Jawaban ini jelas merupakan jawaban yang benar. Tapi, yang harus kita ingat adalah, jual beli ‘Araya adalah masuk bab fikih muamalah. Artinya, ada peluang untuk masuknya ruang akal. Bagaimana ruang akal tersebut memasuki dialektika di atas?
Nabi SAW, ternyata tidak membiarkan bahwa jual beli ‘araya itu bergerak tanpa batas. Beliau menyampaikan batasan kebolehan bermuamalah dengan jual beli araya. Sabda Nabi:
وعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله تعالى عنه: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ رَخَّصَ فِي بَيْعِ الْعَرَايَا بِخَرْصِهَا من التَّمر، فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ، أو فِي خَمْسَةِ أَوْسُقٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya:
“Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu: Rasulullah SAW telah menetapkan keringanan jual beli araya dengan jalan menaksir seberat kurma kering, dengan catatan beratnya tidak lebih dari 5 awsuq. ” (HR: Bukhari dan Muslim)
Kurma yang diperbolehkan untuk dilakukan penaksiran beratnya adalah tidak lebih dari 5 awsuq. Batasan 5 awsuq ini ibarat merupakan ada tas’ir (penetapan harga oleh Nabi) sehingga masuk riba yang ditoleransi.
Yang lebih unik lagi adalah, ternyata jual beli tetap mendapat legalitas di yurisprudensi Islam. Jadi, apa kira-kira yang menjadi illat dibolehkannya riba kecil ini? Mungkin, jawabnya adalah bahwa kurma kering merupakan bahan makanan pokok. Sebagai bahan makanan pokok, ia menduduki posisi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat umum (hajat dlarurat). Dengan demikian, kurma kering seolah menempati maqam:
الحاجة العامة تنزل منزلة الضرورة الخاصة
Artinya:
“Kebutuhan umum itu menempati derajat keterpaksaan / dharurat khusus.”
Nah, sampai di sini, bagaimana kira-kira bila ibarat ini dipergunakan di kalangan akademisi pegiat Ekonomi Syariah untuk menetapkan status riba perbankan? Mungkinkah diadopsi?