Tentang Dakwah dan Menghidupkan Sunah

Tentang Dakwah dan Menghidupkan Sunah

Berdakwah dan menghidupkan sunah nabi adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan di dalam kehidupan umat Islam. Namun belakangan banyak di antara umat Islam yang kurang tepat memaknai kedua term tersebut.

Tentang Dakwah dan Menghidupkan Sunah

Tempo hari lepas sembahyang Maghrib di selasar sebuah Masjid, seseorang menghampiri saya dengan terlebih dahulu mengenalkan dirinya. Sebut saja Risman asal Banyumas. Perawakannya tidak terlalu pendek dan tidak tinggi-tinggi amat. Kebetulan lokasi Masjid itu berada di bilangan Klaten Selatan. Tumpah darah saya.

Sebelumnya, seorang kawan mengabarkan bahwa kurang lebih ada sembilan “missionaris” yang baru saja mukim untuk beberapa hari kedepan di Masjid. Dan Risman itu salah satunya. Yang jelas sembilan orang itu sedang dalam kepentingan—mereka, lewat Risman menyebutnya— jaulah.

Sementara, di dalam Masjid terdapat seorang lainnya yang sedang menyampaikan materi keagamaan seputar pentingnya iman dan menghidupkan sunah-sunah Rasulullah SAW. Awalnya saya sempat tertegun dibuatnya.

Pasalnya, saya mendapati sebuah ceramah keagamaan itu dirapalkan meski tidak nampak satu pun jamaah di sana. Mirip dengan orang yang sedang gladi untuk suatu keperluan khotbah, Pildacil, dan sejenisnya. Sedangkan tujuh orang lainnya lagi berdakwah di rumah-rumah warga setempat, dari pintu ke pintu, untuk menyampaikan apa yang mereka sebut sebagai kebenaran hqq.

Namun ketertegunan itu, ntah kenapa tiba-tiba berubah menjadi sebuah kegelian kaffah, sesaat setelah pria dengan atribut gamis serta jenggot yang menjulur hingga pangkal lehernya dan menghampiri saya itu tadi mengkonfirmasi. Bahwa, ada dan tidak ada jamaah itu ndak penting. Yang penting adalah kita harus tetap berdakwah.

Dia mengatakan, bahwa yang hidup di dunia ini toh bukan hanya manusia saja. Ada Malaikat, Jin, Setan, hewan bahkan pohon yang harus kita dakwahi.

“Jadi, di Masjid itu kan ada banyak Malaikat juga tho mas. Itu juga harus kita dakwahi. Mereka pasti mendengar. Pohon-pohon juga. Sebab itu, kalau melihat ada orang yang sedang bicara dengan pohon, itu berarti dia sedang mendakwahi pohon itu untuk beriman kepada Allah SWT” terangnya.

Sejujurnya, soal yang hidup di dunia ini toh bukan hanya manusia saja dan kita sebagai makhluk yang paling sempurna, saya sangat setuju. Bahwa Malaikat—dan mungkin makhluk transendental lainnya—mendengar apa yang kita ucapkan, itu barangkali iya.

Tapi untuk intervensi asbab iman tidaknya makhluk (selain manusia) kepada Tuhan, sepertinya nanti dulu. Masak iya, Malaikat yang jelas-jelas sam’an wa tho’atan kepada Tuhan itu kita wejangi urgensi keimanan. Mau dikemanakan realitas QS. Al-Baqarah [2]: 30-32.

Sejurus kemudian, untuk menjustifikasi apa yang telah disampaikan itu, dia menghadirkan sebuah analogi.

“Konon di suatu tempat ada dua pohon. Yang satu rindang, sedang pohon satunya lagi gersang. Pada pohon yang rindang itu tinggal seekor burung. Dan burung itu tadi secara rutin menyambangi pohon yang gersang dengan membawa sejumlah buah”, tuturnya.

Suatu saat, lanjut dia, ada pemuda yang terheran dengan pemandangan ganjil itu. Setelah ditelusuri, ternyata di bawah pohon yang gersang itu tadi hidup seeokor ular. Dan itulah yang katanya menjadi asbab rezeki si ular sehingga bisa melangsungkan hidup melalui buah yang rutin dihantarkan oleh seekor burung tadi.

“Nah, kita sebagai manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang sempurna, karena diberi akal semestinya bisa menjadi asbab itu tadi. Asbab apa? Salah satunya asbab mendakwahkan kebenaran sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah dan sunah-sunahnya”, tegasnya.

Selain itu, dia juga tak lupa untuk mengingatkan saya bahwa kita sedang berada di akhir zaman genap dengan dalil-dalil yang ia rangkai secara lupa-lupa ingat dan random.

“Karena itu agar menjadi golongan yang selamat kita harus menghidupkan kembali sunah-sunah Nabi. Dan satu-satunya cara yaitu hanya dengan berdakwah dari pintu ke pintu. Masjid ke masjid”, pungkasnya.

Ok fine, zaman mungkin sudah akhir. Sehingga ada seekor reptil makan buah menjadi sesuatu yang masuk akal dan paripurna.

Lagian, gerangan apa sih yang sejak tadi dimaksud dengan menghidupkan sunah-sunah Nabi? Dan apa pula dakwah itu?

Saya belakangan justru khawatir jika pemaknaan akan sunah Nabi dipahami sebagai apa-apa yang yang sifatnya artifisial belaka. Dan dengan begitu, sementara Piala Dunia telah mengenal teknologi VAR dan kita yang sejak dulu dianugerahi pepohonan rindang dengan sungai yang mengalir dibawahnya, seolah dituntut agar bergaya hidup selaras 14 abad lalu di sebuah belahan bumi Arabia.

Memang, dakwah merupakan sesuatu yang fundamental. Karena dengannya ajaran akan bisa tersampaikan. Benar pula jika Kanjeng Nabi pun bersabda bahwa balighu anni walau aayah. Namun dakwah yang seperti apa yang dikehendaki beliau?

Yang pasti dan sejak awal perlu untuk dicamkan adalah iqra’, wahyu yang pertama-tama diterima Kanjeng Nabi. Dan iqra’ pastinya meniscayakan adanya kecermatan dan daya kritis yang cukup. Sehingga dari situ akan benar-benar paham dan tidak asal njeplak apa sesungguhnya yang menjadi kebutuhan masyarakat dan sisi mana yang perlu dibenahi dan bahkan dilengkapi.

Pendek kata, baiklah kalau mau balighu anni walau aayah dan/atau menghidupkan sunah, tapi pliss menjaga dan menghidupi istri serta anak-anak di rumah itu juga tak kalah wajib dengan berdakwah. Kecuali kalau memang belum punya istri, heuheu….

Wallahhu a’lam.

Anwar Kurniawan, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.