Rekomendasikan Pelarangan Dakwah Kelompok Wahabi, Pertanda Kemunduran Dakwah NU?

Rekomendasikan Pelarangan Dakwah Kelompok Wahabi, Pertanda Kemunduran Dakwah NU?

Selama ini, NU selalu menjawab tantangan kelompok Wahabi dengan elegan, mengapa LD PBNU sampai memerlukan pemerintah untuk melawan mereka?

Rekomendasikan Pelarangan Dakwah Kelompok Wahabi, Pertanda Kemunduran Dakwah NU?
Rekomendasi eksternal dari LD PBNU agar pemerintah melarang penyebaran kelompok Wahabi di Indonesia banyak menuai kritik.

Salah satu poin rekomendasi eksternal Lembaga Dakwah PBNU kepada pemerintah untuk melarang kelompok Wahabi menyebarkan paham keagamaannya di Indonesia mendapat banyak respon dari khalayak umum. Di dunia maya, ulama dan akademisi yang aktif bermedia sosial banyak yang menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap rekomendasi itu.

Ada yang mengatakan Wahabi sebaiknya diayomi. Ada yang mempertanyakan komitmen NU terhadap isu toleransi yang sering digaungkan. Hingga ada yang mengingatkan bahwa keputusan tersebut dapat mencederai nilai demokrasi dan dapat mengarah kepada otoritarianisme.

Tanpa mengurangi hormat kepada para kyai yang ada di LD PBNU, saya pribadi menilai rekomendasi tersebut bisa jadi pertanda kemunduran LD PBNU dalam kontestasi dakwah Islam di Indonesia. Mengapa? Sepanjang sejarah perdebatan paham keagamaan antara NU-Wahabi, ulama dan cendekiawan NU selalu meladeni argumen dan upaya kelompok Wahabi menyebarkan pemahaman keagamaan mereka dengan cara yang elegan. Melawan argumen dengan argumen, membalas karya dengan karya.

Sebut saja, misalnya, ketika pendakwah Wahabi menyerukan “perang” terhadap virus TBC (Tahayul, Bid’ah, Churafat/Khurafat), apa yang dilakukan ulama dan cendekiawan NU? Mereka meresponnya dengan menggali kitab-kitab karya ulama terdahulu dan berhasil menunjukkan bahwa tuduhan Tahayul, Bid’ah dan Khurafat dari Wahabi itu tidak benar. Mereka dengan lihai melawan argumen dengan argumen yang ciamik. Bahkan banyak karya dari ulama dan cendekiawan NU akhirnya muncul untuk merespon tuduhan dari kelompok Wahabi.

Contoh lainnya, ketika penggunaan media digital di Indonesia melejit dan berkembang pesat. Saya pernah membaca tulisan Mas Savic Ali tentang alasannya mendirikan website islami.co ini. Dalam tulisan yang berjudul Kenapa Aku Bikin Islami[dot]co, beliau mengungkapkan satu kegelisahannya melihat banyaknya situs keislaman yang sarat pretensi dan provokasi. Kegelisahan itulah yang akhirnya mendorong beliau untuk membuat situs keislaman yang menyebarkan nilai-nilai Islam dengan ramah, bukan marah.

Tak dapat dipungkiri, kelompok Wahabi dengan sokongan dana yang fantastis selalu berhasil mencuri start dalam hal kreativitas dakwah. Mereka menawarkan pembangunan masjid yang bagus, membuat postingan media sosial yang menarik, hingga menggelar event-event yang memukau khususnya bagi kalangan remaja. Mereka cukup pintar dalam meraih simpati umat Islam melalui dakwah kreatif yang sebelumnya tidak pernah dijumpai umat Islam di Indonesia.

Karena itu, dengan adanya rekomendasi kepada pemerintah untuk melarang penyebaran Wahabi membuat saya bertanya-tanya. Apa yang terjadi? Apakah ulama NU yang ada di LD PBNU mau mengibarkan bendera putih dalam upaya melawan kreativitas dakwah kelompok Wahabi? Ataukah malas untuk berkreasi? Saya berharap jawaban dari dua pertanyaan itu adalah “Tidak!”.

Sungguh saya pribadi menyayangkan adanya rekomendasi itu. Padahal, jumlah santri NU dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni sangat banyak. Para santri yang berusia muda juga masih on-fire untuk mendakwahkan Islam dengan ramah dan kreatif. Mereka pasti siap menjadi garda terdepan untuk membentengi Indonesia dari pemahaman keagamaan yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Selain itu, ada satu hal menarik lainnya yang saya temukan. Selain rekomendasi eksternal, Rakernas LD PBNU tahun ini juga menghasilkan rekomendasi internal. Salah satu poin dalam rekomendasi internal tersebut berisi:

“Merekomendasikan kepada semua elemen di Nahdlatul Ulama, khususnya para da’i, mubaligh, ustadz, kiai dan pimpinan majelis taklim untuk mendorong moderasi beragama sebagai gerakan dakwah maupun gerakan sosial. Dalam hal ini, setiap insan Nahdliyyin di Indonesia menjalankan keagamaan yang toleran (tasamuh), moderat (tawasuth), dan seimbang (tawazun).”

Sebuah ironi, ketika mendorong internalnya menjalankan praktek keagamaan yang toleran, moderat dan seimbang, namun di saat bersamaan tidak bisa bersikap toleran kepada kelompok Wahabi dengan melarang penyebarannya. Barangkali akan timbul pertanyaan, perlukah bersikap toleran terhadap kelompok yang intoleran? Jawabannya jelas: perlu. Meminjam pendapat Lukman Hakim Saifuddin, sepanjang intoleransi mereka tidak sampai pada tahap melakukan kekerasan, mereka masih layak ditolerir.

Berbicara kekerasan, tentu semua kelompok berpotensi melakukan tindakan itu, tidak hanya kelompok Wahabi. Semua perlu waspada, tapi bukan panik. Orang waspada akan mengambil langkah antisipatif dengan sistematis dan terencana. Beda dengan orang panik yang mengambil langkah antisipatif dengan grusa-grusu dan kurang terencana dengan baik.

Ironi selanjutnya adalah berkaitan dengan sikap moderat dan seimbang. Bersikap moderat meniscayakan kita untuk berada di tengah dan tidak condong ke salah satu sisi. Kedua sisi sama-sama diperlukan untuk tetap menjaga keseimbangan.

Saya ingat betul ketika Prof. Azyumardi Azra ditanya tentang eksistensi Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama ini, lembaga tersebut dianggap sebagai salah satu media bagi kelompok Wahabi untuk menyebarkan pahamnya. Beliau menjawab: “(Sebagai kelompok kanan) mereka ada gunanya untuk mengontrol kelompok kiri biar nggak kebablasan. Kita (sebagai kelompok moderat) berada di tengahnya.”

Satu hal lain yang menjadi alasan untuk menolak rekomendasi adalah sejarah NU itu sendiri. Sebagaimana diketahui, NU melalui Komite Hijaz menjadi yang terdepan dalam memerangi otoritarianisme Wahabi di Arab Saudi. Paham Wahabi yang saat itu menjadi mayoritas berhasil mendorong pemerintah Arab Saudi menyingkirkan paham yang berbeda dengan mereka. Jangan sampai LD PBNU justru melakukan sesuatu yang sebelumnya diperangi oleh para pendahulu, yakni otoritarianisme.

Di akhir tulisan ini, saya berharap rekomendasi tersebut jangan sampai teralisasi. Selain dapat mencederai nilai demokrasi dan toleransi, saya khawatir NU menjadi kehilangan tantangan yang berupa kelompok Wahabi. Padahal, untuk menjadi berkembang salah satunya adalah dengan menghadapi tantangan. Saya juga berharap penilaian saya tentang kemunduran LD PBNU dalam kontestasi dakwah Islam di Indonesia itu salah. [NH]