3 Metode dan Kiat-kiat Khusus Agar Dakwahmu Mudah Diterima

3 Metode dan Kiat-kiat Khusus Agar Dakwahmu Mudah Diterima

Nih, biar dakwahnya nggak asal kofar-kafir, bid’ah-bidahan mulu.

3 Metode dan Kiat-kiat Khusus Agar Dakwahmu Mudah Diterima

Seiring munculnya platform media sosial untuk berdakwah seperti halnya TikTok, Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube, sosok pendakwah kini tak perlu lagi mendatangi lokasi-lokasi tertentu untuk menyampaikan materi dakwahnya. Cukup menyalakan fitur live streaming yang terdapat dalam jejaring sosial media miliknya ia bisa melakukan aktivitas dakwahnya sambil tetap stay home.

Dengan berbagai kemudahan tersebut, perlu diingat bahwa seorang pendakwah harus lebih berhati-hati. Selain kehati-hatian, dibutuhkan juga kreativitas, serta selektif dalam menyampaikan materi yang selaras dengan perkembangan zaman.

Dalam menyampaikan pesan dakwah metode sangat penting peranannya, meski pesan itu baik akan tetapi bila disampaikan melalui metode yang tidak tepat, maka pesan itu bisa saja ditolak oleh para penerima pesan. Maka dari itu, kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam memilah dan memilih penggunaan metode sangat memengaruhi kelancaran dan keberhasilan dakwah.

Ulama salafus shalih sebagai pewaris para Nabi (waratsatul anbiya), berhasil menyebarluaskan Islam hingga ke seantero negeri tidak lain karena metode dakwahnya dapat diterima masyarakat dengan baik, sehingga ajarannya mudah diikuti dan diteladani.

Oleh karena itu, artikel ini penulis akan menyajikan kiat-kiat khusus dalam berdakwah yang ideal menurut para ulama.

Berikut metode dan kiat-kiat khusus dalam berdakwah menurut para ulama

  1. Lemah-Lembut

Imam Ahmad bin Hasan Al-Attas (W. 1334 H) berkata: “Dakwah pada hari ini dengan menggunakan metode lemah lembut itu lebih utama. Sedangkan, menakut-nakuti itu sudah tidak berlaku, kecuali bagi orang yang dalam hatinya terdapat rasa kekhawatiran dan takut kepada Allah Swt. Bahkan, berdakwah dengan cara menakut-nakuti dan mencegah adalah mazhab yang dianut oleh sekte Muktazilah, bukan mazhab para pendakwah kecuali pada situasi dan kondisi tertentu.” [Zain bin Smith, Al-Manhaj As-Sawi li Thariqah Saadah Al-Ba’alawi (Tarim: Dar Al-‘Ilm Wa Ad-Dakwah), h. 332.]

Selain itu, seorang pendakwah juga harus memiliki sifat rahmah (belas-kasih) kepada umat manusia, serta mengharapkan kebaikan dan memberikan nasihat kepadanya. Metode dakwah seperti ini lebih mengena sasaran dakwah.

Dr. Abdul Karim Zaidan (W. 2014 M) Dekan Fakultas Hukum Universitas Baghdad, dalam kitabnya yang berjudul “Ushul Ad-Dakwah” menjelaskan bahwa seorang pendakwah yang  cenderung keras hatinya, maka kemungkinan besar tidak akan berhasil dalam berdakwah, meski perkataannya benar dan jujur. Sebab sudah merupakan tabiat ataupun watak manusia untuk berpaling dari kekerasan dan kerasnya hati, maka apabila seorang pendakwah tidak memiliki sifat rahmah (belas kasih) serta etika yang baik, maka yang lebih utama bagi juru dakwah tersebut untuk meninggalkan dakwahnya serta fokus untuk membenahi diri sendiri terlebih dahulu sebelum terjun ke dunia dakwah. [Zain bin Smith, Al-Manhaj As-Sawi li Thariqah Saadah Al-Ba’alawi (Tarim: Dar Al-‘Ilm Wa Ad-Dakwah), h. 358.]

  1. Bertahap

Proses tahapan juga dilalui oleh Al-Quran. Bahkan Al-Quran diturunkan oleh Allah Swt. secara bertahap selama kurun waktu dua puluh tahun. Ketentuan-ketentuan agama yang biasanya belum pernah dilakukan, Allah wajibkan secara berkala. Tak lain agar manusia dapat menerima perintah tersebut serta dapat melaksanakannya.

Ulama kenamaan kelahiran Jakarta yang sekarang berdomisili di Madinah Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dalam kitabnya menerangkan, ketika seorang pendakwah melihat masyarakat meninggalkan suatu kewajiban syariat, maka perintahkanlah mereka dengan yang paling penting terlebih dahulu (Al-Aham fal Aham).

Saat mereka telah melakukan apa yang diperintahkan, maka diperkenankan untuk berpindah pada tahap selanjutnya secara halus dan lembut tanpa dibarengi dengan pujian atau bahkan cacian terhadap mereka.

Begitupula ketika mereka melanggar suatu larangan, maka bicaralah sebagiannya hingga ia berhenti melakukan, kemudian begitu seterusnya. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad bin Hasan Al-Attas:

يَنْبَغِيْ لِمَنْ أَمَرَ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ نَهَى عَنْ مُنْكَرٍ أَنْ يَكُوْنَ بِرِفْقٍ وَشَفَقَةٍ عَلَى الْخُلُقِ يَأْخُدُهُمْ بِالْتَّدْرِيْجِ

“Selayaknya bagi pelaku amr ma’ruf nahi munkar menggunakan metode lemah-lembut dan belas kasih kepada umat serta melakukannya dengan bertahap.” [Zain bin Smith, Al-Manhaj As-Sawi li Thariqah Saadah Al-Ba’alawi (Tarim: Dar Al-‘Ilm Wa Ad-Dakwah), h. 312.]

Metode ini juga sudah pernah disinggung jauh-jauh hari oleh Hujjah Al-Islam al-Ghazali. Menurut penulis Ihya’ ini, salah satu cara yang lembut dalam mendidik seorang murid yang memiliki sifat dan perbuatan yang tidak baik ialah dengan cara bertahap, sedikit demi sedikit dan tidak dengan sekaligus. Begitulah seterusnya agar perjalanan dakwah berjalan sebagaimana mestinya.

Al-Ghazali menganalogikannya dengan seseorang yang mencuci darah menggunakan air seni, kemudian air seni tersebut dibilas dengan menggunakan air bersih dan selanjutnya. [Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar al-Ma’rifah), vol. 4, h. 86]

Bila sasaran dakwah belum mampu menjalankan seluruh kewajiban-kewajiban syariat, maka hendaknya diajak dan dibimbing untuk melakukan kewajiban yang paling penting terlebih dahulu ketimbang yang lainnya.

Jka belum bisa meninggalkan keharaman secara keseluruhan, maka ia dinasehati untuk meninggalkan keharaman sebagiannya, baru beralih menuju yang lain, demikian seterusnya secara bertahap. Andai tidak menggunakan metode demikian, maka bisa saja mereka perlahan menjauhi dan bahkan langsung berpaling dari dakwah.

  1. Proporsional

Proporsional atau seimbang dalam arti tidak melulu bersikap lemah-lembut, tetapi dalam beberapa hal perlu ketegasan. Hal ini dikonfirmasi oleh Hujjah Al-Islam Al-Ghazali (W. 505 H) dalam masterpiece-nya menyatakan:

أَنَّ لِلْشِدَّةِ مَوْضِعًا وَلِلْرَّحْمَةِ مَوْضِعًا فَلَيْسَ الْكَمَالُ فِيْ الْشِّدَّةِ بِكُلِّ حَالٍ وَلاَ فِيْ الْرَّحْمَةِ بِكُلِّ حَالٍ

“Bersikap keras itu memiliki tempat, dan bersikap lemah-lembut juga memiliki tempat, maka tidaklah dikatakan sempurna orang yang bersikap keras di setiap kondisi, dan juga bersikap lembut di setiap kondisi.” [Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut: Dar Al-Ma’rifah), vol. 3, h. 55]

Mufassir terkemuka Fakhruddin Ar-Razi (W. 606 H), dalam Mafatih Al-Ghaib mengemukakan bahwa bersikap halus dan lemah-lembut hanyalah diperbolehkan jika tidak sampai mengarah kepada meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah Swt., adapun bila sampai meninggalkan kewajiban, maka hal yang demikian tidaklah diperbolehkan.

Lalu, manakah yang lebih baik diantara sikap keras dan lembut dalam berdakwah? Ar-Razi menjawab, bahwa yang lebih baik adalah bersikap moderat di antara dua hal tersebut sehingga tidak menimbulkan ifrath (melampaui batas) dan tafrith (berlebihan) yang tercela. [Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib (Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi), vol. 4, h. 443]

Selain tiga hal di atas, seorang pendakwah hendaknya  menyampaikan materi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, serta memanfaatkan teknologi yang tersedia sebaik mungkin agar jangkauan dan sasarannya tepat dan terwujud sesuai yang diharapkan.

Satu hal lain yang tak kalah penting ialah perlunya pengembangan dakwah di era 5.0 melalui platform media sebagai wadah alternatif untuk berdakwah, sehingga diharapkan dakwah-dakwah rahmatan lil alamin yang bernuansa moderat dapat tersampaikan dengan baik. (AN)

Wallahu A’lam Bisshawab.