Teks Lengkap Pidato Doktor Honoris Causa Ibu Sinta Nuriyah Wahid

Teks Lengkap Pidato Doktor Honoris Causa Ibu Sinta Nuriyah Wahid

Ini teks lengkap pidato pengukuhan Doktor Honoris Causa Ibu Sinta Nuriyah Wahid

Teks Lengkap Pidato Doktor Honoris Causa Ibu Sinta Nuriyah Wahid

Berikut ini  pidato lengkap pengukuhan Doktor Honoris Causa Ibu Sinta Nuriyah Wahid di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 11 Desember 2019

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena dengan perkenanNya, dengan ridho dan inayahNya, pada hari ini kita bisa berkumpul di ruangan yang sangat mulia ini, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tidak lupa shalawat dan salam kami sanjungkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Hadirin yang saya muliakan,

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada hari Selasa tanggal: 2 November 2019, sebuah tim verifikasi dari UIN Yogyakarta yang dipimpin oleh Prof. DR. Ema Marhumah, telah melakukan diskusi dengan saya mengenai kegiatan yang telah saya lakukan, utamanya dalam bidang pemikiran serta aktifitas sosial kemanusiaan saya lebih secara mendalam. Hasil dari diskusi tentang kerangka berfikir dan kegiatan praktis yang sebagian besar lahir dari pengalaman hidup saya sendiri, secara ringkas dapat dilihat dalam bagan terlampir.

Saya lahir di Jombang, Jawa Timur. Pendidikan pertama saya, di Sekolah Dasar Negeri di Jombang. Selanjutnya, pendidikan menengah pertama, saya peroleh dari Madrasah Muallimat (4 tahun) Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. Setelah itu, saya melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Syari’ah (jurusan Qodlo’) IAIN Suanan Kalijaga, Yogyakarta.

Selanjutnya, saya menikah dengan putra pertama KH. Abdul Wahid, yang bernama Abdul Rahman ad Dakhil. Untuk beberapa saat (tahun 1972 sampai dengan 1980) kami mengarungi kehidupan di Pesantren Manba’ul Ma’arif, Denanyar, Jombang. Disini saya membantu mengajar di Pesantren Denanyar, di Pesantren Tebu Ireng dan Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Tahun 1980, kami sekeluarga pindah ke Jakarta. Di kota besar ini, saya memulai karir saya dengan menjadi wartawan di sebuah majalah keluarga, “Zaman”, dan kemudian majalah pria “Matra”. Saya juga diminta membantu mewakili organisasi Muslimat di KNWI (Komisi Nasional Kedudukan Wanita Indonesia), serta KOWANI (Kongres Wanita Indonesia), dan melakukan bimbingan rohani di rumah tahanan.

Demikian pula keingintahuan tentang peran agama dalam kehidupan perempuan, telah menyeret saya untuk menimba pengetahuan dengan mengikuti kuliah di Kajian Perempuan dan Gender, Universitas Indonesia. Meskipun pada awal semester kedua saya mengalami kecelakaan mobil, yang terdampak terbatasnya gerak dan aktifitas saya secara fisik, namun saya tidak patah semangat. Saya tetap melanjutkan kuliah S2 saya, sekalipun selama satu semester saya harus ditandu dari lantai satu ke lantai 4 Gedung Pasca Sarjana Universitas Indonesia, karena lift gedung itu rusak. Ditengah-tengah kuliah mengenai perempuan dan gender itulah kami merasakan betapa tidak enaknya menjadi perempuan. Bahkan kata teman saya yang juga alumni Fakultas Syari’ah Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan sama-sama kuliah di Kajian Perempuan, “jadi perempuan kok runyem begini, ya.” (Padahal Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk selalu memuliakan perempuan).

Faktor inilah yang akhirnya melahirkan Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), dan menelaah kitab-kitab kuning yang masih bias gender. Telaah pertama kitab kuning yang kami lakukan adalah kitab Uqudul Lujain karya Syech Nawawi al-Bantani. Hasil telaah yang telah rewrite adalah Kembang Setaman Perkawinan (Penerbit Kompas 2005) dan masih banyak lagi yang lain.

Hadirin yang berbahagia,

Pengalaman hidup dari satu kota ke kota yang lain, serta pergaulan dengan berbagai macam suku, agama, dan budaya, telah menorehkan berbagai macam warna dalam spektrum pola pikir dan aktifitas saya. Peristiwa tragedi Mei 1998, yang begitu mengoyak nurani kemanusiaan, telah menyadarkan saya tentang pentingnya kerukunan dan kasih sayang diantara sesama anak bangsa Indonesia. Apalagi setelah saya menjadi Ibu Negara mendampingi Gus Dur menjadi Presiden RI yang ke 4.

Inilah yang mendorong saya untuk menciptakan program Pluralisme dan Kemanusiaan, sebagaimana yang saya lakukan sampai saat ini. Untuk itu, perkenankan bagi saya menyampaikan pidato pengukuhan untuk memperoleh gelar Doktor Honoris Causa saya melalui pengenalan Sahur Keliling sebagai sarana untuk menempa ketakwaan, sekaligus mempertajam pengertian tentang Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (sebuah cara yang unik untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa).

Hadirin yang berbahagia,

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa bagi umat Islam, karena pada bulan ini, manusia diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk melakukan penyucian diri secara lahir dan batin. Yang dimaksud dengan penyucian diri secara lahir dan batin adalah setiap orang yang berpuasa, diwajibkan menahan diri dari makan, minum, melakukan hubungan seksual mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Dengan demikian ada kesempatan diri secara fisik untuk merasakan atau berempati pada kesulitan, kesusahan dan penderitaan orang lain. Melaui puasa, kita bisa merasakan bagaimana sakitnya lapar dan dahaga, bagaimana sulitnya melakukan tugas dan tanggung jawab di tengah kelemahan fisik dan sebagainya.

Sedangkan yang dimaksud penyucian diri secara batin adalah, meredam dan mengendalikan hawa nafsu dan emosi, serta tidak membiarkan diri dalam sifat iri, dengki, hasut, menggunjing dan sifat lain yang tidak terpuji. Dengan demikian, batin kita tak hanya bersih dari segala kotoran, tetapi juga berhiaskan akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur. Dan itulah tujuan diperintahkannya puasa pada bulan Ramadhan, yaitu agar terbentuk pribadi taqwa pada diri pelakunya. Firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa” (Q.S Al-Baqarah (2): 183)

Dengan demikian, puasa mengandung makna “pengendalian diri” karena pada saat berpuasa, manusia harus mampu menguasai dirinya dari dorongan-dorongan yang bersifat kesenangan atau materi. Artinya, selesai berpuasa setiap individu akan meningkat kualitas ketaqwaannya.

Hadirin yang terhormat,

Banyak orang berpandangan, bahwa ketakwaan dan keberagaman adalah sesuatu yang abstrak, berada pada dimensi batin, sehingga hanya Allah yang dapat mengetahui ketakwaan seseorang. Meskipun ketakwaan sangat terkait dengan spiritualitas dan dimensi batin seseorang, namun ada aspek lahir yang secara kuantitatif dan kongkrit dapat dijadikan standar untuk mengetahui derajat keimanan seseorang.

Sebagaimana dijelaskan oleh al-Hasan al-Basri, bahwa seseorang yang telah mencapai derajat ketakwaan, dapat meneladani sifat ketuhanan. Dalam hal ini beliau menyatakan; Anda akan menjumpai orang yang mencapai titik ketakwaaan seperti orang yang teguh dalam keyakinan, bijaksana, tekun dalam menuntut ilmu, semakin berilmu semakin merendah, semakin berkuasa semakin bijaksana, tampak wibawanya di depan umum.

Jelas syukurnya dikala beruntung selalu cermat dan tidak boros walaupun kaya, murah hati dan murah tangan, menonjol sifat qonaannya dalam pembagian rizki, selalu berhias walaupun miskin, tidak mengejek, tidak menghina, tidak menghabiskan waktu dalam permainan, tidak berjalan membawa fitnah, disipiln dalam tugasnya, tinggi dedikasinya, terpelihara identitasnya, tidak menuntut yang bukan haknya dan tidak menahan hak orang lain. Kalau mendapat teguran, ia menyesal, kalau bersalah, ia istighfar, kalau dimaki ia tersenyum sambil berkata; Jika makian Anda benar, maka aku memohon semoga Tuhan mengampuniku. Dan jika makian Anda salah, maka aku akan memohon, semoga Tuhan mengampunimu.

Apa yang digambarkan Hasan al-Bashri mengenai ketakwaan tersebut, sangat konkrit, jelas dan terukur. Artinya ketakwaan tidak hanya dihati, tetapi akan teraktulisasikan dalam perilaku, ketika seseorang melakukan interaksi sosial. Dengan demikian, ketakwaan tidak saja bisa dilihat ketika seseorang sudah berada di akhirat, tetapi juga sangat berkaitan dengan fakta kehidupan sehari-hari, ketika seseorang melakukan interaksi sosial dengan sesamanya.

Hadirin yang berbahagia,

Selama ini banyak orang yang melaksanakan ibadah puasa hanya sebagai upacara seremonial ibadah tahunan belaka. Akibatnya kesenjangan antara ibadah puasa dengan nilai moral dan budi pekerti luhur yang diajarkannya masih tetap ada. Bila demikian halnya, maka puasa Ramadhan baru dilakukan sekedar untuk menggugurkan kewajiban, atau masih berupa ibadah rutin yang formalistik semata, belum sampai pada tataran puasa yang revolutif, yang mampu mengubah perilaku, gaya hidup serta pola pikir pelakunya ke arah yang lebih baik, lebih positif serta mengangkat derajat ketaqwaannya.

Hadirin yang mulia,

Kalau kita renungkan secara lebih dalam, ibadah puasa merupakan ibadah yang memiliki dua sisi atau dimensi sekaligus, yaitu dimensi peribadatan spiritual dan dimensi sosial. Memiliki dimensi spiritual, karena puasa adalah perintah dari Allah. Barang siapa menjalankan perintah dari Allah, berarti ia tunduk dan taat kepadaNya. Oleh karena itu, menjalankan puasa, merupakan bentuk ketaan kita, ketundukan kita kepada Allah.

Firman Allah dalam kitab suci Al Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa” (Q.S Al-Baqarah (2): 183). Sedangkan dimensi sosialnya adalah, puasa dapat meningkatkan empati solidaritas manusia atas manusia yang lain, yang hidup dalam kesedihan, serta meningkatkan kepekaan kepada penderitaan orang lain. Semuanya itu terasakan langsung manfaatnya bagi manusia banyak.

Dengan kata lain puasa merupakan cara yang paling baik untuk menggalang dan meningkatkan kepekaan sosial diantara sesama manusia. Oleh karena itu, dalam Islam ada yang disebut kesalihan individual dan ada yang disebut kesalihan sosial.

Kesalihan individual adalah kesalehan seseorang karena ketekunannya melaksanakan ibadah- ibadah formal (ibadah mahdloh) yang diperintahkan Allah, seperti menjalankan shalat, puasa, zakat, haji, berzikir dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan kesalihan sosial adalah, melakukan tindakan-tindakan sosial yang manfaatnya bisa dinikmati orang banyak, dan berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat, sebagai bentuk pengabdian kepada Allah. Oleh karena itu, keduanya harus berjalan seiring dan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.

Inilah yang dimaksud amal salih menurut Al Qur’an, yaitu amal yang berkualitas, yang merupakan ahsanul amal (amal terbaik), bukan aktsarul amal (amal terbanyak), yaitu amal yang disamping punya nilai sosial, juga mengandung nilai spiritual. Dengan demikian, nilai keagamaan seseorang akan menjadi sempurna (sempurna iman dan taqwanya), apabila dapat menyeimbangkan kesalehan individual dan kesalehan sosial. Puasa yang demikian, akan dapat meningkatkan penghayatan terhadap universalitas nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang, toleran, dan persaudaraan, tidak menimbulkan kerusakan, melakukan pembelaan kepada yang lemah, dan sebagainya.

Allah berfirman:

ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Artinya:

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu (pasti muncul dari) timbul dari ketakwaan hati.”

(QS. Al Hajj: 32).

Dengan demikian jelas bahwa tujuan berpuasa adalah untuk mencapai ketakwaan, manifestasi dari ketakwaan adalah pengendalian diri melalui perilaku yang menghargai humanisme dan akhlaqul karimah. Maka dari itu, dalam konteks kekinian, ketika jiwa dan hati manusia sedang terjebak dalam pragmatisme dan simbolisme sehingga menafikan keberagaman sebagai fitrah kehidupan, maka yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan kembali semangat dan kesadaran akan pentingnya hidup bersama secara damai, dan menghargai serta menerima setiap perbedaan yang ada.

Artinya, menjadikan perbedaan sebagai realitas yang harus diterima, dengan menafikan sikap menang sendiri, merasa paling benar dan paling berkuasa. Jika sikap seperti ini masih tertanam dalam diri umat yang melakukan puasa, maka tujuan puasa sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an itu, akan sulit tercapai, karena meski manusia melakukan puasa, tetapi ia tetap tidak dapat mengendalikan diri untuk menciptakan kehidupan yang damai, penuh rahmat dan tenteram.

Hadirin yang berbahagia,

Ini artinya, bahwa puasa juga mengajarkan tentang persaudaraan sejati di atara sesama umat manusia, tanpa memandang latar belakang agama, suku, golongan maupun status sosialnya. Ajaran yang sangat tepat buat negara Indonesia, sebagai negara yang penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa. Ada suku Jawa, Madura, Sunda, Batak, Dayak, Bali, Ambon, Papua dan sebagainya. Agama mereka pun berbeda-beda. Ada yang memeluk agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Khonghucu, Baha’i serta berbagai macam aliran dan kepercayaan yang lain.

Semuanya terhimpun dalam satu kesatuan, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dikenal dengan sebutan negara Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi satu), yaitu: 1). Satu bangsa, bangsa Indonesia, 2). Satu bahasa, bahasa Indonesia, 3). Satu negara, negara Indonesia, 4). Satu pemerintahan, pemerintahan Indonesia, 5). Satu ideologi, ideologi Pancasila. Persamaan- persamaan itulah yang mendorong terjalinnya persaudaraan sejati di antara bangsa Indonesia. Saling tolong-menolong dan hidup bergotong royong, karena manusia sesungguhnya merupakan saudara seperjalanan dalam mengarungi kehidupan ini.

Hadirin yang berbahagia,

Menjelang puasa tahun 2000. Saat itu saya sedang berada di Istana Negera, berbincang-bincang dengan beberapa staf pribadiku, mengenai kegiatan apa yang hendak kami lakukan pada bulan puasa nanti. Berbagai program ditawarkan, tetapi belum ada yang pas di hati. Namun salah seorang staf menawarkan, bagaimana kalau kita membagikan nasi untuk makan sahur kepada kaum dhuafa, kaum marjinal dan anak-anak jalanan, serta bersahur bersama mereka.

Saat itu, tiba-tiba muncul bayangan di benak saya, mbok-mbok bakul yang pada pukul 03.00 pagi, sudah harus berada di atas kendaraan bak terbuka, berjuang mencari sesuap nasi untuk keluarganya. Juga kuli-kuli bangunan yang tidurnya di bawah kolong jembatan, atau tukang-tukang becak yang setiap malam harus tidur meringkuk di atas becaknya. Tentu mereka tidak bisa makan sahur dengan baik, bila ingin berpuasa. Saya jadi teringat sabda Nabi yang bunyinya, “Tidak beriman seseorang, jika ia tidur nyenyak karena kekenyangan, sementara tetangganya dibiarkan kelaparan.” Oleh karena itu, membawakan sekotak nasi buat sahur mereka pasti  akan menyenangkan. Tetapi mengapa harus sahur? Mengapa tidak buka puasa saja?

Hadirin sekalian,

Berbuka puasa bersama, sudah banyak dilakukan orang, karena adanya anjuran yang mengatakan, barang siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka ia akan mendapat pahala berlipat ganda. Akhirnya orang berlomba-lomba untuk menyelenggarakan puasa bersama, sekalipun yang menyelenggarakan maupun yang diajak berbuka, banyak yang tidak berpuasa. Ternyata berbuka puasa bersama telah menjadi budaya bagi rakyat Indonesia, terutama di kota-kota besar.

Lain halnya dengan sahur keliling yang hendak kami lakukan. Sasaran kegiatan ini adalah kaum dhuafa, kaum marjinal, tukang becak, pengamen, pemulung dan sebagainya. Pelaksanaannya juga tidak ditempat yang mentereng dan terang benderang, melainkan di tempat mereka berada, seperti di kolong jembatan, di dekat terminal atau stasiun, di tengah pasar dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk mengajak mereka melaksanakan perintah Allah, menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Juga mengingatkan kepada mereka, bahwa di bulan suci Ramadhan Allah melimpahkan rahmat, ampunan (maghfirah) dan dijauhkan dari api neraka. Oleh karena itu, kita harus menjalankan puasa Ramadhan dengan sebaiknya, tidak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga mulai dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari, tetapi juga harus mampu mengendalikan hawa nafsu baik yang bersifat syahwati, maupun nafsu-nafsu lain yang tidak baik dan tidak terpuji, semisal nafsu amarah, serakah, korupsi, mau menang sendiri dan lain sebagainya.

Apalagi kalau kita cermati dengan lebih dalam. Puasa bukan hanya merupakan rutinitas keagamaan tahunan, tetapi didalamnya banyak terkandung pesan moral serta ajaran nilai-nilai luhur yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seperti jujur, sabar, sederhana, kasih sayang, keuletan hidup dan lain-lain. Karena itu, puasa seharusnya mampu mengubah prilaku, gaya hidup serta pola pikir pelakunya ke arah yang lebih baik dan lebih positif, karena implikasi dari penyucian jiwa itu, arahnya pada tindakan sosial seperti kasih sayang, tidak arogan, toleran, solider dan berempati kepada yang menderita. Dan masih banyak lagi nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Allah SWT melalui ibadah puasa. Dengan demikian puasa sebenarnya merupakan cara yang paling baik untuk menggalang dan meningkatkan solitadaritas sosial terhadap sesama manusia.

Mengingat semuanya itu, mereka niatkan untuk melakukan sahur keliling bersama kaum dhuafa dan kaum pinggiran kian bertambah mantap. Namun bagaimana caranya? Mampukah aku melaksanakannya sendiri?

Hadirin yang saya muliakan,

Setelah hal itu kami diskusikan bersama para staf, kami memutuskan untuk mengajak semua komponen suku dan agama yang ada di Indonesia karena selama ini mereka merasa disisihkan. Hanya Gus Dur yang tidak menganggap demikian. Mereka sangat berterimakasih kepada Gus Dur. Karena itu, jika mereka diajak bekerjasama melaksanakan kegiatan ini, mereka pasti akan senang, karena merasa dirangkul dan diorangkan diakui kehadirannya, kemanusiaannya.

Saya kira keputusan ini sangat tepat dan selaras dengan makna dari ayat suci Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 13. Bahwa tujuan Allah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan, serta menjadikannya bersuku-suku dan bergolongan-golongan, menuntut reaktulasisai terhadap nilai-nilai ketakwaan dalam seluruh tatanan kehidupan manusia, sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia di muka bumi ini. Hidup secara harmonis, toleran, saling tolong menolong diantara sesama, merupakan tujuan dari ayat tersebut.

Tolong menolong di atara sesama manusia itu sudah tentu tidak hanya terbatas bagi mereka yang seagama saja, atau hanya untuk suatu etnik maupun bangsa tertentu saja, tetapi untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini, apapun afiliasi sektararian meraka, semuanya akan dihisap amal perbuatannya pada hari pengadilan nanti. Firman Allah dalam Al Qur’an Q.S Al Baqarah (2): 62.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Artinya:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak adar rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati” (Q.S Al Baqarah (2): 62)

Ayat ini juga memberikan pemahaman, bahwa agama itu harus bisa hidup berdampingan tanpa harus terlibat aktif di dalamnya, sesuai dengan keimanan sejati mereka. Firman Allah dalam Q.S Al Kafirun (109): 6

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Artinya:

“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (Q.S Al Kafirun (109): 6)

Allah juga mengingatkan kepada manusia bahwa mereka sesungguhnya adalah satu umat. Peringatan ini disampaikan dalam Q.S Al Anbiya’ (21): 92

إِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

Artinya: “Sesungguhnya inilah umat kamu yang tunggal. Dan akulah Tuhanmu, maka sembahlah Aku” (Q.S Al Anbiya’ (21): 92)

Bahwa manusia adalah satu umat, merupakan dasar pluralisme teologis yang menuntun adanya kesetaraan hak yang diberikan Tuhan begi semua manusia (Sachedina, 2001: 59). Semua manusia berhak diperlakukan sama dan bertanggung jawab kepada Tuhan.

Dalam suatu ayat yang lain, Q.S Al Baqarah (2): 256 Allah berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Artinya: “Tidak ada paksaan dalam agama”

Nampaknya Tuhan ingin menyampaikan bahwa seseorang tidak bisa dicabut hak-hak sipilnya karena keyakinan agamanya, tidak peduli bagaimana menyebalkannya agama itu bagi umat agama dominan. Bahkan menurut Sayyid Qutb (sebagaimana dikutip Sachedina dalam beda  tapi setara, 2000: 159) ayat tersebut sebagai manifestasi kasih sayang Tuhan terhadap manusia, karena risalah Al Qur’an menjunjung tinggi martabat manusia dan sebagai penghormatan terhadap otonomi individu dalam hal petunjuk dan kesalahan kepercayaan.

Dalam memahami ayat-ayat tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Tuhan melarang tindakan koersif terhadap kepercayaan atau agama yang berbeda. Dan yang teramat penting lagi adalah pengadilan puncak terhadap keimanan hanya ada di tangan Tuhan, oleh karena itu kesombongan teologis yang telah menjadi salah satu penyebab pertikaian antar agama dan antar budaya, menyulut tindakan brutal dengan melakukan pengrusakan maupun penutupan tempat ibadah keyakinan lain, tidak seharusnya terjadi. Pluralisme yang merupakan satu kata ringkasan untuk menjelaskan suatu tatanan dunia baru dalam masyarakat yang heterogen secara kultural dan religius seharusnya senantiasa mewarnai kehidupan keberagaman bangsa Indonesia. Menyadari hal itu, terbesit dalam pikiranku untuk menjadikan bulan puasa Ramadhan sebagai wahana dan gerakan kepedulian sosial kemanusiaan yang bebas dari sekat- sekat keagamaan, sosial, ekonomi dan politik menuju persatuan sejati bagi seluruh umat manusia yang bermartabat sama dihadapan Tuhan.

Selanjutnya kami mencoba mengundang semua teman-teman lintas agama (yang dulu bersama-sama membantu korban tragedi 14 Mei 1998) untuk membicarakan program ini, ternyata semua menyambut dengan antusias dan penuh semangat, terutama dari kelompok Matakin (Mejelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia) dan Keuskupan Jakarta. Akhirnya program Sahur Keliling dapat terlaksanakan dengan sebaik-baiknya di seantero kota di Indonesia. Kegiatan ini membuat kami betul-betul bisa merasakan, betapa indahnya kerukunan dan betapa hangatnya keberasamaan.

Akhirnya di bawah bendera Yayasan Puan Amal Hayati, sebuah yayasan yang saya dirikan bersama teman-teman aktifis, yang peduli pada nasib perempuan, kegiatan Sahur Keliling terus berjalan. Bahkan sekarang tidak hanya di Jakarta saja, tetapi juga di kota-kota lain di Pulau Jawa dan juga luar Jawa. Masyarakat menyambut acara ini dengan penuh semangat dan gembira. Tidak hanya umat Islam saja, tetapi agama lain. Kegiatan ini juga kami lakukan di berbagai tempat di masjid, di halaman klenteng, halaman gereja, kolong jembatan, di tengah-tengah pasar, dan sebagainya.

Sejujurnya saya akui memberi sekotak nasi apalah artinya. Namun terbayang di mata saya wajah-wajah keras kaum dhuafa itu menjadi sedikit cerah dan lembut ketika saya hadir di tengah-tengah mereka. Rakyat merasa diperhatikan dan ada yang menyapa. Mereka begitu gembira dan bahagia. Hal itu membuat saya sering merasa terharu. Senyatanya saya tidak bisa memberi apa-apa. Yang bisa kuberikan hanyalah seulas senyum, pesan, nasehat dan do’a, agar kemiskinan, kesulitan dan tantangan hidup yang selama ini menghimpit mereka, tidak akan mematahkan semangat hidup, menggugurkan nilai kejujuran dan komitmen moral yang ada pada diri mereka. Inilah sebetulnya yang diajarkan oleh Allah SWT melalui ibadah puasa Ramadhan, yaitu membentuk manusia yang bertakwa, demi mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat, serta membangun kerukunan dan keutuhan bangsa dan negara, demi terciptanya negara yang adil makmur sentosa.

Hadirin yang berbahagia,

Kegiatan ini telah kami lakukan selama 19 tahun (sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang) bersama seluruh kerabat Yayasan Puan Amal Hayati dan seluruh teman-teman lintas iman. Antara lain Matakin, Keuskupan Jakarta, Bandung dan Surabaya, Hindu (Bali), Budha, Baha’i, INTI, ANBTI, Jamaah Ima’illah, Gusdurian, Anshor serta aliran keyakinan dan kepercayaan yang lain, BINUS, serta kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Semoga yang kami lakukan ini akan menjadi amal ibadah yang akan diterima oleh Allah SWT dan merupakan sumbangsih kami untuk membangun bangsa dan Negara.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.