Tafsir Surat Ali Imran Ayat 110: Menjadi Umat Terbaik Harus Terus Diupayakan

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 110: Menjadi Umat Terbaik Harus Terus Diupayakan

Tafsir Surat Ali Imran Ayat 110: Menjadi Umat Terbaik Harus Terus Diupayakan

Masih menjelaskan tentang ayat-ayat moderasi dalam Surat Ali Imran, artikel kali ini mengulas tentang syarat untuk menjadi umat terbaik dalam al-Quran. Bila pada ayat 104 dan 105 kita telah berdiskusi soal amar ma’ruf nahi munkar dan larangan untuk bercerai berai, maka pada ayat 110 ini Allah SWT dalam firman-Nya menegaskan kembali perihal amar ma’ruf nahi munkar.

Surat Ali Imran Ayat 110 juga sering dijadikan dalil bahwa umat Islam merupakan umat terbaik. Allah Swt berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kuntum khayra ummatin ukhrijat li an-naasi ta’muruuna bi al-ma’ruuf wa tanhawna ‘an al-munkari wa tu’minuuna bi Allahi wa law aamana ahlu al-kitaabi lakaana khayran lahum minhum al-mu’minuuna wa aktsaruhum al-faasiquun.

Artinya:

“Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah Swt. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (Surat Ali Imran ayat 110)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Jarir At-Thabari menghimpun paling tidak dua pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan umat. Pendapat pertama menerangkan bahwa yang dimaksud dengan umat adalah orang-orang yang hijrah  bersama Nabi saw dari Mekah ke Madinah (muhajirin). Keterangan ini didapat dari jalur riwayat Ibnu Abbas dari Sa’id bin Jubair, al-Suddi, dan Ikrimah. Pendapat kedua berasal dari riwayat Abu Hurairah dan Mujahid mengatakan bahwa umat yang dimaksud ayat adalah siapa pun yang memenuhi tiga kriteria utama: a)  amar makruf, b) nahi munkar, dan c) beriman kepada Allah SWT sebagaimana disebutkan di dalam ayat.

Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari kedua penafsiran di atas. Menurutnya keutamaan para sahabat dibanding umat sebelumnya adalah karena mereka hidup ketika Nabi saw telah diutus. Dibandingkan dengan masa sebelum Rasul diutus, maka sahabat merupakan umat di masa yang terbaik. Sedangkan keutamaan umat Nabi saw setelah beliau wafat adalah ketika mereka melaksanakan tiga kriteria tadi: beriman, amar makruf, dan nahi munkar. Keutamaan ini terletak pada perilaku dan tidak lepas dari ketentuan ayat sebelumnya: dengan tetap menjunjung tinggi al-khayr/kebajikan universal (Ali Imran ayat 104) dan menjaga persatuan (Ali Imran Ayat 105).

Menurut M. Quraish Shihab kata ummat secara semantik digunakan untuk menunjuk semua kelompok yang dihimpun oleh sesuautu berupa agama yang sama, maupun waktu atau tempat yang sama. Bahkan kata Quraish, al-Quran dan hadis tidak membatasi kata umat hanya pada kelompok manusia, burung seperti dalam Surat al-An’am ayat 38 dan semut dalam hadis, juga disebut sebagai umat.

Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah-nya menambahkan bahwa umat adalah ikatan persamaan dalam pengertian apa pun: bangsa, suku, agama, ideologi dan sebagainya. Ikatan itu telah melahirkan satu umat, dengan demikian seluruh anggotanya adalah saudara. Dengan banyak dan lenturnya makna umat ini, kata Shihab, dalam persamaan dan kebersamaannya dapat menampung aneka perbedaan.

Bila menggunakan makna umat sebagaimana dituliskan Quraish Shihab di atas, maka masyarakat Indonesia merupakan suatu umat tersendiri karena memiliki ikatan persamaa. Ikatan ini dideklarasikan pada tahun 1928 dalam momentum Sumpah Pemuda. Pada puncaknya sebagai sebuah bangsa, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan menjadi sebuah negara bangsa yang bersatu dan bebas.

Menarik penjelasan dari Hamka terkait dengan kebebasan ketika menafsirkan ayat ini. Menurutnya suatu masyarakat dapat mencapai martabat setinggi-tingginya ketika dia mempunyai kebebasan. Kebebasan dalam tiga intisari: kebebasan kemauan atau karsa; kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat (praksa); dan kebebasan jiwa dari keraguan (rasa). Ketiga intisari ini juga berkaitan dengan tiga syarat: amar makruf, nahi munkar, dan iman.

Ketika seseorang telah mempunyai kebebasan kehendak atau karsa dia akan berani menjadi penyuruh dan pelaksana perbuatan makruf. Kebebasan yang pertama ini, kata Hamka, mendorong masyarakat agar tidak statis, mempunyai dinamika untuk mencapai sesuatu yang lebih sempurna. Inilah hakikat dari yang makruf, berkaitan dengan makrifat.

Kemudian kebebasan berpikir dan berpendapat dapat menimbulkan keberanian menentang yang munkar, yang salah. Mungkar itu sendiri berarti ditolak, tidak diterima oleh peri-kemanusiaan. Bebas berani mengatakan: itu yang salah! Ini yang benar! Juga berani menanggung risikonya. Kebebasan yang berkeberanian ini memandu kepada yang makruf.

Kedua kebebasan tersebut bersumber dari kebebasan jiwa. Jiwa yang telah terlepas dari segala belenggu bendawi. Iman adalah sumber dari jiwa yang bebas, karena percaya kepada Allah Swt menghilangkan rasa takut dan ragu.

Dalam konteks Indonesia masa kolonial, prinsip kebebasan inilah yang dijadikan dasar bagi anak bangsa untuk berjuang melawan penjajahan. Hamka menuturkan bahwa saat Jepang memerintahkan rakyat Indonesia, sebagai wilayah jajahannya, untuk ruku (keirei) ke istana Kaisar Jepang, ayahnya (Abdul Karim Amrullah) menolak dan menentang. Kemudian Hamka bertanya: “Ayah, tidaklah takut dengan siksa para kempetai Jepang?”

Ayahnya menjawab: “Ayah tidak takut kepada mati, hai anakku! Yang ayah takuti ialah yang sesudah mati!”

Sebelum kita menutup uraian, penulis ingin mengulas sedikit penggalan bagian kedua Surat Ali Imran Ayat 110 ini. Mungkin para pembaca bertanya-tanya bagaimana dengan pernyataan ayat: “Sekiranya Ahli Kitab beriman … namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik”?

Jawabannya ada pada ayat berikutnya yakni Surat Ali Imran ayat 113 – 114:

لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ (113) يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ

Artinya:

“Mereka tidak seluruhnya sama. Di antara Ahli Kitab ada yang golongan yang lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari, dan mereka pun merendahkan diri. Mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, menyuruh yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera (mengerjakan) berbagai kebajikan. Mereka termasuk orang-orang shalih.” (Surat Ali Imran ayat 113-114) 

Buya Hamka menerangkan bahwa ayat ini menegaskan sebuah pengakuan bahwa di antara orang-orang Yahudi dan Nasrani terdapat banyak orang-orang yang shalih. Membaca kitab-kitab mereka dengan baik dan benar, menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar. Hamka mengakui bahwa sekalipun kitab-kitab mereka dianggap telah tercampur aduk, akan tetapi ayat dan wahyu yang asli tetap masih ada.

Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI