Di era media sosial seperti sekarang, kita dapat dengan mudah membagikan momen dan aktivitas melalui jempol tangan. Feed atau beranda seseorang di media sosial seperti instagram dan facebook menjadi ukuran kepopuleran seseorang. Tidak jarang pula media sosial menjadi wadah untuk saling membanggakan diri. Sudah jalan-jalan ke berbagai belahan dunia, punya bisnis bercabang-cabang, mobil mewah berderet, rumah di kawasan real estate, dan lain semacamnya. Sebagian orang malah terkena depresi karena terlalu sibuk berlomba-lomba mendapatkan sanjungan yang diukur dari jumlah likes dan pengikut.
Dengan tidak bermaksud untuk memandang negatif media sosial, karena banyak pula bagian positifnya, selaku umat muslim kita perlu belajar dari pedoman hidup kita yakni al-Quran al-Karim. Kita dapat melakukan refleksi dengan membaca surat al-Takatsur, surat ke-102 dari susunan mushaf al-Quran. Secara harfiah M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengartikan al-Takatsur dengan arti “saling memperbanyak atau bermegah-megahan”.
Konteks diturunkannya surat ini adalah fenomena pada abad ke-7 Masehi, masa ketika wahyu diturunkan, masyarakat di Jazirah Arab saling membanggakan diri dengan harta, keturunan, dan pengikut. Pada masa awal Islam pengikut Nabi Muhammad SAW berasal dari para budak, orang-orang miskin, dan kaum lemah yang dipandang remeh. Para pembesar Quraish mengolok-olok Nabi dengan membanggakan diri mereka sendiri. Fenomena inilah yang dikritik Al-Quran melalui surat al-Takatsur. Allah SWT berfirman:
أَلْهكُمُ التَّكاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقابِرَ (2) كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4
كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّها عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
Artinya:
“Saling memperbanyak (kenikmatan duniawi dan berbangga-bangga tentang harta dan anak) telah melengahkan kamu. Sampai kamu telah menziarahi (masuk) dalam kubur-kubur (kematian). Berhati-hatilah, (jangan melakukan persaingan semacam itu)! Kelak, kamu akan mengetahui (akibatnya). (Sekali lagi) berhati-hatilah, kelak kamu mengetahui. Berhati-hatilah, (jangan berbuat begitu, sungguh) jika seandainya kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, (niscaya kamu tidak akan pernah melakukan hal itu). Sungguh, kamu pasti akan melihat (neraka) Jahim. Kemudian, sungguh kamu pasti akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin (yakni dengan mata telanjang yang tidak sedikit pun disentuh keraguan). kemudian, sungguh kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang an-Na’im (yakni tentang aneka kenikmatan duniawi yang kamu raih atau kenikmatan akhirat yang kamu abaikan).
Untuk menggambarkan bagaimana seorang manusia serakah terhadap harta, Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Adzim menjelaskan riwayat hadis Qudsi dari Ubay bin Ka’ab bahwa “seandainya seorang manusia memiliki dua lembah yang penuh emas, niscaya pasti ia masih menginginkan lembah ketiga, tidak ada yang memenuhi rongganya kecuali tanah”. Inilah gambaran betapa serakahnya manusia terhadap harta. Seorang bijak bestari mengatakan dunia ini cukup untuk menampung apa pun, tetapi tidak cukup untuk menampung orang yang tamak dan serakah.
Padahal harta yang yang kita manfaatkan hanya tiga hal, menurut al-Qurtubi, yaitu makanan yang kita makan (minuman yang diminum), pakaian yang kita kenakan, dan harta yang kita sedekahkan. Hal ini sejalan dengan riwayat hadis dari Sahih Muslim dari Mutharrif, Ia berkata: “setelah selesai membaca surat al-Takatsur, Rasulullah SAW bersabda: Anak cuku adam berkata, Hartaku, Hartaku! Dan tidak ada harta apa pun yang menjadi milikmu wahai anak cucu adam kecuali apa yang engkau makan hingga habis, apa yang engkau pakai hingga lapuk, dan apa yang engkau sedekahkan sampai habis. Selain itu semuanya engkau tinggalkan untuk orang lain. (HR: Muslim).
Selain mendeskripsikan tentang keserakahan manusia, menurut al-Tabari (w. 310 H) dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan li Ta’wil al-Quran, surat ini juga mengingatkan kepada umat Islam akan datangnya siksa kubur apabila mereka lalai. Menurut al-Tabari pengulangan kalimat ‘kalla saufa ta’lamun’ dapat dipahami sebagai al-taghlidz (penekanan) yang mengisyaratkan pentingnya manusia untuk mengingat kematian. Selain itu, al-Tabari menambahkan bahwa surat ini juga mengingatkan bahwa segala nikmat yang dirasakan di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Namun demikian kita tidak perlu salah paham terhadap harta benda duniawi. Karena ia tidak hanya bisa jadi malapetaka, tetapi juga menjadi anugerah yang dapat mengantarkan kita kepada kebaikan. Perlu diingat bahwa salah satu sikap yang patut dikedepankan ketika menghadapi harta benda adalah rasa syukur. Artinya segala apa yang kita peroleh kita kembalikan lagi kepada Allah swt dalam bentuk ibadah yang lebih giat, berderma membantu sesama, dan apa pun yang bisa dilakukan untuk menjadikan kehidupan manusia lebih baik. Bahkan Allah swt berjanji dalam Q.S Ibrahim ayat 7, lain syakartum laazidannakum (bila kalian bersyukur maka akan kutambahkan nikmatku untuk kalian).