Geliat kampanye penegakkan syariat Islam secara total di Indonesia, yang didengungkan oleh sebagian kelompok Islam, sudah tercium pasca bangsa Indonesia merebut kemerdekaannya. Hal itu bisa dilihat dari pro-kontra selama proses pembentukan Dasar Negara Republik Indonesia, di mana antar kelompok Islam dan Nasionalis saling silang pendapat.
Dalam merespon sila pertama Dasar Negara, kelompok Islam kekeuh dengan memperjuangkan tujuh kata piagam Jakarta, yaitu kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sementara itu kelompok Nasionalis menolaknya, dan kekeuh untuk tetap mengajukan sila yang dapat merangkul semua kelompok agama (Wasitaatmaja: 2018, 94).
Pasca reformasi 1998, kelompok-kelompok yang memperjuangkan syariat Islam sebagai konstitusi negara semakin meluas, seperti JI (Jamaah Islamiyah), MII (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), KISDI (Komite Islam untuk Solidaritas Dunia), dan Front Pembela Islam (FPI). Gerakan-gerakan Islam di atas secara umum memiliki perjuangan yang sama, yaitu mencita-citakan diterapkannya syariat Islam secara total (kaffah) (Zada: 2002, 76).
Gerakan kelompok-kelompok yang telah disebutkan bertentangan dengan visi kebangsaan Indonesia yang mengedepankan keberagaman. Tidak hanya itu, pro-kontra seputar penerapan syariat Islam secara total, atau jargon NKRI Bersyariah, tidak bisa dihindarkan. Menurut Azyumardi Azra, demikian itu karena bangsa Indonesia dibangun bukan oleh sekelompok tertentu, tetapi oleh beragam kelompok, yang bercita-cita hidup rukun dalam keberagaman (Azra: 2004, 258).
Dalam tulisan Denny JA, mempersoalkan terkait syariat Islam seperti apa yang dimaksudkan NKRI Bersyariah, khususnya yang didengungkan Rizieq Syihab? Apa ukuran syariat Islam yang dimaksudkan? Sudah adakah contoh negara yang telah menerapkan model NKRI Bersyariah? Apakah syariat Islam yang dimaksud seperti syariat Islam di Iran, yang menggabungkan demokrasi, sebagai sistem di luar Islam? Ataukah seperti di Afghanistan, yang justru mengundang pemberontakan di sana-sini? Atauakah syariat Islam seperti di Turki, yang juga tidak lepas dari ide nasionalisme?
Belum adanya contoh negara yang menerapkan syariat Islam secara total, membuat konsepsi NKRI Bersyariah menjadi absurd. Bahkan kehadiran jargon NKRI Bersyariah membuat kegaduhan di tengah publik (Kompas: 2016). Puncaknya, rezim Jokowi pun membubarkan HTI, yang sebelumnya lantang dengan cita-cita menegakkan syariat Islam melalui jargon “Khilafah Islamiyyah“. Tidak hanya itu, ajakan pembubaran FPI sebagai basis kelompok pengusung NKRI Bersyariah juga bermunculan (BBC: 2017).
Lalu, apa sebenarnya hakikat syariat Islam? Dan, benarkah bahwa syariat Islam membutuhkan NKRI Bersyariah untuk dapat teraplikasikan dengan baik? Lalu, bagaimana syariat Islam mampu menghadirkan kemanusiaan di era Revolusi Industri 4.0?
Secara umum, syariat Islam adalah setiap hukum yang dibentuk dari sumber-sumber agama Islam, yaitu Al-Quran, Hadis, Ijma’, Qiyash, Qaul (ungkapan ulama) (Ashri: 2013, 28). Dalam kesempatan lain, syariat Islam didefinisikan sebagai tata-aturan yang berasal dari Allah Swt, untuk membimbing manusia (Labib: 2013, 76).
Munculnya agenda penerapan syariat Islam secara total dimotori oleh asumsi bahwa seluruh syariat Islam langsung dari Allah, sehingga harus diterima apa adanya. Inilah bentuk absurd kedua kelompok pengusung NKRI Bersyariah.
Padahal, dalam faktanya, syariah merupakan hasil interpretasi manusia (ulama) atas sumber-sumber Islam yang kemudian menghasilkan produk jurisprudensi. Bahkan menurut Abdullah An-Nuaimy, Cendekiawan Muslim asal Mesir, tidak ada satu syariat Islampun yang langsung datang dari Allah. Karena al-Quran yang diturunkan di muka bumi berbeda dengan al-Quran di Lauh al-Mahfuz, yang berupa Kalamun Qadimun La Yumallu Sama’uhu (An-Nu’aimy: 1995: 23).
Bukti bahwa tidak semua syariat Islam langsung dari Allah, dan ada campur tangan manusia, adalah fakta beberapa hukum pada masanya. Pada masa Umar bin Khattab, Khalifah Umar membunuh orang-orang yang enggan membayar zakat. Padahal aturan membunuh orang yang demikian itu tidak ada dalam Al-Quran.
Dalam konteks Indonesia misalnya, kita dibolehkan berkhutbah dengan bahasa Indonesia, padahal Rasulullah tidak pernah berkhutbah selain dengan bahasa Arab. Jelas, kedua hukum di atas adalah produk manusia, bukan langsung dari Allah.
Dalam kaitannya dengan syariat Islam, Imam Al-Ghazali memaparkan lima tujuan mengapa syariat Islam diterapkan. Sebagai berikut:
Pertama, menjaga agama (hifz ad-din). Menjaga agama di sini bermaksud menjaga agama-agama resmi yang ada di negeri kita, yaitu Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Protestan dan Konghucu. Tidak boleh terdapat individu atau kelompok yang mencoba mengusik dan merusak agama-agama tersebut.
Kedua, memelihara jiwa (hifz an-nafs). Memelihara jiwa ialah tidak bolehnya warga bangsa saling menjatuhkan kemanusiaan satu sama lain, baik dalam hal fisikal atau non fisik/harga diri.
Ketiga, menjaga akal (hifz al-Aql). Menjaga akal maksudnya adalah menjaga setiap pendapat dan pemikiran selama tidak bertentangan dengan agama dan hukum resmi negara.
Keempat, menjaga keturunan (hifz an-nashl). Syariat Islam diturunkan agar umat Islam menjaga generasi yang tumbuh di setiap zaman. Setiap keturunan harus dibekali dengan ilmu dan amal yang berimbang, guna menghadapi tantangan zaman.
Kelima, menjaga harta (hifz al-mal). Maksud menjaga harta adalah menjaga diri agar umat Islam jangan sampai menjadi orang yang miskin harta, sehingga sulit untuk memaksimalkan ibadah.
Syariat Islam yang dimaksudkan dalam Islam betapapun sangat luas, baik hukum yang tercatat dalam Al-Quran, Hadis, Ijma’, Qiyash dan pendapat Ulama. Artinya, apapun bentuk suatu hukum, selagi tetap dalam koridor tujuan-tujuan diadakannya syariat, itu adalah syariat Islam.
Maka sesungghnya, Indonesia telah menerapkan syariat Islam secara total. Sebab, walaupun secara simbolik UUD dan Pancasila tidak menggunakan syariat Islam, tetapi hukum-hukum yang berlaku telah mempertimbangkan tujuan dibuatnya syariat Islam.
Artinya, mempraktikkan syariat Islam tidak perlu adanya NKRI Bersyariah. Selama hukum yang digunakan dapat memenuhi tujuan-tujuan diterapkannya syariat Islam, maka sesungguhnya hukum itu adalah syariat Islam.
Tujuan-tujuan diberlakukannya syariat Islam yang ada lima sebagaimana di atas, erat kaitannya dengan mengedepankan kemanusiaan di ruang publik. Batapa sesungguhnya syariat Islam mengedepankan toleransi beragama, menuntut untuk saling menjaga harga diri, kebebasan berpendapat, dan motivasi untuk saling berbagi.
Betapapun, tujuan-tujuan syariat Islam telah ‘tersampul’ rapih dalam nilai-nilai hukum negara Indonesia, yang mengedepankan nilai-niali kemanusiaan. Oleh itu, alangkah tidak perlunya menerapkan konsep NKRI Bersyariah – sebagai konsep yang masih absurd – untuk mencapai tujuan-tujuan syariat Islam.
Wallahu A’lam.