Konflik sektarian saat ini rawan sekali terjadi. Masing-masing mengklaim pendapat dan kelompoknya sebagai kelompok yang paling benar dalam memahami hadis nabi, sehingga tak ayal jika banyak terjadi kekerasan atas nama hadis. Terbaru, sebagian orang menganggap bahwa penghina nabi harus dihukum mati karena nabi pada waktu itu tidak menghukum orang yang telah mengeksekusi budak yang menghinanya.
Terkait hal ini, kita perlu belajar dari pandangan Bapak Pendiri Bangsa Soekarno dalam memahami hadis. Soekarno menekankan pemaknaan kembali terhadap hadis-hadis yang ṣaḥīḥ sesuai dengan konteks keislaman di masa sekarang. Karena Soekarno menganggap bahwa Alquran dan hadis merupakan dua hal yang harus tetap ada selamanya. Ia sering menyebut keduanya dengan istilah “Teguh selamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas.” Yang artinya, baik Al-Qur’an maupun hadis merupakan sumber keislaman yang tidak akan dapat digantikan oleh apapun. Eksistensi keduanya merupakan sesuatu yang harus dipegang teguh dan abadi.
Baca juga: Ketika Bung Karno Menolak Kembali ke Masa Khilafah
Namun, bagi Soekarno, masyarakat selalu berubah, masyarakat selalu berevolusi. Karena sabda-sabda Rasulullah tersebut disampaikan kepada masyarakat yang hidup di abad ketujuh Masehi, sedangkan masyarakat yang hidup di zaman setelahnya, bahkan pada masa Soekarno, tentu berbeda. Oleh karena itu perlu dilakukan kontekstualisasi terhadap hadis dengan berangkat dari substansi hadis tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa Soekarno bukanlah orang yang terlalu tekstual dalam menilai hadis. Ia berusaha untuk mengontekstualisasikan hadis yang ia baca dengan realitas kehidupan di masanya. Ia memang percaya bahwa hadis dalam segi eksistensi harus abadi, tetapi ia juga sangat meyakini bahwa perlu memaknai kembali hadis-hadis yang diucapkan pada abad ketujuh Masehi tersebut dengan realitas kehidupan di masa ia hidup.
Karena kehidupan masyarakat di zaman Rasul dengan kehidupan setelahnya sangat berbeda. Sesungguhnya yang menjadikan sebuah hadis abadi adalah substansinya, karena jika hanya memperhatikan luarnya, justru akan menjadikan hadis, sebagai ucapan orang yang ia anggap sebagai orang yang superhebat ini, akan tergerus oleh zaman.
Soekarno juga menganggap bahwa adanya konflik sektarian yang terjadi karena orang-orang tidak mampu memahami hal tersebut. Sehingga ada beberapa orang yang merasa memikul kewajiban sebagai penjaga sunnah, mudah tersinggung dengan pendapat orang lain, begitu pun sebaliknya.
Baca juga: Soekarno dan Pemikiran Keislamannya yang Progresif dan Kontroversial
“Sayang sekali, ini tidak tiap-tiap hidung mengetahui. Sayang sekali, sebab umpamanya tiap-tiap hidung mengetahui, maka niscaya tidak selalu ada konflik antara masyarakat itu dengan orang-orang yang merasa dirinya memikul kewajiban menjaga aturan-aturan Al-Quran dan Sunnah itu. Dan tidaklah masyarakat Islam sekarang ini sebagai seekor ikan yang terangkat dari air, setengah mati megap-megap.”
Sehingga, bagi Soekarno, Islam tidak hanya sebagai agama, melainkan sebagai penuntun hidup dan pengurai masalah bagi para umatnya. Karena nilai-nilai atau substansi yang terkandung dalam sabda Nabi-nya bisa selalu berguna dan abadi di kehidupan umatnya. (AN)
Wallahu a’lam.