Sepotong Taman Surga

Sepotong Taman Surga

Sepotong Taman Surga

Puasa Ramadhan bukanlah akhir segala-galanya. Ia memiliki puncak istimewa yaitu zakat. Bentuk keadilan Ilahi. Selama puasa Ramadhan, beberapa hamba sibuk mempertebal amal baiknya sendiri, terkadang ia lupa kondisi kehidupan orang lain. Beberapa hamba di belahan bumi, sibuk menyucikan dirinya dan memperbaiki spiritualnya. Ia pun lupa pada kebahagian orang lain. Beberapa hamba saat itu, sibuk mengaji Qur’an dan hadis, mencari cara untuk menambah pahala. Namun terkadang ia luput memperbaiki rusaknya sosial dan sekelilingnya. Beberapa hamba sibuk mengkhatamkan Al-Qur’an berkali-kali, sampai-sampai ia lupa menanam benih di lahan lain.

Ternyata Tuhan sangat adil. Manusia diwajibkan untuk berzakat setelah sebulan penuh ia menikmati makanan kiriman para bidadari-bidadari kiriman-Nya. Ia diangkat setinggi-tingginya oleh para malaikat suci yang bernafsu, dan bidadari menyambutnya, kemudian ia letakkan di langit terbawah. Sesekali para bidadari mencari-cari manusia yang hatinya bersih dari prasangka dan hatinya selalu diselimuti “khasyatullah” di mana saja ia berada.

Dulu, KH. Hasyim Muzadi membeberkan. Dalam sepotong surga, ditampakkan pula sepotong kolam yang berair tenang, sehingga semua manusia melihat dirinya secara jelas tanpa sekat dan tirai. Di situ, semua dosa-dosa kita tampak jelas, namun tak kuasa menghapusnya. Kekurangan dan kealpaan tampak, layaknya kita berada di depan cermin yang bersih. Tempat itu, kata abah, tempat paling jernih dan suci. Dia adalah Ramadhan yang kehadirannya di nanti-nanti penduduk bumi.

Konon, Nabi Muhammad sebelum kedatangan bulan termulia itu, bersiap-siap menyambutnya. Umatnya diajari untuk seperti apa yang dilakukannya. Dan kepergiannya ditangisi. Sebab, Tuhan tak memberitahukan, apakah ini puasa terakhir kita atau masih bisa bercinta pada puasa berikutnya.

KH. Hasyim Muzadi melanjutkan petuahnya. Bulan ini, Tuhan membuka pendaftaran kepada siapa saja, entah apa suku dan golongannya, dari sekte dan aliran apa, Tuhan membuka seluas-luasnya. Ia tak memilih hamba itu berkulit putih atau hitam. Tuhan telah membentengkan rahmat-Nya seluas-luasnya, melebihi luas marah-Nya. Pendaftaran itu dibuka, karena selama 11 bulan lamanya, kita semua bergemilang dosa dan noda. Badan ditaburi oleh makanan-makanan subhat dan darah kita dialiri oleh sesuatu yang tidak jelas. Telinga kita sibuk ditutupi oleh kedua headset lagu-lagu yang melenakan dari ibadah kepada-Nya. Manajer hand phone kita penuh dari buku-buku dan meminggirkan kitab suci Al-Qur’an. Di bulan puasa itu, kita semua dicoba untuk menahan.

“Puasa bukan penjara”, tutur anak bungsunya, Gus Yusron. Ia sarana memperbaiki diri dan latihan menahan sesuatu yang sangat kita sukai. Terkadang kita menyukai sesuatu, tetapi tidak baik. Terkadang sesuatu yang tampak itu tidak baik menurut kita, padahal ia sangat baik. Kita merasa bahwa sepotong pizza lebih lezat daripada sepotong taman surga. Ternyata dugaan kita salah. Latihan menahan saat itu, demi mencicipi makanan di taman surga yang lezatnya melebihi lezatnya sepotong pizza.

Betapa sayang dan kasihnya Tuhan kepada hambanya. Meski segudang dosa dan noda kita lakukan, meski seperangkan pengkhianatan kita lakukan. Baik khianat kepada-Nya, kepada manusia lainnya maupun kepada negara. Janji kita sebelum diturunkan ke muka bumi, kita khianati. Tuhan tuhan tak bosa memberikan kasih sayang-Nya kepada hamba-hambanya.

Dosa kita tidak pernah henti kita lakukan, tetapi rahmat-Nya pun tak pernah putus. Bersyukurlah, kita diberikan kemampuan untuk bergumul dan bercinta dengan bulan Ramadhan ini. Esok hari, kita menemukan hari, di mana hari itu kita dinyatakan fitri kembali, seperti sedia kala.

Idul Fitri, bukanlah sekedar ajang pertemuan seorang anak kepada kedua orangnya. Jikalau itu tujuan utama, sungguh kerdil sekali kita memaknai Idul Fitri. Idul Fitri diperuntukkan bagi mereka-mereka yang berbahagia menyambut Ramadhan dengan penuh suka cita. Idul Fitri adalah anugerah dan hadiah bagi mereka-mereka yang hatinya senang menyambut kedatangannya.

KH. Hasyim Muzadi kembali bertutur. Untuk membersihkan seluruh daki-daki dosa, membersihkan sifat angkara murka, menyucikan kembali jiwa kita seperti sedia kala, Tuhan memerintahkan para malaikat mengantarkan “Sepotong surga” agar kita dapat membasuh diri, menyucikan hati dan pikiran. Maka jangan terlantarkan hidangan berharga dari-Nya.

Mari maaf-maafan. Siapa yang lebih dulu memaafkan kesalahan orang lain sebelum orang lain meminta maaf kepadanya, hatinya pasti mulia. Bermohonlah kepada Tuhanmu, Rab-mu dengan hati yang tulus dan suci, agar selepas Ramadhan ini, Tuhan tetap berkenan membimbing kita di jalan yang lurus. Semoga setelah kembali suci, kita berusaha meminimalisir berlaku buruk. Apa yang kita tanam, suatu saat akan kita tunai. Entah kapan, hanya Tuhan yang mengetahuinya.

Maafkan kesalahan dan kekhilafan ku, abah. Mungkin aku murid yang bandel, tapi berusaha tak berhenti memunajatkan doa untukmu. Di hari fitri ini, aku bersimpuh di depan kuburanmu untuk memohon maaf lahir dan batin. Hanya satu pintaku, ridhailah ilmu-ilmu yang pernah engkau berikan kepadaku. Amin []

Depok, 25 Juni 2017
Selamat menunaikan shalat Idul Fitri