Sambut HUT ke-77 RI, Waketum PBNU Tegaskan Peran Ulama dalam Perjuangan Raih Kemerdekaan

Sambut HUT ke-77 RI, Waketum PBNU Tegaskan Peran Ulama dalam Perjuangan Raih Kemerdekaan

Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Zulfa Mustofa, menegaskan pentingnya peran ulama dalam perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia. Hal itu beliau sampaikan dalam acara “Pembacaan 1 Juta Shalawat Nariyah” yang diselenggarakan oleh PBNU secara daring pada hari Senin (15/8).

Sambut HUT ke-77 RI, Waketum PBNU Tegaskan Peran Ulama dalam Perjuangan Raih Kemerdekaan
KH. Zulfa Mustofa

Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Zulfa Mustofa, menegaskan pentingnya peran ulama dalam perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia. Hal itu beliau sampaikan dalam acara “Pembacaan 1 Juta Shalawat Nariyah” yang diselenggarakan oleh PBNU secara daring pada hari Senin (15/8).

“Kita tahu juga bahwa para muassis (pendiri bangsa), pada saat mereka berjuang, sesungguhnya juga menjalankan amanah dan perintah dari para gurunya,” tuturnya.

Menurutnya, jauh sebelum berdirinya berbagai pergerakan Nasional sebelum kemerdekaan, para ulama telah lebih dulu memulainya. Berbagai perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial menjadi contoh nyata. Dengan kedudukannya sebagai pemuka agama, mereka mengajak masyarakat untuk melawan penjajah yang semena-mena.

Ulama asal Banten itu mencontohkan peristiwa pemberontakan yang terjadi di Banten, yang dikenal dengan peristiwa Geger Cilegon, yang terjadi pada sekitar tahun 1888.

“Pemberontakan ini (Geger Cilegon) dimotori oleh murid-murid Syekh an-Nawawi al-Bantani, utamanya adalah Syekh Abdul Karim, mursyid Thariqah Qadiriyah,” ungkapnya.

Syekh Abdul Karim sendiri merupakan murid dari Syekh Ahmad Khatib as-Sambasi dari sisi Thariqah. Sedangkan, dari sisi syari’at (Fikih), beliau berguru kepada Syekh an-Nawawi al-Bantani, yang juga merupakan sepupu tuanya.

Tidak hanya Syekh Abdul Karim, banyak ulama dari Banten lainnya yang juga terlibat dalam perjuangan meraih kemerdekaan. Seorang lainnya adalah Syekh Arsyad at-Thawil, sosok yang pernah disebut oleh Bung Karno saat berpidato di Banten pada Desember 1945.

“Kata Presiden Soekarno (saat berpidato) di Banten, ‘Indonesia berhutang kepada tokoh-tokoh Banten, salah satunya adalah Syekh Arsyad at-Thawil.’,” jelasnya.

Syekh Arsyad al-Thawil merupakan salah seorang dari ‘dua Arsyad’ yang menjadi murid Syekh an-Nawawi. Bernama asli Arsyad bin As’ad, beliau mendapat julukan al-Thawil karena posturnya yang tinggi. Sedangkan, seorang lainnya bernama Arsyad bin Ulwan, yang dikenal dengan Syekh Arsyad al-Qashir, karena posturnya yang pendek.

Karena perjuangan seluruh rakyat yang begitu besar, KH. Zulfa Mustofa mengajak setiap warga Indonesia untuk mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang positif. Tidak lain sebagai upaya mensyukuri kemerdekaan yang berhasil diraih.

“Itulah mengapa, kita hari ini, yang Alhamdulillah merasakan nikmat kemerdekaan, sudah sewajarnya bersyukur. Tinggal kita mengisinya dengan berbagai amal saleh,” tegasnya.

Perjuangan untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan juga belum berhenti. Meski tentunya dengan bentuk yang berbeda dengan yang dilakukan oleh para pendahulu.

“(Kalau) dahulu kita melawan para penjajah, saat ini, barangkali untuk bersyukur dan mengisi kemerdekaan, utamanya adalah bagaimana kita menjaga Indonesia yang indah ini dalam keragaman dan persatuan,” lanjutnya.

Perjuangan itu tentu tidak kalah sulitnya. Apalagi, di era pesatnya arus informasi seperti saat ini, potensi munculnya konflik, yang dapat mengancam persatuan bangsa, dapat dikatakan sangat besar.

“Semoga, Insya Allah, keragaman kita, kesatuan kita, tetap bisa kita jaga. Dan kemerdekaan ini bisa kita isi dengan hal-hal yang positif,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, acara “Pembacaan 1 Juta Shalawat Nariyah” diselenggarakan oleh PBNU dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia tahun ini.