Konstruksi Otoritas Keagamaan

Konstruksi Otoritas Keagamaan

Konstruksi Otoritas Keagamaan

Saya ingin mengawali perbincangan buku ini dengan cerita. Sahabat saya, almarhum Kiai Iftah Shiddiq (Bendahara Lakpesdam PBNU 2015-2021), adalah salah seorang jamaah pengajian Habib Lutfi. Setiap selapan dia selalu ke Pekalongan mengikuti Majelis Kanzus Solawat. Iftah—demikian dia biasa dipanggil– diserahi Habib Lutfi untuk mengelola sebuah pesantren di Bekasi. Pesantren yang diberi nama Fatahilah itu merupakan “pemberian” seseorang kepada Habib Lutfi. Saya tidak tahu cerita detilnya, tapi akhirnya Iftah Shiddiq diminta untuk mengelola pesantren itu.

Setiap tahun Habib Lutfi selalu datang menengok pesantren tersebut. Sebelum Iftah Siddiq wafat pada 2021 lalu, saya beberapa kali berkunjung ke pesantren itu. Suatu saat Iftah cerita tentang kondisi lingkungan dan masyarakat di sana. Sering terjadi kejadian-kejadian aneh di sekitarnya. Makhluk-makhluk gaib seringkali mengganggu. Suatu saat tetangganya kesurupan, ngoceh tidak karuan. Sebagai orang yang dipandang tokoh agama, dia dipanggil untuk mengobati. Karena merasa tidak punya keahlian, dia hanya bermodal membaca fatihah yang sebelumnya wasilah kepada dengan Habib Lutfi. “Ini diminum. Kalau kamu tidak pergi nanti saya bilang ke Habib Lutfi”, kata Iftah sambal memberikan air putih ke pasien yang kesurupan. Sembuh!

Pada saat yang lain, di malam hari kebun di sekitar pesantren seperti terbakar. Tapi ketika titik api didekati ternyata tidak ada api. Peritiwa itu terjadi berulang kali. Sambil merapalkan doa, Iftah setengah berteriak mengatakan: “Kalau kamu terus mengganggu, nanti saya akan bilang ke Habib Lutfi”. Setelah diancam begitu, tidak ada lagi gangguan di pesantren.

Cerita ini hanya untuk membuka percakapan tentang otoritas keagamaan dalam buku yang ditulis Sahabat kita, Habib Ismail Fajri Alatas (Beb Aji) dimana Habib Lutfi bin Yahya menjadi jendela untuk melihat artikulasi otoritas keagamaan. Cerita sahabat saya alm. Iftah Shiddiq menggambarkan pengaruh Habib Lutfi bukan hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia gaib.

Saya tidak tahu sudah berapa kali buku karya sahabat kita Ismail Fajri Alatas (Bib Aji) tentang tumbuh dan berkembangnya otoritas keagamaan ini didiskusikan. Ketika masih dalam Bahasa Inggris (2021) dan setelah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia (2023) buku ini sudah berulang kali dibedah dan menjadi bahan diskusi di berbagai tempat. Saya juga tahu, Beb Aji roadshow memenuhi undangan sejumlah kampus UIN di Indonesia untuk mendiskusikan buku ini. Review atas buku ini juga bertebaran di berbagai jurnal ilmiah. Tulisan-tulisan resensi pendek atas buku ini juga dapat dengan mudah kita temukan dalam berbagai platform media. Pujian dan catatan kritis menunjukaan buku ini memang mempunyai bobot akademik yang sangat baik.

Antusiasme memperbincangkan buku ini jelas merupakan fenomena yang baik. Bukan hanya bentuk penghargaan terhadap sebuah karya akademik, tapi juga merupakan penanda masih hidupnya geliat intelektualisme di tanah air. Di tengah munculnya kultur baru media sosial yang serba instan, ramainya diskusi buku Bib Aji ini seperti menjadi pengobat dahaga di tengah padang pasir.

Komentar bernada puji dan sanjung atas buku ini sudah berhamburan di berbagai forum. Perkenankan saya untuk menebalkan pujian itu. Tidak berlebihan. Buku ini memang patut dipuji dan sanjung. Deskripsi yang dilakukan Beb Aji dalam membahas berbagai persoalan sangat tipikal etnolog-antropolog. Mendiskusikan persoalan besar yang selalu diawali dengan cerita-cerita particular-mikro kemudian dilanjutkan dengan abstraksi teoritis. Kemampuan Beb Aji melakukan deskripsi peristiwa, abstraksi dan mendiskusikan berbagai teori sungguh memukau.

Buku ini mendiskusikan tentang bagaimana memahami otoritas keagamaan berkembang melalui kekhasan sumber pengetahuan dan kemampuan para ulama melakukan artikulasi. Kisah dan kasus dalam buku ini menunjukkan bagaimana keragaman dan keunikan para ulama meleburkan diri dalam budaya Nusantara yang kompleks, namun terus membuka saluran baru untuk mentransmisikan dan menjaga otentisitas ajaran Nabi. Buku ini berhasil membuktikan –secara etnografis dan antropologis—bagaimana upaya penerjemahan, mobilisasi, kolaborasi, dan kompetisi politis elemen-elemen kunci membentuk kekuatan dan keragaman Islam di Indonesia.

Ada persambungan yang kuat antara masa lalu kenabian dengan partikularitas kultural yang melintas batas.  Pertalian ini membentuk sumbu vertikal yang menghubungkan masa kini dengan otentisitas masa lampau, terutama masa kenabian, melalui sumber tekstual, transmisi lisan, dan ajaran normatif. Riset buku ini menunjukkan, Islam bukanlah “agama yang sudah jadi” dan monolitik, tapi justru menunjukkan kepada kita bahwa Islam adalah “agama yang selalu menjadi” dan pluralistik. Meskipun ada ajaran-ajaran dasar dalam Islam yang dipercayai umat Islam di berbagai tempat, namun ekspresi Islam yang tunjukkan para pemegang otoritas bisa beragam.

Unit analisis yang menjadi pokok pembahasan buku ini adalah variasi otoritas keislaman dan peran ulama (dengan berbagai maqam yang dimiliki) dalam mentransmisikan nilai dan ajaran Nabi. Beb Aji menggambarkan bagaimana Habib Luthfi bin Yahya, membangun otoritasnya dengan menggunakan infrastruktur tasawuf dan hagiografinya untuk membangun kekuatan komunitas keagamaan.  Di samping kemampuan melakukan artikulasi dan mereproduksi ekspresi Islam, otoritas Habib Lutfi juga diperkuat dengan kemampuan membangun aliansi dengan penguasa politik, baik lokal maupun nasional. Kemampuan membangun aliansi ini bukan hanya memperkuat, tapi juga memperluas pengaruh otoritasnya. Habib Lutfi juga sering terlibat dalam proses politik pemilihan pimpinan daerah dan nasional. Meski tokoh yang didukung Habib Lutfi tidak selalu menang –yang berarti otoritas keagamaan tidak serta merta bisa dikonversi menjadi dukungan elektoral—namun hal ini menunjukkan, otoritas keagamaan dan otoritas politik selalu berupaya untuk saling memanfaatkan.

Pada tingkat yang lebih luas, buku ini  memotret cerita tentang bagaimana sunnah menjadi praktik kehidupan keagamaan yang mengakar dan diekspresikan dalam perbedaan-perbedaan realitas sosial dan budaya masyarakat. Dari sini, Beb Aji mempertanyakan –atau minimal perlu– menimbang kembali universalitas Islam yang terus dikontestasikan. Apa yang dianggap universalitas hanyalah klaim yang tidak bisa dipisahkan dari partikularitas (h. 298). Intinya, tidak ada satu pun komunitas Islam global atau ummah yang sama. Masing-masing selalu mempunyai ke-khasan. Beb Aji menawarkan pandangan baru tentang universalitas Islam sebagai suatu universalitas konkret yang didasarkan bukan pada kesamaan ideasional yang abstrak, tapi pada kesamaan asal-usul atau kesamaan monifiletik. Universalitas Islam akan lebih berguna –begitu kata Beb Aji—dipahami sebagai universalitas konkrit. Yang universal dan konkrit dari Islam, menurutnya, adalah kinerja mengartikulasikan sunnah dan jama’ah sebagai proses yang terus menerus, bukan hanya melanjutkan atau evolusi tapi sebagai reproduksi perwujudan Islam tanpa henti dalam wujud yang partikular. (299-301).

Karya ini membuktikan, otoritas keagamaan bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba seperti turun dari langit. Otoritas berjalan seiring dengan “Islam sebagai agama yang selalu menjadi” melalui proses yang rumit dan kompleks. Beb Aji merumuskan dengan kalimat, “otoritas adalah sebuah relasi yang dihasilkan oleh proses penilaian, pengakuan, penerimaan yang acap berbelit-belit” (h. 296).

Pengakuan otoritas keagamaan sebagai konstruksi sosial harus terus menerus dijaga dan dipelihara untuk mempertahankan pengakuan tersebut. Sebagai konstruksi sosial, otoritas bisa dinamis, up and down. Beb Aji dalam buku ini lebih menekankan pada bagaimana otoritas itu didapatkan melalui proses artikulasi (sebuah kata kunci penting dalam karya ini), tapi sangat terbatas mengelaborasi bagaimana otoritas itu pudar. Pudarnya otoritas bukan hanya ketika sang tokoh meninggal, masih hidup pun otoritas itu bisa pudar. Persoalan pudarnya otoritas seorang tokoh bisa menjadi bisa menjadi proyek riset yang lain. Apalagi dalam perkembangan zaman seperti sekarang dimana otoritas keagamaan bisa dibangun dengan algoritma, otoritas menjadi mudah didapatkan, tapi sekaligus mudah pudar.

Pergulatan otoritas keagamaan yang diteoritisasi oleh Beb Aji lebih menggunakan pendekatan tokoh, individu. Dalam konteks yang lebih luas, kontestasi otoritas keagamaan di Indonesia –dan mungkin juga di bberapa negara yang lain– juga bisa terjadi melalui lembaga-lembaga agama. Organisasi-organisasi keislaman di Indonesia pada dasarnya sedang melakukan kontestasi otoritas keislaman. Hal ini bisa menjadi lapangan riset yang menarik. Bagaimana otoritas organisasi-organisasi keislaman dibangun. Apakah kemampuan membangun aliansi dengan kekuatan politik –seperti ditunjukkan Beb Aji kemampuan Habib Lutfi membangun aliansi politik— bisa memperkuat otoritas keagamaan organisasi-organisasi keislaman, atau justru sebaliknya. Gagasan Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Tsaquf untuk memperkuat hukumah diniyyah NU bisa dimulai dari sini. (AN)

Artikel ini ditulis sebagai pengantar diskusi buku Karya Ismail Fajri Alatas, What is Religious Authority? Menyemai Sunnah Merangkai Jamaah, (Bandung: Mizan, 2024) di Outlier Café Ciputat, 29 Maret 2024.