Saat menulis kolom ini, hajatan Pilkada serentak tahun 2018 baru usai dilaksanakan. Telah terpilih Gubernur dan kepala daerah yang akan memimpin pemerintahan lima tahun mendatang. Kita bersyukur pasangan calon yang kalah mampu berbesar hati (legawa). Bagi pasangan yang menang, tugas dan amanah sedang menjemput di depan mata.
Namun pikiran dan perasaan penulis masih tersangkut pada pengalaman saat mudik di kampung pekan yang lalu. Tepatnya hari keempat lebran saya sempat bersilaturahim ke rumah seorang sahabat di desa Dasun, kecamatan Lasem, kabupaten Rembang Jawa Tengah. Usianya masih muda, fresh graduate salah satu kampus negeri di Semarang. Dia merupakan salah satu orang yang terpilih menjadi perangkat desa, yaitu carik atau sekretaris desa.
Terus terang saya kagum dengan pilihannya, mengabdikan diri untuk masyarakat desa. Biasanya, sarjana di desa saya memilih pergi dari kampung untuk mencari peruntungan di kota, memilih profesi pekerjaan yang menjauhkan diri dari kampungnya. Jiwa ksatria untuk membangun dari bawah, melayani masyarakat itulah yang membuat saya kagum.
Pengalaman selanjutnya, pada momen syawalan di kampung, saya banyak menjumpai saudara dan tetangga yang rerata berprofesi sebagai petani mengeluhkan soal “kartu tani”, kebijakan Gubernur Jawa Tengah. Kartu debit yang digunakan secara khusus untuk membaca alokasi Pupuk Bersubsidi dan transaksi pembayaran di Pengecer.
Di lapangan, kebijakan ini banyak disalahpahami. Mayoritas petani gurem yang bermodal cekak berharap pemerintah mampu mengatasi minimnya modal pertanian yang dialami, dan mudahnya mengakses pupuk bersubsidi. Tapi di mata mereka, kartu tani tidak mampu memberikan jawaban soal modal, dan tidak mampu memberikan kemudahan akses.
Pelajaran dari pengalaman ini, bahwa kebijakan yang diambil pemerintah perlu memikirkan dampaknya, peka terhadap kemudahan dalam proses pemberlakuannya, dan keberlanjutannya. Kuncinya, dengarkan suara rakyat, belajarlah bersama mereka. Tidak cukup di ruang-ruang akademik atau di gedung perkantoran.
Satu lagi, pengalaman yang sering berulang dan selalu menimbulkan rasa haru, adalah dinasihati orang tua. Pekan lalu, ketika penulis hendak berpisah dan berpamitan kepada Ibu untuk kembali ke Jakarta, beliau menasihati: “Di manapun dan jadi apa pun, harus jujur.” Nasihat ini selalu beliau sampaikan dari dulu sejak penulis masih remaja hingga sekarang sudah punya dua anak.
Saya menjadi berpikir, ini sesuatu yang sulit, seperti menelan pil pahit. Terbayang susahnya bersikap dan bertindak jujur bagi seorang pejabat. Tapi inilah kewajiban, harus ditegakkan dengan berjerih-payah untuk jujur.
Apalagi bagi seorang pemimpin, kejujuran harus menjadi nafasnya. “Rakyat tidak boleh menderita. Biarlah kami para pemimpin yang menderita,” demikian wejangan dari mendiang Panglima Besar Soedirman ketika dihadapkan persoalan bangsa ini. Keteladanan yang patut kita pegangi sampai kapanpun. Menjadi seorang pemimpin harus siap menderita. Berani menderita untuk mengutamakan kejujuran. Hehe..
Pekan ini, masih dalam suasana lebaran, kita telah melangsungkan hajatan demokrasi di tingkat daerah dalam suasana damai dan bermartabat. Berharap, para pemimpin pemerintah yang terpilih benar-benar amanah. Memiliki jiwa khidmah (melayani ) kepada rakyatnya, seperti yang ditegaskan dalam sebuah Hadits yang berbunyi:
سيد الأمة خادمهم
“Seorang pemimpin umat (rakyat) adalah pelayan mereka”
Betapa mulianya kaum terdidik yang sudah terpilih menjadi pejabat (pemimpin) itu mau mengabdikan diri untuk daerahnya, seperti jiwa seorang sarjana yang mau membangun desanya. Pemimpin yang mau mendengarakan jeritan rakyatnya. Pemimpin yang mampu merubah kultur birokrasi; pantang memeras atau melakukan pungutan liar, bertindak cekatan dan efisien dalam memberikan pelayanan, serta berlaku jujur tidak menilap uang negara. Semoga.