Saat Gitasav Mengalami Religius Trauma, Ketika Agama Disalahgunakan Atas Nama Iman

Saat Gitasav Mengalami Religius Trauma, Ketika Agama Disalahgunakan Atas Nama Iman

Saat Gitasav Mengalami Religius Trauma, Ketika Agama Disalahgunakan Atas Nama Iman
Gita Savitri digemari banyak pemuda islam kekinian. Pict by IG @gitasav

Beragama tetapi mengapa melakukan kekerasan? Inilah yang bisa disimpulkan dari pengakuan Influencer Gita Savitri Devi alias Gita.

Pada Jumat, 14 Maret 2025, Gita membagi pengalamannya terkait keputusannya untuk childfree. Melalui unggahan Instagram Story, Gita mengungkapkan bahwa ia mendapatkan ancaman pembunuhan dari sesama muslim.

Sebelumnya, Gita sering mendapat bully dan harassment dari warganet. Gita pun mengaku bahwa kebanyakan warganet yang menyerangnya membawa dalih agama. Karena itulah Gita sempat mau bunuh diri.

Pengakuan Gita: “Aku hampir bunuh diri loh. Gue di-harass-nya gila-gilaan sama orang ini. Apalagi yang bikin berat itu dihakimi dan disalah-salahin sama orang yang ngakunya lebih agamis dan lebih islami,” tulis Gita di salah satu Instastory-nya.

Derita Gita bukan hal baru. Banyak juga bullying, kekerasan verbal, dan kekerasan fisik menimpa orang-orang kecil yang tidak satu paham, berbeda pergaulan, dan berada dalam relasi pincang. Mereka biasa melakukan kekerasan ini berdasarkan alasan agama.

Sehingga, korban kekerasan merasa bersalah bahkan marah terhadap diri sendiri. Seperti Gita, dia merasa kehilangan jati diri, minder, bahkan menarik diri dari masyarakat, yang menjadi salah satu dampak besar dari kekerasan agama.

Celakanya, kekerasan berbasis agama ini dilakukan oleh orang yang mengerti agama. Pelakunya bisa dari lingkup sekitar seperti orang tua, saudara, tetangga, guru, bahkan pemuka agama yang memiliki pemahaman ekstrem soal keyakinan seseorang. Mereka menganggap anak atau orang lain sebagai patron-klien (relasi kuasa) yang terjadi antara pengasuh pesantren dengan santri, guru dengan murid, dan orang tua dengan anak. Sehingga, “kekuasaan” ini bisa memaksa individu. Padahal, di situ juga sebenarnya ada masalah serius, yakni rawan terjadi kekerasan.

Relasi kuasa ini menciptakan lingkungan yang toksik dan membahayakan orang lain. Mereka bisa menekan dan memaksakan kehendaknya secara sepihak. Kondisi ini banyak terjadi di pesantren.

Studi Content Analysis terhadap pemberitaan media menunjukkan angka kasus kekerasan di pesantren satu tahun terakhir tercatat lebih dari 90 kasus, dengan 72% di antaranya merupakan kekerasan seksual (Data Saka Pesantren PBNU). Menurut Alissa Wahid, kekerasan ini terjadi di pesantren karena tidak adanya kebijakan safeguarding.

Kekerasan yang dilakukan oleh orang religius atau berdalih agama itu disebut dengan istilah religious trauma. Lalu, apa sebenarnya definisi dari religious trauma?

Religious trauma adalah sebuah sindrom yang bisa mengganggu kejiwaan seseorang lantaran adanya tekanan soal agama dan membuat orang tersebut merasa tidak nyaman secara terus-menerus. Trauma ini biasanya terjadi di lingkup seseorang yang justru taat beragama. Trauma ini umumnya mencederai mental dan emosional seseorang yang mengalami pengalaman keagamaan yang traumatis.

Di antara penyebabnya bermacam-macam: pengalaman dalam bidang keagamaan yang menegangkan, berbahaya, atau kasar; pelecehan agama; keyakinan yang membuat seseorang tertekan; kepercayaan terhadap hal takhayul yang turun-menurun; doktrin neraka. Namun, benih utamanya tercipta dari sebuah kebencian.

Efek dari religious trauma adalah kerugian yang besar. Mereka bisa tidak percaya lagi pada tokoh dan otoritas agama. Yang lebih gawat lagi, bisa mengancam kesehatan, keselamatan fisik, emosional, mental, seksual, ataupun spiritual seseorang.

Padahal, agama menyuruh manusia untuk bersikap lemah lembut (Al-Baqarah ayat 256). Bahkan, Nabi Muhammad telah mencontohkan bagaimana agama dijalankan secara bijak dan adil. Agama yang dijalankan secara lemah lembut akan mengubah paradigma orang terhadap agama itu sendiri. Yang awalnya orang menganggap agama keras, berubah menjadi agama yang lembut. Kata para ulama, sesungguhnya agama dilihat dari para pengimanannya.

Agama mengajarkan kita untuk berdakwah dengan cara yang ma’ruf. Karena fitrah manusia suka dengan kelembutan dan akhlak karimah, maka nasihat agama juga harus dilakukan dengan cara lemah lembut. Sebaik-baiknya pengiman agama adalah menjadi pengiman yang religius: toleran, ramah, dan penuh kasih sayang.

Banyak penelitian tentang agama. Hasilnya mencengangkan. Ketika agama dijalankan secara benar, tingkat religiusitas, kesehatan mental, dan kebahagiaan pengimanannya juga meningkat. The American Journal of Epidemiology melaporkan bahwa kebahagiaan para pengiman agama yang benar mendapatkan rasa kebahagiaan tinggi.

Berperilaku religius yang ramah lebih bahagia daripada mereka yang tidak berdoa setiap hari. Perilaku religius berpengaruh pada aktivitas otak. Next Avenue (2019) melaporkan bahwa efek perilaku agama yang baik (berdoa, zikir, dan bakti sosial) meningkatkan aktivitas neurologis di otak. Perilaku religiusitas yang baik mampu meningkatkan kadar dopamin, yang membantu menurunkan tingkat stres dan menurunkan detak jantung serta tekanan darah.

Survei American Journal of Epidemiology menyebut bahwa praktik keagamaan yang baik terbukti memiliki manfaat kesehatan mental yang positif. Sebab, para pelaku ini memiliki rasa kepuasan hidup yang tinggi.

Menurut American Journal of Epidemiology, individu yang religius memiliki masalah kesehatan fisik yang jauh lebih sedikit daripada mereka yang tidak religius. Perilaku religius juga tampaknya berefek pada risiko penyakit menular seksual yang lebih rendah, penggunaan narkoba, dan kehamilan dini. Bahkan, Mayo Clinic juga memaparkan bahwa orang-orang yang religius cenderung menjalani gaya hidup yang lebih sehat secara keseluruhan, termasuk menjaga pola makan yang lebih sehat, daripada mereka yang tidak beragama.

Maka, jika beragama dilakukan dengan perlahan dan bahagia, religious trauma tidak akan ada. Tidak akan ada korban seperti Gita dan korban di pesantren selanjutnya. Sungguh, orang tidak akan trauma pada agama, apalagi membenci agama, kalau kita menjunjung tinggi kesehatan dalam beragama. Orang trauma pada agama, karena ada orang yang menyebabkan trauma: kita!