RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang menjadi usul inisiatif DPR RI mulai dibahas di Parlemen. RUU yang sedianya ditujukan untuk melindungi kepentingan warga negara –khususnya perempuan- ternyata mendapatkan tantangan justru dari sebagian kelompok perempuan lainnya. Salah satu alasan penolakannya adalah penilaian bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berasal dari barat dan mengadopsi nilai-nilai feminisme. Tulisan singkat ini akan meluruskan kesalahpahaman dan stigma yang digencarkan oleh penolak RUU ini.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Bukan Berasal dari Barat
Ide untuk mendorong lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Seksual lahir dari kenyataan semakin terus meningkatnya angka kekerasan seksual, khususnya yang menimpa perempuan dan anak-anak di Indonesia. Sayangnya kenyataan tersebut belum disertai aturan hukum yang mampu memberikan keadilan dan jaminan pemulihan bagi khususnya korban kekerasan seksual.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah salah satu jalan bagi rakyat Indonesia untuk melaksanakan Pancasila, baik sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa maupun sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Semangat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah memanusiakan manusia, yang juga menjadi inti dari nilai-nilai agama dan kepercayaan di Indonesia. Semua agama dan kepercayaan memiliki visi untuk menjadikan manusia sebagai makhluk Tuhan yang menghargai dan menghormati hak manusia lainnya. Misalkan, agama Islam menjunjung tinggi prinsip rahmatanlilalamiin yang didalamnya mengandung makna adil, setara, toleran, non diskriminasi, dan anti kekerasan. Secara universal, dapat dipastikan bahwa tidak ada agama dan kepercayaan manapun di dunia yang membenarkan terjadinya kekerasan terhadap siapa pun, apalagi terhadap kaum yang lemah dan dilemahkan (mustadh’afin). Kekerasan seksual terjadi ketika daya tawar atau posisi korban lebih rendah dibandingkan pelaku dan adanya dominasi dari pelaku terhadap korban.
Sebagai sesama manusia, kita tidak boleh melakukan kekerasan termasuk kekerasan seksual, karena jika hal itu terjadi nilai kemanusiaan kita sebagai manusia menjadi terkurangi. Untuk memulihkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, maka harus dilakukan melalui tindakan-tindakan yang adil dan beradab, baik kepada korban, pelaku maupun masyarakat.
Feminisme Adalah Ide untuk Melawan Ketidakadilan
Pengertian sederhana dari feminisme adalah ide/pemikiran untuk melawan ketidakadilan yang menimpa perempuan. Orang yang memperjuangkannya disebut dengan feminis. Dengan demikian, sebenarnya feminisme itu ada dan tumbuh di setiap komunitas, wilayah, ras, agama,dan negara, walau mungkin menggunakan istilah yang berbeda.
Feminisme itu tidak bermatra tunggal, ia beragam, tergantung kepada cara kita memandang sumber ketertindasan perempuan. Maka kita mengenal feminisme liberal, radikal, sosialis, marxis, eco-feminis, feminis islam, anarko-feminis, dan afro american feminism sampai feminisme dunia ketiga. Bahkan Ibu Shinta Nuriyah pada tahun 2000, pernah menggagas apa yang disebutnya FEMINISME PANCASILA. Ide ini untuk menggarisbawahi bahwa feminisme juga bagian dari nilai-nilai bangsa kita, yaitu feminisme yang bersandar kepada nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, dalam kerangka NKRI, mengedepankan proses demokrasi dan ditujukan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jadi, penulis berpandangan terjadi kontradiksi terhadap penolakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan alasan RUU ini mengadopsi feminisme, sementara kelompok penolak bisa menyampaikan pendapatnya, melakukan diskusi, menganalisis, bahkan berdemo, juga karena hasil-hasil kerja feminisme. Dengan demikian, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah upaya untuk melawan ketidakadilan yang menimpa perempuan. Sehingga, jika kita mengakui masih ada ketidakadilan terhadap perempuan, maka tidak ada alasan untuk menolak RUU ini.
Sejarah Perkembangan Feminisme yang Digunakan Menghantam Balik Gerakan Perempuan
Perlu diketahui bahwa gerakan feminisme itu dinamis sesuai dengan dinamika sosial politik dimana sebuah aliran feminis memuncul. Kita sepertinya harus membaca ulang karya Naomi Wolf yang berjudul Gegar Jender. Naomi merujuk pada gerakan feminisme radikal pada tahun 70-an yang salah satunya mengkampanyekan “anti laki-laki”, karena mereka menilai sumber ketertindasan perempuan adalah laki-laki. Namun, di sisi lain banyak perempuan menginginkan keluarga dan anak.
Menurut analisisnya, kampanye itu digunakan oleh kapitalisme dan patriarki untuk menghantam balik gerakan perempuan, sehingga kemudian gerakan perempuan akan di-streotipe-kan sebagai gerakan anti keluarga, anti anak, lesbi dan pro aborsi, dan hal ini membangun phobia yang disebut Feminist-Phobia (F-Phobia). Mitos yang dibangun oleh kapitalisme dan patriarki ini juga diimpor ke negara-negara dunia ketiga, sehingga kemudian bertambah sebagai ide yang berasal dari barat.
Pada akhirnya kita bisa melihat dalam sistem ekonomi global, penghancuran sumber daya alam yang juga penghancuran perempuan sangat mudah dilakukan karena ketika perempuan melawan ketidakadilan, maka stigma “feminis” akan dilekatkan, dan ini membangun ketakutan keluarga dan masyarakat, yang pada akhirnya membatasi perjuangan perempuan. Dalam konteks RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini, kita harus bertanya “Apa yang ditakutkan dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?” Jangan-jangan yang diketahui atau diinformasikan terhadap penolak RUU ini adalah mitos yang dibangun patriarki yang tidak mau privelege-nya atas perempuan diganggu.
Dari uraian diatas, sebaiknya kita tidak memperdebatkan apakah RUU ini dari barat atau mengadopsi feminisme, namun yang lebih penting dan substantif adalah bagaimana kita melalui negara melakukan pencegahan agar tidak semakin banyak korban kekerasan seksual, melakukan penegakan hukum bagi para pelakunya, dan memulihkan hak-hak korban. Dan dalam konteks keberagamaan kita, RUU ini adalah bagian dari keberpihakan kita kepada kelompok yang dilemahkan (SAT)