Resensi Buku: Ocehan Seorang Pembela Hujan

Resensi Buku: Ocehan Seorang Pembela Hujan

Resensi Buku: Ocehan Seorang Pembela Hujan
Foto: Antara

Saat banjir melanda kota-kota di tanah air, saat orang-orang ‘menyalahkan’ hujan yang tak kunjung reda sebagai penyebab banjir, ada penulis buku  yang dengan lantang membela hujan.

“Jangan memaki hujan, karena hujan adalah kehidupan bagi sawah-sawah dan petani,” demikian Iqbal Aji Daryono bertutur lewat buku Dilarang Mengutuk Hujan. Buku ini adalah buku keenam Iqbal.

Dilarang Mengutuk Hujan adalah judul esai yang terpilih menjadi judul buku dari dua puluh satu esai dalam buku cetakan Diva Press ini. Dari judulnya saja bisa terlihat pandangan yang nyleneh terhadap suatu fenomena. Pandangan itu adalah rangkuman ajaran bapak dan guru juga pengalaman hidup bahwa ada sektor-sektor yang sebaiknya dibiarkan saja tinggal dalam area misteri dan tidak usah diutak atik lagi. Jangan mengumpati hujan. Pamali.

Dua puluh satu sketsa kehidupan yang ditulis dalam rentang waktu Desember 2016 sampai September 2020 ini sangat bergizi, menampar, sekaligus memberikan renungan mistis. Iqbal Aji Daryono hadir dengan bahasa satire pada permasalahan-permasalahan sosial, agama, kemasyarakatan dan kehidupan sehari hari yang terkadang dipandang remeh temeh oleh sebagian orang. Lebih dari itu, gaya story telling Iqbal adalah khas, memotong jarak dengan pembaca.

Membaca buku ini, kita seperti diajak menyimak obrolan grup ronda yang menghadirkan orang-orang kampung dengan aneka karakter. Perdebatan yang sangat aktual. Jika jeli, pada setiap perdebatan itu sosok Iqbal yang menggunakan sudut penceritaan ‘Saya’ tak pernah sekali pun menonjolkan diri. Dia selalu memilih diam atau menyelinap seperti pada esai Azan dalam Semangkuk Burjo, “Wah-wah , Kalau Kang Indra sudah serius begitu , bahaya. Lebih baik saya menyelinap pulang saja”

Dalam Esai Kerajaan Halu, Kerajaan Iman dengan tegas pembaca akan tahu sikap penulis terhadap permasalahan munculnya orang orang yang mengaku menjadi ratu dan raja keraton keraton baru di Indonesia. “Saya tahu perdebatan antara Mamad dan Pak Nardi masih berlanjut. Tapi saya sudah terlalu mengantuk untuk menyimaknya. Yang jelas sepertinya memang ada PR serius bagi kita untuk mencari jalan tengah , menciptakan tali penghubung antara hukum, sains dan kebebasan berkeyakinan. Ah tapi ngapain juga saya ikut mikir yang begituan. Biar diurus Mamad saja” Toh di tingkat kampung rumusnya tetap: siapa yang rewel, dia yang harus bekerja. Satire sekali. Jleb betul.  (halaman 125)

Sebagai orang yang dibesarkan dalam kultur masyarakat petani Jawa, Iqbal tak  mampu menghilangkan jejak ingatan dan kecintaan akan hidupnya. Banyak sketsa kehidupan yang dihamparkan yang berlatar sawah, padi, rumput dan tanaman hijau. Tentu dengan titik tumpu yang cerdas khas Iqbal. Pembelaan dilakukan secara gamblang kepada petani yang dianggap sudah tidak lagi menjadi pekerjaan yang menghasilkan pundi pundi uang. Para petani dianggap kaum pemalas oleh sebagian kalangan tanpa diberi pendampingan dan kebijakan yang pro petani. Oleh karenanya perlu “dibela” Pembaca akan  terbuka wawasannya, lalu menjadi maklum.

Dari dua puluh satu sketsa dalam buku ini pembaca akan tahu bahwa penulis adalah  pecinta buku. Kecintaannya pada buku melahirkan renungan tentang masa depan buku. Dengan getir pembaca disuguhi fragmen Ziarah Buku. Kegetiran itu bahkan melahirkan ketidakyakinan masa depan buku satu decade ke depan. Masihkah anak –anak kita merayakan Hari Buku? Di sisi lain penulis mampu menunjukkan Arogansi Buku-Buku Keluhan terhadap glorifikasi massif dan sistematis atas buku-buku yang melahirkan hegemoni bahkan arogansi ilmiah buku.

Sikap dan nilai hidup lain yang masih sangat jarang dijadikan pandangan hidup adalah tentang kepedulian tentang lingkungan. Kritik tentang ketidakpedulian masyarakat muncul dalam pertanyaan di esai Emprit di Rumpun Bambu. “Pernahkah kita melihat penekanan mekanisme alam demikian dalam buku-buku  pelajaran di sekolah? Tentu pernah tapi Cuma dalam pelajaran IPA khususnya Biologi. Dalam pelajaran tersebut orientasinya terasa sangat kognitif, sekadar berhenti sebagai pelajaran, tapi sangat jarang diaplikasikan di lingkungan”  Lagi-lagi kritik itu diakhiri dengan kalimat satire yang khas: lantas, kita bisa apa? Atau kita minta capres cagub memikirkannya dan menggodoknya di debat-debat selanjutnya? (halaman 95)

Akhirnya saya sepakat seperti dengan kurator buku ini Edi AH Iyubenu yang menyebut apa yang disajikan dalam buku ini adalah ragam spot realitas kehidupan yang dibangun dengan perspektif khas. Khas Iqbal Aji Daryono.  Dua puluh satu sketsa-sketsa kehidupan yang tersaji apik dalam Dilarang Mengutuk Hujan dalam pandangan saya  adalah buah kecermatan dalam memandang realitas hidup dari penulis yang semakin menep. Kesemuanya disampaikan tanpa ndakik-ndakik. Tapi dari kesan ringan dan sederhana justru pembaca disuguhi hidangan rohani, nilai hidup yang sangat mumpuni. Maka alih-alih mengutuki hujan mari kita serap nilai-nilai itu sembari menikmati kesegaran hujan. Sepakat ?!

Judul Buku                  :  Dilarang Mengutuk Hujan

Penulis                         :  Iqbal Aji Daryono

Tebal Buku                  :  165 Halaman

Cetakan                        :  Pertama, Februari 2021

Penerbit                        :  Diva Press Yogyakarta

ISBN                            :  978-623-293-235-7