Sabtu 28 Desember 2019, saya berkesempatan sowan dan hormat haul Gus Dur yang ke-10 di Pesantren Ciganjur. Rembug Budaya adalah salah satu agenda acara haul yang diadakan pagi hingga siang, pukul 09.00-14.00 WIB di Masjid Jami’ Al-Munawaroh, samping depan ndalem Gus Dur (1940-2009).
Banyak sekali pandangan dan uneg-uneg yang disampaikan oleh pemantik, penanggap, ataupun peserta. Tema “Kebudayaan Melestarikan Kemanusiaan” nampak bertaji menghangatkan suasana diskusi.
Turut hadir di dalamnya, mantan Menteri Agama, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Gatot Eddy Pramono, dan Dosen Universitas Indonesia Saras Dewi. Pun pula Ibu Shinta Nuriyah dan putri-putri Gus Dur; Mbak Alissa, Mbak Inayah, Mbak Yenny, dan masih banyak lagi tokoh nasional, agamawan, dan budayawan. Masing-masing “gayeng” dan “guyub” nimbrung duduk lesehan menyampaikan pandangannya di acara Rembug Budaya haul Gus Dur yang baru diadakan mulai tahun ini.
Namun entah mengapa, seraya menyimak ragam pandangan itu, saya berulang kali hanyut membaca tulisan Gus Dur yang berjudul “Pengembangan Kebudayaan Islam Indonesia”. Tulisan 6 halaman ini terdapat dalam buku “Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan” (2007), yang sengaja saya bawa untuk bekal diskusi. Buku terbitan The Wahid Institute yang diberi kata pengantar oleh Agus Maftuh Abegebriel ini saya pilih karena di dalamnya ada beberapa judul tulisan Gus Dur tentang kebudayaan, khususnya yang ditulis beliau di masa-masa akhir tutup usia.
Setidaknya ada tiga hal penting dari tulisan Gus Dur itu. Pertama, di awal tulisan, Gus Dur dengan jelas menyatakan bahwa ada dua tantangan kecenderungan manifestasi kebudayaan Islam Indonesia. Pertama, kecenderungan untuk formalisasi ajaran Islam ke dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua, kecenderungan untuk menjauhi sedapat mungkin formalisasi ajaran Islam ke dalam manifestasi kebudayaan. Keduanya sama-sama memungkinkan terjebak pada dua kutub ekstrem.
Antara kebudayaan negara Islam dan negara sekuler. Padahal sudah final, bahwa Indonesia adalah negara berketuhanan, sebagaimana dalam Sila Pertama Pancasila. Bukan negara Islam, bukan pula negara sekuler.
Contoh sederhana dari kecenderungan pertama yang diajukan Gus Dur adalah tuntutan penggunaan bahasa dan istilah Arab. Semisal kata sahabat, teman, dan sedulur diganti dengan ikhwan, akhi, ukhti. Kata ulang tahun diganti dengan milad, dan tentunya masih bisa kita tambahkan. Pakaian batik ataupun sarung diganti dengan jubah. Kerudung diganti dengan cadar, dan lain sebagainya.
Yang perlu dicermati bersama adalah adanya pemahaman masyarakat kita bahwa budaya yang islami adalah hal yang serba Arab (arabisasi). Di luar itu adalah budaya non-islami, dan harus digusur. Titik inilah yang sejak jauh hari, satu dekade lalu diprihatinkan oleh Gus Dur.
Kedua, dengan tegas, Gus Dur menilai bahwa kecenderungan tersebut tidak tepat. Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah hanyalah akan menyebabkan kita tercerabut dari akar budaya sendiri. Selain itu, adopsi gegabah tersebut juga belum tentu cocok dengan kebutuhan praksis hidup masyarakat. Semisal masyarakat Indonesia diharuskan atau (dinilai) sunnah mengenakan jubah dan cadar dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, jika kita melihat sejarah, Islam masuk dan diterima oleh masyarakat Nusantara banyak melalui jalur-jalur kebudayaan.
Yang menarik, saya terkesan dengan analisa Gus Dur bahwa pada dasarnya Islam yang didakwahkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW sangat adaptif terhadap budaya lokal. Sebagai misal, analogi-analogi ayat al-Qur’an banyak merujuk konteks masyarakat Arab pada waktu itu, semisal penggambaran kenikmatan surga dengan “susu dan madu yang mengalir bak sungai”.
Dengan kata lain, nilai-nilai luhur universalitas Islam diajarkan dengan manifestasi lokalitas budaya bangsa Arab. Termasuk di dalamnya adalah penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa wahyu al-Qur’an dan hadis, gaya pakaian Nabi, bentuk uang dinar dirham, dan lain sebagainya.
Ketiga, karena itu, strategi pengembangan budaya Islam Indonesia harus memperhatikan keragaman budaya Nusantara. Islam dan budaya Nusantara harus disandingkan, bukan dipertentangkan dan dihilangkan. Masing-masing harus saling mengambil dan saling belajar. Dengan kata lain, kebudayaan Islam Indonesia harus memiliki wawasan nasional yang berpijak pada bumi Nusantara. Tidak perlu terlalu banyak berpaling pada budaya kawasan lain. Bagi Gus Dur, upaya penyandingan budaya dan agama ini memang berat, namun mulia.
Lantas, tertarikkah anda?