Simbol Agama dalam Sepak bola: Kelindan Antara Komoditas dan Religiusitas

Simbol Agama dalam Sepak bola: Kelindan Antara Komoditas dan Religiusitas

Kehadiran agama di tengah laga sepak bola bisa menjadi komoditas ekonomi yang bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang dapat mengkapitalisasinya.

Simbol Agama dalam Sepak bola: Kelindan Antara Komoditas dan Religiusitas
Ilustrasi: @artsgaf/Alwy (islamidotco)

Hasil dua gol tanpa balas boleh saja menghentikan langkah Timnas Maroko di Semi Final Piala Dunia Qatar 2022 ini. Tapi, dua gol Prancis yang dicetak oleh Theo Hernandez dan Randal Kolo Muani tidak serta merta menghilangkan popularitas tim yang berjuluk Singa Atlas tersebut.

Timnas Maroko sangat populer di media sosial hingga hari ini, khususnya di kalangan netizen Indonesia. Padahal, prestasi Hakim Ziyech dan kawan-kawan di Piala Dunia Qatar 2022 ini tidak jauh berbeda dengan timnas Turki dan Korea Selatan di Piala Dunia tahun 2002. Bahkan, sebagai sesama “Kuda Hitam”, Maroko masih kalah dengan timnas Kroasia di Rusia 2018 lalu.

Di sisi lain, sebelum Timnas Maroko di tahun ini sudah ada negara mayoritas Muslim yang terlebih dahulu lolos Semi Final Piala Dunia 2002 di Korea Selatan-Jepang. Pada perhelatan tersebut, timnas Turki yang diperkuat oleh Rustu Recber, Okan Buruk, hingga Hakan Sukur sudah mencapai Semi Final walaupun harus mengakui keunggulan Brazil yang diperkuat pemain-pemain macam Ronaldinho, Ronaldo, Rivaldo, hingga Cafu.

Bahkan, di Korea-Jepang, pemain Turki bahkan juga menorehkan rekor. Sebelum nama-nama punggawa Maroko, seperti Boufal, Ziyech, dan Hakimi, mulai populer, Hakan Sukur malah lebih dulu mencetak rekor yang cukup sulit dipecahkan hingga hari ini, yakni gol tercepat di Piala Dunia.

Namun, apa yang sebenarnya membedakannya?

Kita semua jelas sepakat bahwa agama dan kesalehan menjadi narasi populer di tengah penampilan apik timnas Maroko. Namun, entah di belahan dunia lain atau wilayah mayoritas muslim lainnya, apakah narasi yang serupa juga melekat dengan timnas Maroko? Saya tidak memiliki jawabannya.

Sebelum perhelatan Piala Dunia, Qatar, sebagai Negara, menegaskan kepada seluruh calon penonton dan pencinta sepak bola bahwa ada pelarangan alkohol dan simbol LGBT. Menariknya, diskusi ini memantik respon banyak kalangan, mulai dari penonton, fans, hingga badan otoritas sepak bola beberapa negara calon peserta.

Ditambah, pada saat pembukaan ada pembacaan ayat suci Al-Quran. Tak pelak, sejak saat itu, agama menjadi bagian dari perhelatan Piala Dunia. Setiap ekspresi keagamaan yang muncul di tengah pelaksanaan selalu menjadi konten di berbagai platform media sosial, bahkan juga dibagikan aplikasi berbagi pesan, seperti Whatsapp.

Kemeriahan agama dan sepak bola pun tidak berhenti di sana. Beberapa influencer atau content creator di Tiktok dan Instagram pun rajin membuat konten terkait sepak bola. Setiap kemenangan tim Maroko dan beberapa kemenangan lainnya, seperti saat Arab Saudi melawan Argentina, disimbolkan “Kemenangan Umat Islam.”

Walaupun, tidak seluruh tim asal negara mayoritas penduduknya Muslim mendapatkannya, seperti Iran. Entah kenapa, saya pun tak dapat alasan yang dapat menjelaskan hal ini dengan layak.

Dinamika agama di Piala Dunia 2022 ini adalah simbol. Beberapa fakta di atas memperlihatkan kepada kita bahwa keberagamaan di era pasca-modernisme ini adalah simbol agama. Menurut Peter Berger, sosiolog asal Austria, pernah menyebutkan bahwa kebangkitan religiusitas di era ini terkait dengan menggunakan atau mengkonsumsi simbol-simbol keagamaan.

Religiusitas dalam agama bersifat pribadi mulai tersingkir karena simbol-simbol agama yang hadir dan disirkulasikan lewat media, tidak hanya televisi namun juga media sosial. Menurut Iswandi Syahputra, akademisi asal Yogyakarta, menyebutkan bahwa keberagamaan ini bisa saja berubah menjadi histeria massa, terlebih keterlibatan media terutama media sosial.

Menurutnya, keberagamaan yang lekat dengan simbol-simbol ini sebenarnya memiliki wajah yang ambigu. Di satu sisi, agama dalam sepak bola memberikan kegembiraan dan kebahagiaan kolektif. Namun, di sisi lain, kondisi tersebut juga mengabdikan ritual tersebut pada industri global atau dengan kata lain menjadikannya komoditas penting dalam menjaga kepentingan ekonomi dalam sepak bola.

Artinya, sepak bola, khususnya Piala Dunia, mempersatukan berbagai kepentingan yang melilit berbagai sektor kehidupan, seperti ekonomi, politik, kebudayaan, dan keagamaan. Piala Dunia tentu bukan saja panggung untuk agama belaka, di dalamnya saling berkelindan antara kepentingan politik negara, ekonomi masyarakat, hingga gelombang kebahagiaan sekaligus emosi kesedihan fans di dalamnya.

Jadi, Maroko dan narasi agama yang mengitarinya tidak hanya soal agama semata, di dalamnya juga ada histeria massa yang dapat menghadirkannya dalam wacana yang berbeda dengan apa yang dialami masyarakat muslim lain. Kehadiran agama di tengah sepak bola bisa menjadi komoditas ekonomi yang bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang dapat mengkapitalisasinya.

Namun, di sisi lain, dari fenomena Maroko kita juga diperlihatkan bahwa agama dan sepak bola dipengaruhi memori masyarakat, dinamika sosio-ekonomi-politik, hingga kehadiran media. Maka, wacana keberagamaan yang menggelora di kalangan netizen Indonesia ini tidak hanya soal kebangkitan religiusitas. Akan tetapi, di sisi lain, juga sangat dipengaruhi permasalahan sosio-politik yang ada di masyarakat tersebut.

Oleh sebab itu, saya kira masyarakat Maroko bisa jadi melihat penampilan fenomenal timnas mereka berbeda dengan apa yang ada di linimasa kita. Sepak bola adalah segalanya..

Fatahallahu alaina futuh al-arifin